Manusia pada abad 21 seakan dibutakan dengan kegiatan individunya masing-masing. Mereka sibuk mengejar keinginan dan hasrat yang tak terlampau, menjalankan apa yang ingin dicapainya. Secara tidak sadar, manusia terkonsepsi untuk mengejar apa yang dikehendakinya. Pada konteksnya, manusia hanya mencari apa yang dianggap ideal. Namun, pada saat apa yang mereka harapkan tidak sejalan dengan apa yang didicapai, timbulah sebuah problem yang harus segera terpecahkan.
Manusia seperti ini hanya terkonsepsi pada masalah pemenuhan kebutuhan semata, melakukan segalanya untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia dipaksa bekerja oleh dirinya sendiri dalam rangka memenuhi hasratnya masing-masing. Manusia didorong untuk selalu bekerja, dan bekerja. Manusia hanya dikuasai oleh hasratnya yang tidak terbendung.
Albert Camus dalam konteks ini sangat sejalan, ia cukup lantang meneriakan tentang sebuah kesia-siaan hidup. Manusia dipaksa tunduk oleh segala bentuk realitas yang ada, menarik ke dalam jurang yang tak berujung, dan membuat kesia-sian hidup semakin berarti.
Manusia dewasa ini, tepatnya pada abad ke 21, rupanya telah berteman akrab dengan kata absurd. Telihat sangat ironis memang, di mana manusia hanya disibukkan oleh berbagai pekerjaan demi tujuan yang sama, yaitu memenuhi kebutuhan hidup. Namun, di saat manusia mulai menyadari bahwa kehidupan mereka tidak terlepas dari bayang-bayang absurditas, mereka mulai gelisah dengan segala yang ada, bahkan Tuhan pun mereka salahkan. Dan sampai akhirnya, mereka berakhir dengan keputusasaan hidup (bunuh diri).
Kematian adalah salah satu keadaan yang bisa menghentikan ketidakjelasan hidup. Namun, kematian dinilai bukanlah salah satu proses yang tepat untuk menghentikan ketidakjelasan yang ada. Manusia dituntut untuk mencari kejelasan yang ada di dalam ketidakjelasan yang hinggap pada kehidupan. Dan rutinitas akan membawa kita pada sebuah kejemuan, yang berujung pada pengikatan dunia absurd. Hasrat manusia yang tidak pernah puas semakin menambah ketidakjelasan yang belum tersingkap.
Dalam permasalahan ini, Camus coba menariknya pada rutinitas hidup manusia, di mana rutinitas didakwa sebagai aktor dalam keabsurdan hidup. Rutinitas dalam kerangka ini dikonstruksi secara sadar, dan menjadi sebuah titik pangkal yang berujung pada dunia yang absurd. Rutinitas adalah perwujudan tunduknya manuisa pada realita yang ada, realita yang mengharusakan manusia bertindak sesuai kebiasaan yang berakhir pada rutinitas yang menjemukan. Tidak salah Camus menganggap kehidupan ini hanya kesia-siaan belaka.
Pada realitanya sekarang ini, manusia modern rupanya sudah mempraktikkan jelas kehidupan absurd. Manusia hanya menyibukkan dirinya oleh rutinitas pemenuhan hasrat yang ada, semua hanya tunduk pada realita yang terpampang. Manusia pada abad ini cenderung selalu berorientasi dengan dunianya sendiri, hasrat membahagiakan diri yang menjadi landasan utama. Menjatuhkan satu sama lain menjadi hal yang lumrah, selama kepentingan saling berbenturan, semua sah dilakukan.
Saat ini banyak manusia berlomba-lomba mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya, mungkin hanya sedikit orang saja yang tidak mempedulikannya. Tuntutan hidup yang semakin meningkat menjadi faktor utama. Dalam upaya manusia memenuhi segala kebutuhannya. manusia mulai terlena dengan dunia yang nampak, meninggalkan hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Upaya seperti inilah yang membuat manusia semakin terikat dalam rutinitasnya, rutinitas yang dilakukan demi terpuaskan segala hasrat yang ada. Manusia mulai terbiasa dengan keadaan yang membosankan, yang membuatnya tenggelam dalam kehidupan yang absurd.
Camus dengan gamblangnya menggambarkan keadaan seperti ini dalam konsepsi orang asing, membuat subjek secara sadar merasa terasingkan dalam kehidupannya. Manusia merasa terpinggirkan oleh segala hasratnya sendiri, dan mulai jemu akan sebuah kehidupan yang berjalan dengan monoton, membuat orang tersadar akan eksistensinya sebagai manusia yang mulai tenggelam oleh kebodohannya sendiri.
Hidup yang absurd mungkin tidak dapat terelakkan lagi, dan bunuh diri bukanlah sebuah solusi. Memang kematian adalah salah satu keadaan yang bisa mengakhiri kehiupan yang absurd. Namun, kehidupan ini harus tetap dijalani dengan bijak.
Hasrat manusia memang sulit terbendung, keinginan manusia terus bertambah seiring perkembangan zaman. Mungkin semua itu bisa kita kontrol, manusia harus memegang jelas kendali atas kehidupannya. Realita yang ada di hadapnnya mungkin saja menggiurkan hidup, memanggil-manggil untuk diselami. Realita sesungguhnya tidak selalu memaparkan keadaan yang ada, manusia dituntut harus pintar-pintar memilih serta menelaah apa yang benar-benar mereka butuhkan, terlalu banyak hal yang sia-sia tersajikan, memanjakan mata serta menaikan hasrat untuk memiliki.
Kematian adalah hal yang pasti, mengisi kehidupan adalah suatu keniscayaan, dan hidup ini harus terus berjalan sembari menunggu datangnya kematian. Kita tidak boleh membiarkan kehidupan yang absurd ini terus menggeroti setiap sendi-sendi kehidupan, manusia harus melawannya dengan bijak. Membuktikan eksistensi adalah salah satu cara yang bijak dalam menangani kehidupan yang absud.
Eksistensi manusia timbul disaat manusia mulai menyadari keabsurdan hidupnya, pemberontakan adalah salah satu cara untuk membangkitkan kesadaran dari hidup yang absurd. Manusia tidak boleh tertarik kedalam hidup yang absurd, sebab hidup yang absurd akan merenggut eksistensi manusia. Tokoh Meursault setidaknya telah jelas memainkan peran dalam kehidupan yang absurd. Memperlihatkan eksistensi yang tak tampak dari seorang manusia. di ujung kematianya Meursault baru menyadari keabsurdan hidupnya. Manusia harus keluar dari hidup yang absurd, manusia harus memberontak dan melepaskan diri, sebab pemberontakan adalah penghancuran bagi yang absurd. (Endang Darmawan/Jofie)