Kamis (23/9), Forum Aksi Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar aksi bertajuk “Perkabungan Politik” di Bunderan UGM. Kompak mengenakan kaos berwarna hitam, massa aksi yang berjumlah sekitar 50 orang serempak datang, untuk mengenang lima korban yang meninggal saat aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019 lalu. Sejumlah catatan refleksi atas tuntutan aksi dua tahun silam yang belum terpenuhi turut menjadi sorotan.
Mulanya, aksi ini digagas oleh salah satu dosen Hubungan Internasional (HI) UGM. Lalu berkolaborasi dengan Forum Aksi UGM. “Hari ini kita memperingati dua tahun #ReformasiDikorupsi di mana lima nyawa peserta aksi melayang, tapi hingga sekarang tak ada perubahan dalam pemenuhan tuntutan,” ujar salah satu inisiator aksi, Faza Sidik kepada BPMF Pijar.
Aksi dimulai pukul 16.45 WIB, diawali dengan penyampaian orasi dan penyalaan lilin sebagai simbol perkabungan. Massa aksi yang datang dari elemen mahasiswa UGM dan masyarakat umum, menyuarakan keresahan terkait sikap negara yang abai dalam menjamin hak dasar hidup rakyat. Terbukti dengan adanya lima nyawa melayang ketika aksi #ReformasiDikorupsi.
Diketahui lima peserta aksi yang gugur ialah Yusuf Kardawi, Immawan Randy, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, dan Bagas Putra Mahendra. Dilansir dari nasional.kompas.com, Randy dan Yusuf meninggal karena luka tembak di dada sebelah kanan, sementara Maulana ditemukan dalam keadaan bersimbah darah tanpa alasan yang jelas. Serta, Akbar ditemukan tergeletak di trotoar dengan luka di tubuhnya. Terakhir, Bagus menemui ajalnya setelah terlindas truk trailer.
Kejanggalan pihak kepolisian dalam mengusut kasus tersebut menjadi masalah serius yang patut disuarakan sebagai usaha desakan kepada pihak kepolisian. Pasalnya, kata Faza, validitas identifikasi penyebab kematian dari pihak kepolisian masih menuai kejanggalan. “Polisi bilang dia (korban) sesak nafas padahal mengeluarkan banyak darah, dari pihak korban pun menyatakan bahwa korban meninggal bukan karena sesak nafas,” terang Faza.
Faza menegaskan, mereka yang gugur dalam aksi tidak kehilangan nyawanya secara sia-sia. Lebih lanjut, Bara Leon, salah satu peserta aksi menyatakan bahwa korban-korban massa aksi yang berjatuhan menjadi salah satu bahan refleksi bagi gerakan-gerakan rakyat untuk terus mengawal institusi kepolisian yang terbukti melakukan kekerasan. “Kita perlu membangun konsep keamanan masyarakat yang baik karena saat ini kepolisian menjelma tangan kanan oligarki di Jakarta,” papar Bara.
Reformasi (Masih) Dikorupsi
Selain mengenang kelima korban, peserta aksi juga menyoroti terkait tuntutan yang belum terpenuhi saat aksi #ReformasiDikorupsi yang sudah berjalan dua tahun silam. Alih-alih mengabulkan, Omnibus Law misalnya, justru tetap diteken oleh Presiden Joko Widodo meski ditolak oleh rakyat. “Setelah dua tahun pasca aksi #ReformasiDikorupsi, tidak ada satupun tuntutan yang dipenuhi,” ujar Faza.
Mulanya, aksi #ReformasiDikorupsi berawal di Jakarta, kemudian berkembang menjadi aksi nasional yang berlangsung di berbagai kota, seperti Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, dll. Serangkaian aksi yang terjadi mulai dari 23-30 September 2019 ini membawa berbagai tuntutan, di antaranya penolakan terhadap revisi UU KPK, RKUHP, UU Minerba, UU Pertanahan, dan tuntutan pengesahan RUU PKS.
“Belum terpenuhinya tuntutan rakyat dalam aksi #RefromasiDikorupsi menjadi evaluasi kita bahwa aksi-aksi hari ini belum bisa menjadi gerakan politik yang besar guna mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat,” jelas Bara.
Melalui aksi ini Faza berharap gerakan ini bisa memantik masyarakat luas untuk sadar bahwa ada orang-orang yang rela mengorbankan nyawa mereka demi menyuarakan kebenaran. Mereka gugur karena melawan pembungkaman “Tumbuhnya kesadaran masyarakat bisa menjadi tekanan politik terhadap negara,” jelas Faza.
Dalam konteks gerakan di Yogyakarta, Bara berpendapat bahwa mahasiswa harus menjadi corong perlawanan. Mahasiswa juga harus turut merawat tradisi, serta konsep-konsep aksi di saat negara mulai menegasikan gerakan-gerakan rakyat. Sebagai contoh, mural yang dihapus, poster (pembuat) yang diringkus, dan UU ITE. Menurutnya, mahasiswa akan tetap berdiri dan melawan ketidakadilan.
Di akhir orasinya, Bara menyampaikan pesan bahwa kelima korban yang telah gugur, bisa jadi yang keenam adalah kita. Untuk itu, menurut Bara, aksi kali ini adalah momentum tepat untuk berkabung, tetapi esok bakal bertemu kembali untuk menentukan arah gerakan. “Selama ketidakadilan masih ada, maka gerakan kita tidak boleh mati. Hidup Korban! Jangan diam! Lawan!” pungkas Bara.
Reporter: Momo, Ridho, Farid, Diales Gaalends (magang)
Penulis: Michelle Gabriela dan Ananda Ridho Sulistya (magang)
Penyunting: Satian Haris