Perempuan yang Dihancurkan: Melihat Pernikahan sebagai Sesuatu yang Apa Adanya

0
4448

        

Judul: Perempuan yang Dihancurkan

Penulis: Simone de Beauvoir

Penerjemah: Yusup Priasudiarja

Penerbit: Narasi

Cetakan Pertama: Januari, 2018

Halaman: 342 Halaman

Buku ini adalah karya fiksi yang ditulis Simone de Beauvoir pada tahun 1969. Simone de Beauvoir dalam buku ini masih membawa perempuan sebagai tokoh sentral pada setiap bagian cerita. Bagian buku ini terdiri dari 3 buah cerita pendek yang keseluruhannya berlatar belakang kehidupan pernikahan. Sekalipun tokoh dan bagian setiap cerita berbeda, pada akhir buku ini pembaca akan mendapatkan benang merah yang sepertinya memang dimaksudkan Beauvoir untuk ditemukan.

Bagian cerita pertama mengisahkan tentang seorang ibu yang lambat laun merasa tertekan dengan perilaku anak laki-lakinya. Rasa tertekan ini disebabkan karena pada akhirnya sang anak mengambil sikap politik yang berbeda dan memutuskan beberapa tindakan yang tidak diharapkan oleh kedua orang tuanya. Sikap dan keputusan ini membuat orang tuanya menjadi tidak terima dan mulai menyalahkan segala hal termasuk perempuan yang dipilih anaknya untuk dijadikan istri. Sementara cerita kedua mengisahkan seorang perempuan yang frustasi dalam kesendiriannya. Hal ini juga dipicu karena tokoh utama kehilangan anak perempuannya dalam keadaan ia tidak bisa menerima bahwa dirinya belum sempat menjadi ibu yang baik. Pada cerita kedua ditemukan bahwa kecendrungan perilaku yang dialami tokoh utama disebabkan oleh trauma psikologis semasa kecil. Pada masa kecil tokoh utama dipaparkan bahwa ia merasakan ketidakadilan dalam perilaku ibunya yang membuatnya merasa ditepikan dan teralienasi.

Cerita ketiga dalam buku ini mengisahkan tentang perempuan yang tertekan oleh perselingkuhan suaminya. Cerita ini diisi dengan pertimbangan-pertimbangan serta upaya penerimaan dari tokoh utama sekalipun akhirnya keadaan ini tetap tidak dapat ia terima. Tokoh utama diceritakan lama kelamaan kehilangan kepercayaan diri dan kehilangan kemampuan untuk membangun dirinya sendiri. Hal ini didukung juga dengan fakta bahwa anak-anaknya ternyata tidak tumbuh seperti apa yang ia perkirakan dan ia divonis bersalah oleh suaminya untuk itu semua.

Hal paling mendasar yang dapat ditemukan setelah membaca ketiga cerita tersebut secara lengkap adalah Beauvoir mencoba menjelaskan tentang keterpisahan emosional dalam hubungan pernikahan. Keterpisahan emosional ini dialami tidak hanya dengan pasangan namun juga anak. Beauvoir menggambarkan seolah-seolah pernikahan adalah distopia yang terjadi secara terus-menerus. Hubungan pernikahan yang digambarkan Beauvoir setelah memakan puluhan tahun lambat laun kehilangan pijakan dan hal-hal esensial. Jurang keterpisahan emosional yang melebar membawa hubungan pernikahan ke dalam kegagalan untuk memahami satu sama lain.

“Sepasang manusia yang hidup bersama semata-mata karena itulah cara mereka memulai, tanpa alasan lain: apakah kami sedang menuju ke arah itu? Apakah kami akan menghabiskan lima belas atau dua puluh tahun lagi tanpa ada keluhan berarti dan kebencian walau masing-masing dari kami menutupi dunianya sendiri-sendiri, semuanya memikirkan masalahnya sendiri-sendiri, menyesali kegagalannya sendiri-sendiri, sementara kata-kata terucapkan tanpa arti?” (Beauvoir, 2018: 95)

Dalam ceita pertama digambarkan bahwa tokoh utama dengan suaminya Andre beberapa kali kehilangan kemampuan untuk saling berdialog. Perasaan tokoh utama kerap kali diisi dengan ketakutan untuk menyinggung ranah yang tidak seharusnya ia singgung. Dominasi perasaan takut saling mengecewakan dalam berkomunikasi menandakan cederanya kemampuan untuk mendengarkan satu sama lain. Di beberapa adegan juga diperlihatkan bahwa tokoh utama dan suaminya tidak dapat memahami dasar pengambilan keputusan masing-masing. Hal ini seolah-olah membawa dialog ke dalam kubangan yang menjengahkan.

