(bpmfpijar.com/Ayom Mratita)
Disebutkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta bahwa sekitar 90 orang ditangkap oleh aparat kepolisian dan tujuh orang hilang setelah Aksi Jogja Memanggil pada Kamis (8/10). Sekitar 50 orang diantaranya berasal dari pengaduan masyarakat.
Data tersebut dibenarkan oleh pihak Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam pers rilis Kepolisian DIY pada Jumat (9/10) pukul 16.00 WIB di Polresta Yogyakarta. Polisi berdalih jika penangkapan terhadap 95 orang massa aksi oleh Polresta Yogyakarta dilakukan untuk mengantisipasi kerusuhan berlanjut. Sementara itu, empat orang ditetapkan sebagai tersangka karena merusak Pos Polisi Gardu Anim di Jalan Abu Bakar Ali.
Tim hukum Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) yang terdiri dari LBH Yogyakarta, Pusat Bantuan Hukum (PBH) Yogyakarta, PBH Peradi Bantul, PBH Peradi Wates, dan LKBH (Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) berusaha membantu dalam proses pendampingan hukum untuk massa aksi yang ditangkap.
Restu, perwakilan PBH Yogyakarta, menyampaikan bahwa proses pendampingan hukum dipersulit oleh pihak kepolisian. “Pada saat kami mengadvokasi, pihak kepolisian menghalangi kami untuk bertemu dengan korban penangkapan dengan alasan pemeriksaan,” terangnya.
Ia pun menambahkan jika proses pemeriksaan terlampau lama, penangkapan dilakukan sejak sore hari. Sementara, ia dan tim hukum ARB lainnya menuju Polresta Yogyakarta pukul 23.00 WIB. Selama kurang lebih empat jam menunggu, Restu nyatanya hanya diberikan data massa demo yang ditangkap.
“Semalam kami di sana dari pukul 23.00 WIB hingga 03.00 WIB, tidak diberikan akses untuk bertemu dengan korban penangkapan, kami hanya menerima data massa aksi yang ditangkap,” ujar Guson, perwakilan PBH Peradi Wates. Menurutnya, dari data yang diberikan, sebagian besar massa aksi yang ditangkap adalah pelajar yang masih di bawah umur sehingga dalam proses pemeriksaan memerlukan pendampingan hukum.
Tim hukum ARB menyesalkan bahwa dalam proses pemeriksaan seharusnya melibatkan penasihat hukum sementara akses untuk bertemu dengan korban penangkapan saja tidak diberikan. Terlebih lagi keluarga korban yang diliputi ketidakjelasan status dan kondisi korban penangkapan di Polresta Yogyakarta.
Selain proses hukum yang tidak terbuka, tim hukum ARB juga menggarisbawahi tindakan represif polisi kepada massa aksi. “Pada saat peristiwa, teman-teman massa aksi ditembaki gas air mata, diseret, hingga ditangkap. Kami prihatin, di dalam proses menyampaikan pendapat harus direpresi seperti itu,” ujar Adva, selaku wakil dari LKBH Fakultas Hukum UII.
Adva menuntut agar massa aksi yang ditangkap harus dibebaskan, sebab yang dilakukan massa aksi merupakan tugas sebagai warga negara untuk mengkritik kebijakan yang inkonstitusional.
Heri, perwakilan PBH Peradi Bantul, menyebutkan pihak kepolisian justru mempersoalkan keterlibatan mengikuti aksi ketika ditanya mengenai status korban yang ditangkap. Menurutnya, hal ini menjadi lucu karena pihak kepolisian mempermasalahkan hak konstitusional warga negara untuk menyampaikan pendapat.
Tim hukum ARB menegaskan terdapat empat poin yang disoroti dari kejadian penangkapan massa aksi. Pertama, aksi menyampaikan pendapat merupakan hak konstitusional sehingga tidak boleh ada stigma bahwa orang yang melakukan aksi adalah kriminal. Kedua, akses bantuan hukum belum dijamin oleh kepolisian, hal tersebut mencoreng profesi advokat.
Ketiga, Polisi belum mengeluarkan pernyataan, untuk pernyataan apapun yang dikeluarkan tim hukum ARB belum bisa percaya karena selama proses pemeriksaan pun tidak dilibatkan. Keempat, massa aksi yang ditangkap belum mendapatkan status yang jelas, pihak kepolisian harus bisa menjamin keamanan dan nama baik, agar tidak terjadi stigmatisasi.
Hingga Sabtu (10/10) artikel ini diterbitkan, sebanyak 91 orang dari 95 yang ditangkap telah dibebaskan. Lima orang di antaranya adalah mahasiswa Universitas Gadjah Mada, informasi tersebut diwartakan melalui akun instagram @aliansimahasiswaugm. Sebelumnya, pada Jumat (9/10) sekitar pukul 13.00 WIB, tim hukum ARB kembali mendatangi Polresta Yogyakarta untuk melakukan pendampingan hukum dan berusaha membebaskan massa aksi yang ditangkap.
(Ayom/Haris)