Pergantian nahkoda dalam akademia adalah momen yang dinanti-nanti oleh berbagai pihak. Entah pergantian tersebut hanya bernilai seremonial atau menjadi sebuah momen untuk berbenah dan bergerak ke tujuan yang lebih baik. Tentu, banyak individu yang menunggu agenda rutinan ini. Pergantian ini juga kita alami di rumah kita sendiri, yakni Rumah Kebijaksanaan yang menjadi tempat kita mencari gelar Sarjana Filsafat.
Seperti yang ramai dibicarakan oleh teman-teman sejawat kita, bahwa kabar terbaru yakni dekan kita berganti karena dekan yang lama sudah memasuki masa akhir jabatannya. Melalui berbagai diskusi sengit, akhirnya diperoleh nama dekan baru kita yakni Dr. Rr. Siti Murtiningsih, sekaligus menjadi dekan perempuan pertama sejak Fakultas Filsafat berdiri.
Pertama kita perlu ucapkan selamat bagi beliau yang telah diberikan amanah besar untuk membimbing fakultas kecil tercinta kita. Ucapan selamat ini tidak hanya terucap dari mulut dan unggahan ulang mahasiswa di Instagram, namun puluhan karangan bunga dikirimkan oleh berbagai pihak mewarnai halaman depan Rumah Kebijaksanaan. Sehingga hari pergantian kepemimpinan tersebut menjadi hari yang khidmat dipenuhi dengan euforia dan harapan besar seluruh warga akademia Rumah Kebijaksanaan itu.
Tentu, seremoni pergantian kepemimpinan diikuti dengan misi yang perlu diselesaikan dan masalah yang perlu dituntaskan. Rumah Kebijaksanaan ini ternyata menjadi gudang masalah sebegitu kita memasuki pintu depan rumah. Masalah-masalah ini seharusnya akan kentara terlihat ketika seseorang berada di posisi “teratas” dalam susunan kepemimpinan yang membawa fakultas ini entah kemana.
Sebagai mantan wakil dekan yang mengurusi permasalahan akademik dan kemahasiswaan, idealnya dekan baru kita paham betul tentang keluhan yang dialami oleh sivitas akademika terutama mahasiswa, lantaran beliau juga oleh penulis dan teman-teman menilai beliau adalah sosok yang dekat dengan mahasiswa. Apa yang beliau belum bisa tuntaskan sebagai wakil dekan, besar harapan kami dapat diselesaikan saat beliau menjabat sebagai dekan.
Masalah yang menumpuk di fakultas kita sudah dirasakan sekian lama, dan beliau perlu menyadari bahwa Rumah Kebijaksanaan ini sedang tidak baik-baik saja. Jika kita urutkan satu persatu, maka permasalahan yang paling kentara dapat kita lihat di internal pejabat-pejabat akademik yang seharusnya memberikan layanan dan mempermudah mahasiswa dalam menjalankan kehidupan akademis dan mencari kebijaksanaan.
Sayangnya tidak demikian, lantaran mahasiswa pencari kebijaksanaan disibukkan dengan birokrasi akademik yang panjang, rumit, dan tidak memiliki ujung yang solutif. Bahkan ketika mahasiswa memasuki ruangan kantor akademik, sambutan yang didapatkan selalu dingin dan tidak sehangat yang dijanjikan oleh stiker yang tertempel di meja pelayanan akademik.
Penulis menekankan permasalahan ini bukan tanpa dasar. Melalui sebuah kolom aduan yang disediakan oleh BPMF Pijar, mahasiswa—baik yang sudah hengkang dan memperoleh gelar sarjana serta mereka yang masih berjuang mendapatkannya—mendapatkan sebuah wadah aduan akan keluh kesah yang mereka alami saat mencari kebijaksanaan di fakultas ini.
