Policy Setengah Basa-Basi (PSBB): Kritik Kinerja Pemerintah Tangani Pandemi COVID-19

0
1254

Seluruh pembicara menyerukan viva justicia, semboyan Fakultas Hukum UGM, Rabu (20/5) (bpmfpijar.com/Ayom Mratita)

Kanal Pengetahuan Fakultas Hukum UGM menyelenggarakan rumpi hukum dengan judul Policy Setengah Basa-basi (PSBB) pada hari Rabu (20/5). Diskusi yang disiarkan lansung di kanal Youtube mereka dimulai pukul 19.30. Pembicara hadir dari berbagai fokus kajian hukum yakni Bivitri Susanti; Ahli Hukum Tata Negara, Wahyu Yun Susanto; Dosen Hukum Lingkungan FH UGM, Faiz Rahman; Dosen Hukum Tata Negara FH UGM, Laras Susanti; Dosen Hukum Perdata FH UGM, dan Zainal Arifin Mochtar; Dosen Hukum Tata Negara FH UGM. Diskusi ini dimoderatori Aditya Sewanggara.

Bivitri Susanti mengawali diskusi dengan fokus bahasan inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam menghadapi pandemi. Ia menilai bahwa pemerintah terlambat dalam merespon pandemi. Lelucon para menteri di awal tahun sangat disayangkannya. Kondisi tersebut menimbulkan dua pertanyaan. “Pemerintah tidak percaya sains atau pemerintah terlalu memberatkan masalah ekonomi?” tanya Bivitri.

Bivitri menunjukkan pula kebijakan PSBB merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya pelaksana kebijakan. Pemerintah pusat mengatur ini melalui Permenkes no. 9 tahun 2020. Pemerintah daerah karena itu perlu mengajukan proposal pelaksaan ke pemerintah pusat. Beberapa daerah mengalami penolakan karena beberapa alasan seperti tidak siap memberi bantuan sosial.

“Bantuan sosial bukan bersifat charity, tidak karena kebaikan hati pemerintah, melainkan pemenuhan hak untuk warga negara” tutur Bivitri.

Kesimpangsiuran kebijakan menurut Bivitri dapat terlihat dari perbatahan para politikus. Bivitri menderetkan kasus-kasus mulai dari aturan mengenai ojek daring dan pegawai di bawah 45 tahun boleh masuk kerja sampai mudik. Kebingungan masyarakat ini lantas memicu kemunculan tagar #IndonesiaTerserah. Perilaku masyarakat di hadapan hukum tidak melulu soal sangsi melainkan berdasar banyak variabel. Ia pada akhirnya bertanya “Bagaimana stay at home kalau home-nya tidak ada dan work from home kalau work-nya sudah tidak ada karena di-phk karena pandemi?”

Wahyu Yun Susanto menanggapi keramaian publik terkait dengan judul diskusi yang seolah-olah mendiskreditkan kebijakan PSBB. Ia menekankan bahwa PSBB merupakan salah-satu pihan yang wajib dilakukan saat ini. Namun, Ia menyayangkan kebijakan pemerintah yang simpang-siur mengenai PSBB seperti terlihat dari seremoni penutupan McD Sarinah ataupun penutupan bandara untuk kemudian dibuka kembali.

“PSBB yang tidak diterapkan dengan baik justru menjadi penyebaran virus secara besar-besaran,” tutur Wahyu Yun.

Wahyu Yun selanjutnya menyebutkan kunci efektivitas terlaksananya PSBB terletak pada kedisiplinan dan kejujuran masyarakat, komando yang jelas dari pemerintah, dan rentang kendali. Ia pun mengingatkan juga bahwa pemerintah saat ini menggunakan dua aturan untuk menghadapi pandemi; penanggulangan bencana nasional dan darurat kesehatan. Ia mengharapkan pula konsistensi aturan pemerintah.

Faiz Rahman melihat lagi peta aturan penanganan pandemi. Tiap aturan merupaka turunan dari UU Kekarantinaan Wilayah dan UU Penanggulangan Bencana Nasional. Dua aturan tersebut melahirkan keputusan dari dua institusi pusat, kementrian kesehatan dan BNPB. Pemerintah daerah sementara itu bisa mengacu pada UU Pemerintah daerah. Penuturan ini digunakan Faiz untuk memetakan kewenangan pemda.

