Pengesahan UU Cipta Kerja Abaikan Suara Rakyat, Aliansi Akademisi Menyatakan Sikap Menolak

0
804

(bpmfpijar.com/Ayom Mratita)

Berbagai gelombang aksi massa yang menolak UU Cipta Kerja, nyatanya tidak menghalangi Presiden Jokowi untuk mengesahkannya menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 pada Senin (2/11). Tak hanya sekali, dari aksi tolak pelemahan KPK, pengesahan revisi UU Minerba, hingga pengesahan UU MK yang tergesa-gesa suara rakyat semakin diabaikan oleh penguasa. 

“Kebijakan-kebijakan kontroversial tahun lalu, sampai pengesahan UU Cipta Kerja hari ini merupakan serangkaian kepentingan economy rate yang melanggengkan kaum oligarki,” ujar Abdul Mughis Mudhofir, selaku wakil dari FIS Universitas Negeri Jakarta. Berdasarkan hal itu, 322 akademisi dari 119 universitas maupun politeknik yang tergabung dalam Aliansi Akademisi menyatakan sikap penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja. 

Selain Abdul, sikap penolakan yang disampaikan melalui siaran pers di kanal Youtube PUSaKO FHUA juga dihadiri oleh beberapa perwakilan. Diantaranya Harits Retno Susmiyat, wakil dari FH Universitas Mulawarman; Irwansyah, wakil dari FISIP Universitas Indonesia; Dhia Al Uyun, wakil dari FH Universitas Brawijaya; dan Herlambang P. Wiratraman, wakil dari FH Universitas Airlangga. 

Menurut Aliansi Akademisi, penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja ini merujuk pada sejumlah kecacatan baik formil maupun materiil. Harits mendeskripsikan pengesahan UU Cipta Kerja sebagai situasi yang memprihatinkan. Ia menjelaskan bahwa pemerintah keukeuh untuk mengesahkan UU Cipta Kerja di tengah gelombang penolakan oleh rakyat, keprihatinan pandemi COVID-19, dan represi terhadap kebebasan menyampaikan pendapat yang dilakukan aparat. 

Alasan penolakan dikuatkan oleh kajian hukum Aliansi Akademis bahwa melalui pengesahan UU Cipta Kerja ini terjadi penguatan tirani hukum kekuasaan. Menurut kajian tersebut, UU Cipta Kerja hanya menguntungkan kaum oligarki. “Rezim ini mengarah pada sistem kapitalisme oligarki, kemungkinan penebalan problem korupsi kian tersusun sistematis,” ujar Harits. 

Senada dengan Harits, Herlambang menjelaskan mengenai watak hukum rezim Jokowi yang disebutnya dengan market capitalism legal friendly reform, yakni pembaharuan hukum yang berorientasi pada kapitalisme pasar bebas.”Ini jelas bertentangan dengan Pasal 7 Ayat 2 tentang penghidupan yang layak dan Pasal 33 UUD 1945 mengenai asas kekeluargaan dalam perekonomian,” tegas Herlambang. 

Cacat materiil pada UU Cipta Kerja, disebutkan Harits lagi, kali ini tampak dari ketidakjelasan pasalnya. “Pada Pasal 7 UU Nomor 11 Tahun 2020 yang memuat sebagaimana yang dikatakan di Pasal 6, sedangkan pada Pasal 6 mengacu pada Pasal 5 Ayat 1 huruf a. Janggalnya, Pasal 5 Ayat 1 huruf a tersebut tidak ada dalam UU Cipta Kerja,” jelas Harits. Ia menegaskan bahwa kejanggalan satu pasal ini bisa gugurkan UU Cipta Kerja. 

Harits juga menyebutkan terkait penguatan UU Nomor 3 Tahun 2020 mengenai Mineral dan Batubara melalui Pasal 128 huruf a. Menurutnya, dalam pasal ini terdapat perlakuan tertentu terhadap usaha batubara yang melakukan peningkatan nilai tambang berupa royalti 0%. “Ini menjadi kabar buruk bagi daerah penghasil sumber daya, apabila diberlakukan tidak ada lagi bagian royalti yang akan dibagi ke daerah tersebut,” ungkap Harits.

Sementara itu, Irwansyah menyoroti cacat UU Cipta Kerja terkait ketenagakerjaan. Ia menilai UU Cipta Kerja adalah strategi licik untuk menyediakan sarana legal bagi pelemahan hak-hak kolektif pekerja yang merupakan hasil signifikan dari perjuangan reformasi. “Hak-hak kolektif pekerja akan dilucuti melalui ketidakmungkinan, misalnya ketidaktersediaan masa kerja yang tetap membuat hubungan kerja tetap sangat kecil sekali,” beber Irwansyah. 

Dhia menyebutkan UU Cipta Kerja menggambarkan wajah buruk politik legislasi pada bidang peradilan karena tidak mengindahkan partisipasi publik. Ia juga menambahkan perancangan UU Cipta Kerja dari awal draf hingga disahkan dianggap symbolic law making process

Selanjutnya, Herlambang mencatat beberapa poin persoalan tambahan terkait pengesahan UU Cipta Kerja. Menurutnya, UU Cipta Kerja merupakan hukum yang abai pada persoalan HAM; melahirkan potensi ketidakadilan yang mengingkari wujud hukum yang harus memiliki kebermaknaan sosial. Ia menilai melalui pengesahan UU tersebut merupakan model otoritarian baru dengan instrumentasi legalitas hukum. 

Poin berikutnya yang dicatat Herlambang adalah kelahiran UU Cipta Kerja akibat dari sistem politik transaksional. Ia menyebut sistem ini dengan cartelized political system yang ditandai dengan kepentingan segelintir orang yang berkuasa dalam pembentukan hukum. “Celakanya, sistem yang demikian telah mengakar dalam demokrasi elektoral Indonesia dan pemilu memberi jalan untuk bertahan dan menguatnya sistem itu,” tambah Herlambang. 

Melihat persoalan yang sama, Abdul menilai watak serta produk-produk hukum rezim Jokowi sebagai illiberal. “Terlihat dari kepentingan siapa yang dilayani, yaitu kelompok-kelompok yang berupaya menggunakan akses atas institusi negara untuk mengakumulasi kekayaan publik,” jelas Abdul.  

Tak lupa, Abdul menyanggah klaim atas pengesahan UU Cipta Kerja yang menyederhanakan birokrasi dan mengurangi pungutan liar. “UU Cipta Kerja hanya berusaha memberantas korupsi-korupsi kecil, sementara memberikan jalan bagi korupsi yang bernilai besar,” jelasnya lagi. Bahkan, Abdul juga menilai, selain mengabaikan partisipasi publik, UU Cipta Kerja tidak mengakomodir kepentingan investasi asing yang menghendaki prinsip liberalisme pasar, akuntabilitas, dan transparansi.  

Oleh karena itu, Aliansi Akademisi mengharapkan pemerintah dapat mengedepankan kewarasan politik dibanding nafsu serta keserakahan yang diberi stempel legalisasi. “Praktik jahat penguasa dalam UU Cipta Kerja harus dihentikan, dilakukan melalui kekuatan bersama antara akademisi, mahasiswa, pekerja, dan media dengan cara apapun itu,” pungkas Irwansyah.

(Ayom/Haris)  

LEAVE A REPLY