Sebagian besar dari mereka mengeluhkan betapa rendahnya kualitas SDM pelayanan akademik. Terutama kaitannya dengan seberapa ‘melek’ beliau-beliau terhadap teknologi. Mulai dari hal yang sepele seperti mengurus presensi bisa menjadi urusan yang sulit. Data yang direkap dalam rekapan presensi final terkadang kurang dari apa yang telah mahasiswa isikan, dan mahasiswa harus kesana kemari melapor ke berbagai pihak di dua lantai yang berbeda.
Ternyata setelah diselidiki bersama dengan dekan baru kita, “pertandingan bulu tangkis” tanggung jawab tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan para bapak akademik tercinta terhadap tupoksi diberikan kepada beliau. Alhasil, yang mahasiswa dapatkan adalah birokrasi yang penuh miskomunikasi. Alangkah indahnya jika tidak hanya latihan bola voli di hari Jumat, pihak fakultas juga mengadakan pelatihan untuk meningkatkan SDM para pegawai akademik yang penulis sayangi terutama dalam penggunaan teknologi.
Sinkronisasi data yang seperti disebutkan sebelumnya memakan waktu yang lama, dan seharusnya tidak perlu karena idealnya ketika mahasiswa presensi langsung masuk ke rekapan akhir di data final. Kenyataannya, beberapa dari mahasiswa teman-teman penulis harus mengalami ketidaknyamanan macam ini, apalagi saat pengajuan izin tidak kuliah karena ada tugas resmi dari kampus yang tidak kalah pentingnya dari mengikuti kuliah mimbar di kelas.
Hal sekecil kurangnya presensi dapat berbuah permasalahan yang lebih besar, karena kebijakan akademik yang mengharuskan mahasiswa untuk setidaknya memenuhi 75 persen dari kehadiran kelas keseluruhan agar dapat mengikuti ujian akhir semester. Jika kurang dari angka tersebut maka, terpaksa mahasiswa harus kekurangan proporsi nilai yang besar dari perolehan keseluruhan karena tidak dapat mengikuti ujian akhir semester, dan pilihan satu-satunya untuk memperbaiki adalah mengulang di semester berikutnya.
Tentunya, jika kebijakan semacam itu diterapkan, maka konsekuensi yang harus diambil oleh para pejabat akademik adalah sinkronisasi data yang tepat, sehingga mahasiswa tidak perlu melapor dan mengurus kekurangan presensi yang memakan waktu berharga dan bisa fokus mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian akhir semester. Masalah birokrasi lainnya dari keluhan mahasiswa antara lain berujung dari terlambatnya nilai keluar di transkrip sebagai prasyarat berbagai kegiatan seperti mengambil mata kuliah yang mensyaratkan nilai mata kuliah tertentu, mendaftar seminar proposal skripsi, hingga mendaftar beasiswa.
Contoh-contoh permasalahan di atas adalah segelintir dari segudang masalah mengenai birokrasi yang seharusnya memudahkan mahasiswa dalam perihal administrasi, bukannya menyulitkan mahasiswa yang harus dilempar kesana-kemari untuk memperoleh kejelasan akan masalah yang dialaminya.
Beralih dari permasalahan birokrasi yang panjang dan lebar, kita dapat beranjak ke isu kekinian yakni kuliah daring di masa pandemi. Seperti yang kita alami bersama, bahwa meskipun kuliah dilaksanakan di kamar kos ataupun rumah masing-masing, biaya kuliah yang harus kita penuhi adalah biaya kuliah penuh seperti yang kita bayarkan saat kuliah luring. Meskipun kita tidak mampu datang ke kampus untuk menikmati fasilitas yang kita bayarkan, kita harus membayar penuh tanpa potongan yang mempertimbangkan kondisi keuangan keluarga dan pribadi apalagi di situasi pandemi semacam ini.
Wacana mengenai pemotongan UKT akibat terdampak pandemi sudah ada sekian lama, namun permasalahan yang sebelumnya sudah dipaparkan oleh penulis kembali muncul lagi, yakni birokrasi yang rumit dan berkelok-kelok. Belum lagi tidak ada jaminan usulan permohonan tersebut diterima dan sesuai dengan ekspektasi yang telah ditaruh oleh mahasiswa.
