Gaung suara aksi Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) terdengar di sekitar bundaran UGM pada Jumat (8/3). Rona ungu melekat pada peserta aksi yang membawa berbagai poster tuntutan, ditemani dengan suara perabotan dapur yang dimainkan. “Mari kak rebut kembali,” dilontarkan berkali-kali seraya menjadi tema peringatan IWD pada tahun ini yang diselenggarakan oleh Komite IWD Jogja. Dikutip dari selebaran yang dibagikan, seruan ini adalah ajakan untuk merebut kembali kemerdekaan yang berarti bebas dari segala bentuk penindasan.
Lain seperti peringatan IWD Jogja sebelumnya, aksi IWD Jogja tahun ini dilaksanakan tanpa adanya long march. Hal ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan seperti jalur evakuasi maupun penghimpunan masa. Pertimbangan lainnya adalah upaya aksi untuk dapat lebih inklusif terhadap teman-teman difabel yang mungkin kesulitan untuk mengikuti long march. Peringatan IWD Jogja tahun ini membuka opsi untuk digelarnya panggung rakyat yang inklusif untuk peserta aksi berekspresi dan menyalurkan keresahan mereka baik melalui seni maupun orasi-orasi. “Kami mempertimbangkan dan kami ingin memfasilitasi teman-teman difabel, harapannya kegiatan hari ini dapat mengajak teman-teman dari kelompok manapun tanpa menyulitkan semua teman-teman,” ucap Yolanda, perwakilan Humas IWD Jogja 2024.
Seperti Bandung Lautan Api, Mari Kak Rebut Kembali!
Aksi ini dimeriahkan dengan pertunjukan seni, salah satunya pertunjukan yang dilakukan oleh Laksmi Shitaresmi seorang performer artist. Laksmi menggunakan kain batik, lakban merah sebagai penutup mulut, dan peraga wayang Limbuk dan Cangik, sosok pendamping puteri-puteri dalam kisah pewayangan. Limbuk dan Cangik yang merupakan tokoh perempuan sering kali diperlihatkan sebagai bahan gurauan dan bukan siapa-siapa dalam kisah utama. Simbolisme ini digunakan untuk memperlihatkan bagaimana realita perempuan Indonesia yang kerap dipandang sebagai gurauan dan tidak mempunyai peran yang signifikan. “Itu (Limbuk dan Cangik) seperti kita, perempuan yang hanya dianggap gurauan dan bukan siapa-siapa, pemerintah masih diam saja, hukum Indonesia tidak tahu ke mana,” jelas Laksmi ketika ditanya makna dari pertunjukan seninya.
Aksi IWD kembali menggaungkan isu-isu yang sering luput dimakan oleh keseharian masyarakat. Isu-isu diskriminasi perempuan, perampasan ruang hidup, dan perjuangan hak-hak wanita coba untuk diangkat pada aksi IWD tahun ini. Aksi ini juga sebagai pengingat bagi para perempuan maupun kelompok marjinal lainnya di luar sana bahwa perjuangan mereka tidak sendirian. “Pastinya acara ini ada karena adanya keresahan, kami harap IWD ini bisa mengajak dan menyadarkan teman-teman bahwa kalian tidak sendiri, kita tidak sendiri,” jelas Yolanda.
POIN TUNTUTAN UMUM AKSI IWD JOGJA 2024:
- Bangun ruang aman dan inklusif di segala sektor dan tingkatan
- Wujudkan lingkungan kerja tanpa diskriminasi dan kekerasan serta jamin upah layak dan hak-hak pekerja
- Solidaritas dengan setiap kelompok yang mengalami diskriminasi, stigma, represi, dan penjajahan
- Buka seluaskan dan fasilitasi akses informasi atas hak kesehatan seksual dan reproduksi serta ragam gender di berbagai sektor dan tingkatan
- Hentikan perampasan ruang hidup dan perusakan lingkungan
Salah satu isu yang disoroti dalam aksi IWD Jogja ini yakni mengenai pekerja migran, khususnya perempuan migran yang sering mendapat perlakuan buruk ketika bekerja dan stigma negatif dari masyarakat. Eni Lestari, perwakilan Association Migrant International (AMI) dan Beranda Migran sekaligus purna pekerja migran menyuarakan orasi terkait isu perempuan migran pada aksi IWD tahun ini. Eni menuntut kesejahteraan dan perlindungan terhadap perempuan migran yang sering mendapat kekerasan seksual saat bekerja. “Mereka di luar negeri bukannya bahagia dan sejahtera, (sebaliknya) upah kami sangat rendah, tidak ada hak libur dan perempuan utamanya, harus menderita kekerasan dan eksploitasi seksual,” imbuh Eni.
Aspirasi dari peserta tidak luput dari sorotan aksi IWD tahun ini. Keadaan perempuan yang masih jauh dari kata terpenuhi semakin menggaungkan seruan perlawanan. Pesan ini tersampaikan dan teramplifikasi oleh para peserta salah satunya Jasmine ketika diwawancarai, “Pesan aku sendiri mungkin adalah terusan dari pesan yang aku dapat waktu ikut aksi hari ini, yaitu ‘Melawan’, Jadi, satu pesan, ‘lawan!’”
IWD Jogja kali ini mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk memperjuangkan kemerdekaan perempuan di Indonesia yang jauh dari kata setara. Kekhawatiran Yolanda, Laksmi, Eni, Jasmine dan perempuan lain di Indonesia akan diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan perempuan yang dituang ke dalam tuntutan-tuntutan untuk menggapai kesetaraan, kemudian disuarakan melalui aksi IWD pada tahun ini. “Pada faktanya jika perempuan sudah setara, aksi-aksi seperti ini tidak akan ada lagi, masih banyak kasus diskriminasi baik dari kasus pelecehan seksual, verbal, mental, yang mana itu datang dari rekan bahkan dari rumah sendiri,” sambung Yolanda, “lantas perempuan mau ke mana jika keluarga sendiri saja sulit untuk di panggil rumah?”
Penulis: Adyba Qotrun Nada Puspaningrum, Muhammad Zaky Al Ghifari
Editor: Angelina Tiara Puspitalova
Fotografer: Nais