Foto: Dok. FSB Retorika

“Sastra dan Musik itu tema yang besar,” ujar Ugoran Prasad selaku penulis dan peneliti seni, saat menjadi pembicara Runding Gairah Sastra (RGS) yang diselengarakan oleh Forum Seni Budaya (FSB) Retorika. Selain Ugoran, RGS juga menghadirkan Berto Tukan seorang penulis dan kurator seni, dan Yab Sarpote yang dikenal sebagai aktivis dan musisi. Acara RGS berlangsung pada Kamis (31-08) di Lapangan Firdaus Fakultas Filsafat UGM dan mengangkat tema “Sastra dalam Musik”.

Terkait sastra dalam musik, Yab yang sempat tergabung dengan kelompok musik Ilalang Zaman mengatakan bahwa selama proses bermusiknya, ia tidak terlepas dari pengalaman hidupnya yang selalu bersentuhan dengan musik. Selain itu, ia juga mengatakan jika buku-buku sastra, zine, dan diskusi membuka referensi baru selain yang ia dapatkan dari televisi. Yab juga menambahkan jika segala yang digelisahkan dalam pikirannya menjadi manifestonya dalam bentuk musik. “Ilalang Zaman menjadi medium untuk menentang semua yang tidak sesuai dengan sikap politik kami,” tuturnya.

Dalam kepenulisan lirik, Ugoran yang biasa disapa Ugo menambahkan, musisi kerap kali tidak terlepas dari metafora. Ia mencontohkan larik “…semut merah, yang berbaris di dinding, menatapku curiga…” dari lagu “Kisah Kasih di Sekolah” milik Chrisye sebagai bentuk metafora dalam lirik. Menurutnya, hal ini membuktikan proses pengolahan bahasa dalam kepenulisan lirik musik mengubah bahasa sehari-hari menjadi sastra.

Berikutnya, Ugo berpendapat jika kategorisasi ‘musik yang sastrawi’ dan ‘musik yang tidak sastrawi’ telah mengaburkan pengertian esensial dari sastra dan musik itu sendiri. Lalu ia menjelaskan bahwa kategorisasi ini telah merasuki pikiran dan membentuk pola pikir masyarakat terhadap musik. “Padahal bahasa kita memiliki temponya sendiri, dan musik pun tidak terlepas dari teks dalam proses penulisan lirik dan nada,” jelas Ugo.

Senada dengan Ugo, Berto mengatakan jika sastra dalam musik bukanlah sesuatu yang baru, bahkan purba. Baginya, dalam kesenian tradisional terdapat semua elemen seni termasuk sastra dan musik. “Misalnya dalam masyarakat agraris, mereka merayakan panen dengan kesenian,” ungkapnya. Berto menjelaskan kesenian tradisional-agraris terutama dalam drama, sudah memuat elemen musik, sastra, dan tari di dalamnya.

Selain itu, Berto memberi tanggapan mengenai fenomena puisi yang dimusikalisasikan. Menurutnya musikalisasi puisi adalah upaya memberikan rasa baru yang lain, yang tidak didapatkan saat membaca puisi. Ia menambahkan, jika musikalisasi puisi tidak memberikan rasa yang baru, dapat dikatakan musikalisasi tersebut telah gagal.

Jonas Vysma selaku ketua FSB Retorika mengatakan tujuan mengadakan acara ini adalah untuk turut serta dalam perayaan Lustrum X Fakultas Filsafat dan peluncuran buku antologi puisi Me- dan yang lainnya. Selain itu, Jonas mengatakan jika pemilihan tema “Sastra dalam Musik” adalah untuk menjawab tren yang berkembang. “Puisi sekarang banyak dimusikalisasi, dan acara ini berusaha menjawab, berhasilkah upaya para seniman yang menggunakan medium yang variatif?” pungkas Jonas. (Ozi/Aldo)

LEAVE A REPLY