Logisnya, dengan pertimbangan adanya pandemi tersebut, pemotongan dilakukan secara merata dan tanpa memerlukan tahapan yang panjang. Atau melalui data yang sudah dimiliki oleh fakultas, dapat menjadi pertimbangan untuk memberikan kelonggaran bagi mahasiswa secara menyeluruh karena pandemi ini dampaknya dirasakan oleh seluruh sivitas akademika tanpa terkecuali. Kenyataannya, untuk memperoleh pemotongan maupun sekadar kelonggaran, mahasiswa perlu mengurusi birokrasi (sekali lagi), ketika ia juga harus mengurus urusan lain untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.
Selanjutnya kita dapat beranjak ke isu lain, yakni berpindah dari mahasiswa menuju ke dosen. Belakangan ini dunia akademis filsafat sedang menghadapi isu hangat berupa diskursus sengit relevansi adanya ‘filsafat Nusantara’ (yang juga menjadi identitas dari Fakultas Filsafat UGM). Pihak alumni mengeluhkan sedikit kontribusi yang diberikan oleh dosen fakultas kita dalam ‘membela’ filsafat Nusantara dari kritik yang mempertentangkan hadirnya filsafat Nusantara di dunia akademis filsafat.
Mereka menilai bahwa kajian-kajian yang berangkat dari filsafat Nusantara terkesan ‘cocoklogi’ dan tidak memiliki nilai ilmiah yang khas dari filsafat tersebut. Akhirnya hanya sekadar menjadi pemaksaan atas teori bangsa Barat dan Timur Tengah untuk dipakai melihat isu kenusantaraan. Sehingga kontribusi terhadap pengayaan kajian ilmiah bernilai “Nusantara” hanya menjadi ajang menambah portfolio penelitian.
Dosen kita yang seharusnya menjawab tuduhan-tuduhan semacam itu absen dari diskursus tersebut sehingga dinilai sangat apatis dan tutup telinga terhadap isu dalam komunitas akademisi filsafat. Padahal, kritik semacam itu tentu membangun skeptisisme yang menjatuhkan kredibilitas bangunan filsafat Nusantara yang selama ini diagung-agungkan sebagai identitas utama fakultas kita sebagai fakultas yang menjunjung tinggi kajian filsafat bernilai kenusantaraan.
Permasalahan berikutnya, dilayangkan oleh aktivis BKM fakultas yang mengeluhkan kurangnya perhatian kampus terhadap kegiatan mahasiswa dan penyediaan serta pembaharuan sarana dan prasarana pendukung kegiatan mahasiswa. Mereka mengeluhkan dana yang diberikan belum mampu untuk mengembangkan kegiatan mahasiswa terutama dalam penyediaan kebutuhan kegiatan. Sebut saja seperti pembaharuan alat musik, penyediaan sarana panjat tebing, dan sarana lainnya yang sebelumnya dijanjikan untuk disediakan namun hingga saat ini belum nampak rimbanya. Hingga akhirnya, mereka merasakan bahwa selama ini fakultas masih apatis terhadap kegiatan nonakademik mahasiswa.
Terakhir, perlu penulis sampaikan bahwa tidak ada niatan untuk menjatuhkan pihak manapun. Tulisan ini ditujukan sebagai “surat cinta” kepada dekan baru yang juga penulis kagumi karena berhasil mendobrak tembok sekat gender dan menjadi perempuan pertama yang menjabat sebagai dekan fakultas kita tercinta ini. Semua masalah yang dipaparkan dalam tulisan ini sudi kiranya dapat dijadikan PR besar oleh kepala keluarga baru Rumah Kebijaksanaan. Harapannya dengan tulisan ini menjadi sebuah panggilan untuk berbenah dan menyadarkan kita semua bahwa rumah kita sedang tidak baik-baik saja.
Penulis: Armand I.S
Penyunting: Satian Haris