(bpmfpijar.com/Pramodana)
Kamis (8/10) ribuan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) menggelar demonstrasi Jogja Memanggil. Mereka yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, serikat buruh dan organisasi lain menuntut pencabutan UU Cipta Kerja dan mengusung mosi tidak percaya terhadap pemerintah dan DPR.
Tiga hari sebelum aksi, Selasa (5/10) DPR mengesahkan UU Ciptaker di tengah gelombang penolakan dari masyarakat di berbagai daerah. Karena itu, Revo dan Lusi selaku humas ARB mengatakan bahwa aksi hari itu merupakan akumulasi kekecewaan dan kemarahan masyarakat terhadap pemerintahan yang otoriter.
Aksi Jogja Memanggil merupakan aksi damai berupa longmars dari bunderan UGM menuju Gedung DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rute yang lebih jauh dari aksi-aksi sebelumnya, kata Revo, supaya pesan aksi tersebar lebih luas di masyarakat dan Gedung DPRD adalah simbol negara sehingga tepat menjadi sasaran dari gerakan nasional.
Longmars Massa Aksi dari Bunderan Menuju Gedung DPRD DIY
Pukul 11.20 WIB mobil komando memimpin massa aksi berjalan menuju Gedung DPRD. Sepanjang jalan, massa aksi menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti “Darah Juang” dan meneriakkan pekik revolusi tanpa henti.
Farid Ridwan, peserta aksi dari aliansi mahasiswa UGM, mengatakan bahwa UU Ciptaker merugikannya dan keluarganya. Ia menceritakan bahwa ibunya merupakan buruh yang jelas terdampak dari penghapusan cuti haid.
Sesampainya di Tugu Pal Putih, massa aksi berhenti untuk melakukan orasi dan mengadakan konferensi pers. Revo dan Lusi menyatakan bahwa tujuan aksi kali ini untuk menyeret turun rezim Jokowi-Ma’ruf amin. Pengesahan UU Ciptaker, menurutnya, di tengah pandemi menjadi bukti nyata dari kekejaman pemerintah.
Selain itu, Lusi juga menyatakan bahwa jalur Judicial Review bukan pilihan yang akan mereka ambil. Ia mengingatkan kasus masyarakat Kendeng yang memenangkan gugatan terhadap izin operasional pabrik semen dan tidak menghentikan operasional pabrik. “Kita lebih menyerukan untuk pembangkangan sipil,” ujarnya.
Sesampainya di depan Gedung DPRD DIY pada pukul 13.00 WIB, massa aksi ARB bertemu dengan massa aksi yang terdiri dari serikat buruh yang sudah lebih dulu menyampaikan orasi. Mereka saling menyapa dengan pekik perjuangan.
Sebelumnya, massa aksi dari serikat buruh memasuki pelataran Gedung DPRD DIY dengan membawa maskot babi bertuliskan “Dewan Pengkhianat Rakyat”. Mereka lalu ditemui anggota DPRD DIY dari fraksi Demokrat dan PKS yang menyatakan dukungan terhadap tuntutan aksi. Dukungan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk penandatanganan surat pernyataan oleh salah satu anggota DPRD DIY tersebut.
Biar Gas Air Mata Memerahkan Mata, Massa Aksi Tetap Meradang Menerjang
Di depan Gedung DPRD DIY, massa aksi ARB menggelar orasi yang disampaikan dari berbagai organ yang terlibat. Salah seorang orator menyampaikan bahwa aksi kali ini tidak akan selesai sampai tuntutan terpenuhi.
Pukul 13.20 WIB, massa aksi saling mendorong dan melempar botol dan batu untuk menembus barikade polisi. Saat terdengar suara kaca pecah dari dalam Gedung DPRD DIY, polisi anti huru-hara dengan seragam lengkap menampakkan diri.
Tidak lama setelah itu, polisi menembakkan gas air mata untuk pertama kali. Massa aksi lantas berlarian ke dua arah, selatan dan utara dan mobil komando mengambil jalan ke arah selatan menuju Titik Nol KM. Tembakan tersebut membuat konsentransi massa terbelah.
Massa aksi berkumpul kembali untuk menerobos barikade polisi dan melompati pagar. Polisi lantas menyerang massa aksi dengan lebih intens bersenjatakan gas air mata, water cannon, dan pentungan dan tameng. Usaha polisi untuk memukul mundur massa aksi ini terjadi terus-menerus.
Mobil komando lalu datang kembali ke sisi selatan Gedung DPRD DIY. Di atas mobil komando, seorang orator menyerukan massa aksi untuk mundur ke belakang. Orator itu orang asli papua, ia mengingatkan bahwa aparat merupakan pembunuh di tanah asalnya.
Massa aksi yang lain membentuk pagar pembatas sebagai ruang aman untuk massa aksi. Satu persatu massa aksi mundur tetapi polisi tetap menembakkan gas air mata dan water cannon.
Puluhan massa aksi menjadi korban luka dari penyerangan tersebut. Beberapa massa aksi terlihat memerah matanya dan pingsan. Ambulans dan motor dari jaringan paramedis ARB mulai berseliweran di tengah aksi. Berdasarkan Laporan Tim Medis ARB, sebanyak tiga puluh massa aksi mendapatkan perawatan dan di antaranya mengalami kondisi kritis.
Setelah dua jam lebih, keadaan sempat tenang. Massa aksi yang berkumpul di belakang mobil komando menyanyikan lagu “Bagimu Negeri” dan “Indonesia Pusaka”. Setelah mengakhiri nyanyian, mereka tetap memutuskan bertahan untuk aksi. Lalu, mereka memekikkan “Jogja bersatu, tak bisa dikalahkan” sembari tepuk tangan.
Tidak lama setelah itu, 15.30 WIB, asap hitam membumbung tinggi dari sisi selatan Gedung DPRD DIY. Terjadi kebakaran di Restoran Legian Legend. Dari rekaman cctv, sebagian massa aksi berusaha memadamkan api tetapi dihentikan polisi.
Pukul 16.20 WIB, orator membacakan pernyataan sikap ARB dengan diikuti oleh massa aksi. ARB juga mengecam tindakan represif aparat kepolisian Yogyakarta yang menangkap massa aksi dan menuntut pembebasan pada saat itu juga.
Hedi, pedagang rokok di Malioboro, menyesalkan adanya tindakan represif aparat kepolisian karena, menurutnya, UU Ciptaker merupakan kesalahan DPR tetapi yang menjadi korban justru rakyat. Ia pun menyatakan dukungan untuk aksi tersebut.
(Pramodana/Ayom)