“Ke depannya, kita akan seperti universitas lain, menggunakan uang pangkal bagi mahasiswa baru jalur mandiri,” ungkap Ova Emilia, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) dalam Hearing Rektorat, pada Selasa (17/1).
Bertempat di Ruang Sidang Pimpinan, Kantor Pusat UGM, hearing tersebut dilaksanakan guna menindaklanjuti surat perjanjian yang ditandatangani oleh Arie Sujito, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat dan Alumni, dalam hearing sebelumnya, pada Selasa (13/12). Dalam perjanjian tersebut, Arie menyepakati 21 tuntutan dari total 22 poin tuntutan mahasiswa. Adapun, Arie dalam perjanjian tersebut tidak menyepakati satu tuntutan mahasiswa, yakni mencabut kebijakan Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI) di UGM.
Akibatnya, dalam hearing kali ini, mahasiswa UGM kembali mempertanyakan urgensi penetapan kebijakan SSPI dan transparansi alokasi dana pendapatan SSPI. Gielbran Muhammad Noor, perwakilan unsur mahasiswa, mengungkapkan bahwa landasan formil dari kebijakan SSPI, yakni Permenristekdikti No. 17 tahun 2015 sudah dicabut. Ia juga mengungkapkan bahwa ketika Surat Keputusan Rektor mengenai SSPI ditetapkan pada 7 Juli 2022, Direktorat Kemahasiswa belum mendapatkan informasi mengenai SSPI. “UGM terkesan tergesa-gesa dalam menetapkan kebijakan SSPI,” ungkap Gielbran.
Menanggapi hal tersebut, Arie menjelaskan bahwa salah satu alasan ditetapkannya SSPI berkenaan dengan subsidi negara yang tidak sebesar dulu. Akibatnya, UGM memerlukan sumber-sumber lain sebagai pendanaan. Menambahkan pernyataan Arie, Ova mengungkapkan bahwa terdapat beberapa orang tua mahasiswa yang ingin menyumbang ke UGM. “Kita berusaha memfasilitasi hal tersebut,” lanjut Ova.
Terkait alokasi dana SSPI, Sindung Tjahyadi, Direktur Kemahasiswaan, menyatakan bahwa, “SSPI dialokasikan sebesar 5% untuk beasiswa, 45% dikelola universitas, dan 55% dikelola fakultas.”
Sementara itu, Gielbran mengungkapkan bahwa UGM telah memiliki platform untuk menjaring sumbangan dari masyarakat, yakni Sahabat UGM. “Ketika tujuan mengakomodasi sumbangan dari orang tua, mengapa tidak menggunakan Sahabat UGM?” tanya Gielbran.
Menjawab pertanyaan Gielbran, Ova mengatakan, “Apa keberatanmu dari itu?” Menurutnya, kebijakan SSPI bukan sesuatu yang salah. Ia juga mengatakan bahwa Sahabat UGM bukan hanya dari orang tua, tetapi juga dari alumni dan mitra. “Itu salah satu cara kita menambah pundi-pundi,” tegas Ova.
Bhram Kusuma, perwakilan unsur mahasiswa, kemudian menanyakan keresahan mahasiswa UGM terkait kebijakan SSPI. “Apakah kebijakan SSPI ini kemudian akan berubah menjadi uang pangkal, seperti di universitas lainnya?” Menjawab pertanyaan itu, Ova menyatakan bahwa kedepannya UGM akan menerapkan uang pangkal bagi mahasiswa baru jalur ujian mandiri.
Kemudian, terkait pendanaan UGM, Tugus Trisna Triandana Putra, Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa, menyatakan bahwa dengan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) seharusnya UGM memaksimalkan badan usaha, alumni, dan jejaring dengan mitra. “Seharusnya UGM tidak menarik dari mahasiswa,” ucap Tugus, ketika diwawancarai BPMF Pijar.
Lebih lanjut, Tugus merespons pernyataan Ova terkait uang pangkal. Menurut Tugus, pada prinsipnya PTN BH menyediakan pendidikan yang terjangkau bagi masyarakat. Namun, ketika UGM menerapkan uang pangkal dan sifatnya wajib, maka UGM telah melanggar pendidikan yang terjangkau. “Ketika sifatnya wajib, aku menolak adanya uang pangkal.” pungkas Tugus.
Penulis : Michelle Gabriela
Penyunting : Parama Bisatya
Ilustrator : Parama Bisatya