Pada bagian cerita ketiga diperlihatkan bagaimana perselingkuhan diambil sebagai upaya mengatasi kejenuhan dan perasaan tidak nyaman yang menumpuk. Tawar-menawar psikologis yang dilakukan Monique dengan dirinya sendiri dapat dipahami sebagai upaya menerima kenyataan sekalipun berakibat destruktif terhadap dirinya sendiri. Bagian cerita ini menggambarkan pernikahan sebagai sebuah keterlanjuran. Permasalahan gairah seksual juga sedikit dibahas pada bagian ini. Gairah seksual digambarkan Beauvoir akan tereduksi seiring berjalannya waktu dan apabila hal ini tidak dapat diselesaikan dengan benar, keterpisahan emosional akan kembali terjadi.

Elemen selanjutnya yang dibahas dalam buku ini adalah bagaimana hubungan ibu dengan anak. Digambarkan setiap ibu atau tokoh utama dalam buku ini memiliki gambaran ideal tentang bagaimana seharusnya anak-anak mereka. Gambaran-gambaran ideal ini cenderung diwujudkan dalam tindakan represif yang justru membawa tindakan anak ke dalam hal yang tidak diharapkan. Pada bagian cerita pertama dapat dilihat bagaimana tokoh utama memaksakan pandangan politik yang ia yakini terhadap anak laki-lakinya dan berujung kepada pertengkaran hebat di antara mereka. Pertengkaran ini memperlihatkan bagaimana tokoh utama melupakan bahwa anak laki-lakinya berhak dalam menentukan pilihan hidup secara otonom termasuk tendensi kompas politik.

Cerita bagian kedua juga memperlihatkan bagaimana ibu yang gagal dalam memahami motif dan pola perilaku anak hingga suatu hari ia menemukan anaknya bunuh diri dengan menenggak obat tidur. Trauma masa kecilnya membuat tokoh utama berkeinginan untuk tidak membiarkan anaknya merasakan hal yang sama namun yang terjadi justru sebaliknya. Kegamangan ibu dalam bersikap dan menentukan pendekatan emosional yang tepat justru membuat anak meretas banyak pertanyaan dalam kepalanya. Pada akhirnya, hal ini membuat anak seperti ditinggalkan dan tidak memiliki proteksi yang cukup dan seharusnya ia dapatkan. 

Hal baik yang dapat ditemukan dalam buku ini adalah bagaimana Beauvoir menggambarkan pernikahan sebagai keadaan yang apa adanya dan tidak dipenuhi dengan utopia. Pembaca dibawa ke dalam konflik-konflik yang sangat dekat dalam hubungan pernikahan hari ini dan dapat menganalisis ulang tindakan yang diambil oleh para tokoh. Beauvoir dalam setiap cerita cukup memberikan penjelasan yang berimbang tentang mengapa suatu tindakan diambil dan bagaimana tindakan tersebut berpengaruh terhadap tindakan lainnya. Di dalam setiap cerita Beauvoir juga memberikan porsi narasi yang cukup banyak untuk dialog tokoh dengan dirinya sendiri. Hal ini seperti dibuat untuk menegaskan usaha-usaha tokoh dalam melakukan refleksi terus menerus.

Ketiga cerita dalam buku ini menjadi sedikit sulit dipahami ketika masing-masingnya meletakkan banyak tokoh untuk membantu peran tokoh utama. Tokoh-tokoh yang bukan merupakan sentral cerita tidak mendapatkan penjelasan yang cukup sehingga membuat pembaca sedikit bingung dan terpaksa meninjau kembali ke belakang. Tokoh-tokoh ini langsung mengambil dialog dengan tokoh sentral tanpa ada penjelasan lebih lanjut tentang latar belakang ia berasal. Pada bagian cerita kedua dan ketiga juga ditemukan beberapa alur yang melompat-lompat dan tidak teratur. Pemabaca dipaksa memahami fragmen sebelum keseluruhan cerita dan terkadang sebaliknya. Akhir dari setiap cerita pada buku ini tidak ditegaskan secara eksplisit. Cerita kerap kali hanya diakhiri dengan penerimaan emosional antara tokoh utama dengan dirinya sendiri. Pertanyaan tentang bagaimana tokoh-tokoh lainnya yang terlibat dalam cerita dibiarkan begitu saja.

Terlepas dari itu semua, buku ini tetap baik bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin memahami pernikahan dan perjalanan emosional seseorang. Melihat dari sudut yang lebih dekat apakah perempuan-perempuan ini benar-benar berhasil dihancurkan. (Sherin/Rananda)

LEAVE A REPLY