Perakit Aksara Amatiran
Lara Batin
setiap hari aku terbangun di catatan ibu,
menatap kepergian pena yang luntur dari kertas lama
ketegaan itu membawaku pada tajam yang segera menemui lukanya
menganga dan perih sehingga aku tahu bagaimana ibu tersakiti.
jeritanku bisu, tetapi ada dalam sekujur tubuh
ruang-ruang kusebut penjara batin, atau mungkin ibu lebih dari itu.
aku tak ingin ibu menangis sendirian,
atau sebenarnya aku yang terlalu malu untuk merangkulnya.
pagi ini, aku terbangun di atas kepingan kaca,
tanda bahwa aku,
“selalu menemaninya.”
Cabar Hati
aku ingin memberi kepalan roti yang besok mungkin tak lagi di sini.
roti ini adalah milik semut. aku juga bukan milik tuhan.
di tahapan yang terdalam, ada satu waktu mengikat,
jerih payah bapak menenun untaian kata untuk diserap oleh ibu.
aku anak kecil saat itu.
bukan aneh kalau ketakutan hanya memberi getaran di ulu hati. perihal salah aku pun tak mengerti.
pelik memeluk, aku butuh selimut.
di luar sana suara-suara terdengar. kakakku hanyalah penunggu radio di sudut bilik.
aku bertanya-tanya: apakah resah milik anak yang bermain petak umpet sama dengan milikku?
Amarah
pujangga kehilangan nestapa,
murka akan persidangan penipu mengkhianati pasangannya.
api adalah amarah, sedang suara adalah senjata terburuk
darah-darah mencuat dari nadi, siapa hendak menutup luka dengan air garam?
tentu penipu yang berhasil kabur dari masalah.
pujangga disalahkan, ia tak nestapa atau sekalipun marah.
sebab lagu-lagu telah disusun oleh seniman tua dalam kanvasnya.
kemudian hari ini adalah bau foto terbakar dalam petangnya sore-sore.
amarah menguasai ego dan ketika penipu bertobat,
jam dinding telah menunjukkan kata terlambat secara tersirat.
lukaku telah kering,
langit telah menutup diri,
dan pujangga telah menjadi mayit.