(bpmfpijar.com/Dian) (magang)
Melansir data dari International Press Institute (IPI), COVID-19 memberikan dampak besar bagi kebebasan pers secara global. Dari data tersebut, ditemukan, setidaknya, 421 kasus pelanggaran kebebasan pers yang terjadi di berbagai negara pada pertengahan tahun 2020. Pelanggaran-pelanggaran ini antara lain: upaya penangkapan atau kriminalisasi, pembatasan akses terhadap informasi, penyensoran, regulasi berita palsu yang berlebihan, serta serangan fisik atau verbal.
Di Indonesia sendiri, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang bekerja sama dengan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melakukan riset serupa. Hasil riset ini dipublikasikan dalam webinar bertajuk “Pandemi COVID-19: Kebebasan Pers dan Keselamatan Jurnalis dalam Krisis”, yang diadakan pada Kamis (21/01) lewat siaran langsung di kanal YouTube ICJRID. Pemapar yang dihadirkan adalah Ade Wahyudin, selaku Direktur Eksekutif LBH Pers; dan Mulki Shader, selaku Peneliti Hukum ICJR. Sementara penanggap yang hadir antara lain H. Arsul Sani, S.H., M.Si., selaku Wakil Ketua MPR RI, Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP; Dr. Ida Fauziyah, M.Si., selaku Menteri Ketenagakerjaan RI; M. Agung Dharmajaya, selaku Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers; dan Eni Mulia, selaku Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Diskusi sendiri diarahkan oleh Abdul Manan, selalu Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dijelaskan oleh Mulki Shader, peneliti dari LBH Pers, bahwa pada awal-awal masa pandemi terjadi peningkatan pengaduan yang signifikan kepada LBH Pers, bahkan per Juli 2020 mencapai 110 aduan.
Aduan ini mengacu pada peraturan Dewan Pers nomor 01/DP/03/2013 terkait Keselamatan Jurnalis, yang di antaranya adalah serangan fisik, serangan non-fisik, penggunaan mekanisme hukum terutama isu hukum pidana, serangan digital atau cyber, dan praktik impunitas di mana pelanggaran yang terjadi terhadap jurnalis tidak serius ditangani.
Gejala yang paling banyak ditemukan oleh LBH Pers sendiri adalah adanya tindakan pihak otoritas dinilai telah mencekal kebebasan pers dan membatasi para jurnalis untuk melawan infodemi. “Terbitnya beberapa instruksi, peraturan-peraturan, misalnya dari Kapolri yang mencoba untuk menangani hoax, penghinaan pejabat, penipuan jual beli, yang pada prakteknya juga sangat berpotensi mengganggu kebebasan berekspresi; kebebasan pers di Indonesia,” jelas Mulki Shader.
Selain itu, dari survei yang dilakukan terhadap 125 responden yang mewakili 84 media dilakukan pada 13 Maret – 31 Oktober 2020, didapatkan data beberapa praktik lain yang dinilai mencekal kebebasan pers.
Pertama, penyensoran berita. Dalam survei, dinyatakan bahwa 28% responden mengalami penyensoran, dan 60%-nya terkait pemberitaan pandemi COVID-19. Fakta lainnya, 34,3% penyensoran justru dilakukan oleh redaksi sendiri, di mana Mulki menjelaskan hal ini terkait ketakutan mereka akan keberadaan pasal-pasal karet, misalnya ketentuan penghinaan dan ujaran kebencian dalam UU ITE. Ditemukan pula adanya praktik prior restraint, yaitu sebanyak 34,2% penyensoran terjadi bahkan sebelum berita dibuat, dan pelaku dari penyensoran ini adalah pihak penyelenggara negara (pemerintah pusat dan daerah).
“Di tengah situasi demonstrasi besar yang terjadi beberapa waktu lalu, tiba-tiba ada telepon dari salah satu instansi yang menyatakan bahwa media tidak boleh menampilkan dengan alasan demonstrasi yang terjadi merupakan bentuk kekerasan dan kerusuhan sehingga akhirnya media tersebut tidak jadi menayangkan demonstrasi besar yang sedang terjadi waktu itu,” ungkap Mulki Shader. Ia menambahkan pula, hal ini dinilai berbahaya sebab bisa menjadi blank spot atau titik hitam informasi, sehingga masyarakat tidak mendapatkan informasi mengenai suatu kejadian.
Kedua, adanya pembatasan akses informasi. Sebanyak 28.8% responden mengalami penghalangan kegiatan jurnalistik, bentuknya antara lain pelarangan kegiatan peliputan; dan pengambilan hasil liputan. LBH Pers sendiri mendapatkan sekitar 14 laporan kasus terkait penghadangan kegiatan jurnalistik ini per tahun 2020.
Sebanyak 34,4% responden juga mengalami penolakan akses informasi atau dokumen, dan 84,4% penolakan ini terkait dengan pemberitaan pandemi Covid-19. Ditemukan, pelaku-pelaku dari penghalangan informasi terdiri dari 27.8% pemerintah pusat, 27.8% pemerintah daerah, 25% kepolisian, dan 13.9% masyarakat sipil. Sedangkan pelaku-pelaku dari penolakan informasi justru didominasi oleh aparatur negara, yaitu 43,8% pemerintah daerah, 35,4% pemerintah pusat, dan 12.5% dari kepolisian.
Rekomendasi terkait solusi atas hasil dari riset ini kemudian disampaikan oleh Ade Wahyudin selaku perwakilan LBH Pers dan ICJR. Kepada pemerintah, ia merekomendasikan untuk meninjau ulang dan membatalkan pasal-pasal yang dijadikan alat untuk melakukan kriminalisasi, dan membungkam kebebasan berekspresi. Ia juga menambahkan terkait pertimbangan untuk memperkuat peran Dewan Pers dalam menangani kasus terkait dugaan tindak pidana yang melibatkan jurnalis dalam melaksanakan kerja-kerja pers yang seharusnya bebas dari ancaman kriminalisasi.
Sedangkan, kepada aparat penegak hukum, pihaknya meminta adanya penegakan dan perlindungan hukum bagi produk pers dan jurnalis sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan mengusut pelaku kekerasan terhadap jurnalis secara tuntas.
“Rekomendasi kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap upaya penegakan hukum guna menghindarkan kerja pers dari aktor-aktor pemerintah yang menjadi pelaku penyerang jurnalis baik dari fisik, non fisik, ataupun cyber,” pungkas Ade.
(Dian Agustini/Ayom Mratita) (magang)