Peran Pemda cukup penting untuk menangani pandemi. Pemda sendiri sebetulnya mampu membuat aturan sendiri selama merujuk pada keputusan pemerintah pusat. Pemda bisa mengusulkan pada menteri untuk status PSBB. Akan tetapi, peraturan ini, menurut Faiz, kurang jelas memberikan kriteria tentang penetapan PSBB. Keumuman pedoman ini bisa jadi menimbulkan kebingungan pada pelaksanaanya.

Selain itu, Faiz menyarankan pola komunikasi yang baik antara pusat dan daerah. Ia mengetengahkan pula sifat positif masyarakat terhadap hukum. Untuk itu pemerintah mesti melahirkan ketentuan yang tegas, jelas, dan terbuka.

Laras melanjutkan dengan menyampaikan peraturan PSBB yang berubah-ubah berdampak lebih besar pada pemulihan ekonomi di Indonesia. Masyarakat mulai bingung dan gelisah serta pihak swasta bingung pula beraktivitas kembali.

Laras pun turut menyinggung mengenai bantuan sosial yang diberikan pemerintah bukan bentuk sumbangan melainkan pelaksanaan dari tujuan negara dalam Pembukaan Undang-undang Dasar. Dana dari APBN merupakan hak warga negara! Karena itu mempertanyakan maupun mengkritisi bantuan sosial merupakan bagian kerjasama dari warga negara untuk memastikan kewajiban negara pemerintah terpenuhi. Permasalahan pendataan selama pandemi juga menjadi masalah berkepanjangan dalam penyaluran bantuan sosial untuk warga yang terdampak pandemi dan bisa salah sasaran.

“Konsepsi bantuan sosial sebagai hak itu harus benar-benar diimplementasikan”, tegas Laras.

Zainal melanjutkan pembicaraan dengan bahasan hukum tata negara dalam keadaan darurat. UUD 45 mengenal tentang keadaan bahaya dan hal ihwal kepentingan memaksa. Akan tetapi, keadaan darurat tidak banyak dibahas di sana, hanya dibahas di pasal 12 “Kondisi bahaya akan ditetapkan dalam undang-undang.”

Zainal menilai kondisi bahaya peraturan UUD 45 berantakan. Bayangan kondisi yang bahaya jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Kondisi bahaya masih berdasar tahun 1959. Karena itu hanya membahas mengenai pertarungan dalam kondisi hukum liberal dan perlawanan daerah. Zainal melihat ini karena pemerintah tidak pernah menerjemahkan ulang kondisi kondisi bahaya. Payung besar kondisi bahaya perlu dirumuskan sebelum menciptakan aturan-aturan di bawahnya, tidak lagi merujuk yang lama.

Ketidakjelasan soal peraturan mengenai pandemi ini sebagai keadaan bahaya yang dimaksud dalam undang-undang lantas mengakibatkan digunakan undang-undang dengan parameter yang berbeda dan tentu terjadi kebingungan.

Ia menyayangkan tidak adanya Perpu mengenai COVID-19 yang seharusnya dapat menjadi bonggol aturan secara keseluruhan. Perpu yang keluar justru lebih banyak membcarakan mengenai penyelamatan ekonomi. Jika ada asumsi yang mempertentangkan antara isu ekonomi dan isu kesehatan, wajar pemerintah dianggap lebih memilih menyelamatkan sektor ekonomi dibanding dengan kesehatan masyarakat.

“Terlebih lagi, sekarang DPR menjadi rajin membahas undang-undang yang kelihatannya tidak ada kaitannya dengan COVID-19,” kritik Zainal.

Zainal memungkasi pembicaraan dengan menyatakan pandemi COVID-19 menjadi pembuka bagi kebobrokan banyak hal; bagaimana kepentingan politik  di DPR didahulukan sehingga membahas undang-undang yang nyaris tidak berkaitan, kekacauan relasi antara OJK, BI dan lembaga keuangan, dan konsep koordinasi yang bermasalah.

Di akhir diskusi, pembicara menyampaikan solusi atas kritik yang dihadirkan pada forum tersebut. Pemerintah, menurut Bivitri, sebaiknya memaksimalkan data yang ada sehingga pembuatan kebijakan berdasarkan data. Ia menyayangkan pemerintah karena jarang sekali melibatkan akademisi dalam pembuatan kebijakan mengenai COVID-19. Zaenal kemudian mengingatkan untuk melihat COVID-19 sebagai keadaan bahaya sehingga harus ada langkah tegas dalam menanganinya. Disampaikan juga untuk menjaga komunikasi politik yang lebih baik, pemerintah diharapkan untuk tidak memberikan komando mengenai kebijakan yang simpang-siur dan diharapkan untuk konsisten.

(Ayom/Pramodana)

LEAVE A REPLY