Sumber: Dok. Istimewa

Orang gila adalah kaum minoritas dalam sebuah masyarakat yang menganggap dirinya wajar, akan tetapi orang gila mempunyai kelebihan yang dahsyat dibandingkan manusia-manusia wajar. Menurut Foucault, mereka mampu keluar dari struktur-struktur yang mengekang manusia-manusia wajar. Mereka tak terjerat oleh faktor-faktor ekonomi, bahasa, dan reproduksi. Begitupun istilah orang gila baru muncul sekitar abad 18 saat terjadi revolusi industri, sehingga definisi orang gila pada saat itu adalah orang yang tak mampu bekerja. Miris memang, saat revolusi industri semua manusia dituntut untuk kerja, kerja, dan kerja. Hal itu membuat orang gila menjadi termarjinalkan dan didiskualifikasi dari struktur masyarakat.

Lalu apa yang terjadi dengan nasib orang gila di mata manusia wajar dewasa ini?

Mereka dianggap sebagai pengganggu, perusak, meresahkan, dan berbahaya. Ya, manusia wajar selalu menyingkirkan orang-orang gila karena mungkin dengan alasan yang sudah terurai di atas. Namun, ada satu fakta terselubung yang membuat mereka begitu bencinya kepada orang gila, yaitu rasa iri. Mereka tidak bisa sebebas orang-orang gila yang melakukan kegilaan di mana saja. Mereka hanya bisa melakukan sifat-sifat kegilaan di dua tempat, tempat ibadah dan “panggung”.

Saya akan memulai dari tempat ibadah. Tempat ibadah, tempat yang dipandang suci nan sakral yang berfungsi sebagai sarana pendekatan diri pada Tuhan. Namun itu semua hanyalah metafor, sesungguhnya tempat ibadah tak lebih sebagai sarana perkumpulan orang-orang gila yang ingin melampiaskan kegilaannya, namun tetap dianggap wajar bahkan suci karena dilindungi label “pendekatan diri pada Tuhan.” Mulai dari ucapan-ucapan kemustahilan, gerakan tubuh tak wajar, hingga tangisan penyesalan diri sendiri. Semua itu identik dengan kelakuan orang gila, hanya saja mereka mempunyai tempat khusus untuk melakukan kegilaan tersebut.

Lain dengan orang gila yang melakukan kegilaannya di berbagai tempat. Saya bertanya “imitasi” orang gila saja mempunyai tempat (bahkan tempat suci lagi), lantas mengapa orang gila sesungguhnya justru tak mempunyai tempat dan parahnya lagi dibuang oleh “imitasinya”. Ya, untuk sementara ini, biarkan pertanyaan ini mengambang.

Tanpa keraguan, saya sangat benci terhadap “imitasi orang-orang gila” ini, namun di balik semua kebencian itu, saya jatuh cinta kepada penemu atau perintis konsep tempat peribadatan yang bersedia menampung “imitasi orang-orang gila” ini. Jelas, semua orang percaya bahwa konsep ini tercipta atas kekreatifan Tuhan. Tapi saya berandai-andai semisal bukan Tuhan yang menciptakan konsep ini, melainkan ada campur tangan manusia di balik ini semua. Dia tentu mempunyai jiwa pemberontak. Mendukung kegilaan sebagai ekspresi manusia yang bebas dan melepaskan mereka dari struktur yang salah arah.

Dia (sang konseptor) mampu merubah pandangan tentang orang gila yang semula dianggap aneh, pengganggu, perusak, menjadi orang yang suci dan dihormati berkat tempat yang ia buat. Namun, akhir-akhir ini mereka (si imitasi orang gila) telah salah arah. Orang-orang ini justru mengejar kesucian dan kehormatan, bukan kegilaan (ekspresi kebebasan dan pelepasan dari struktur) yang menjadi esensi tempat peribadatan selama ini.

Di lain panorama, ada satu tempat lagi yang menarik perhatian saya. Tempat ini adalah “panggung”. Dalam KBBI, panggung diartikan sebagai lantai yang agak tinggi, tempat bermain sandiwara, bernyanyi, bermain drama dan berpidato. Ya, sebelum beranjak lebih jauh, terlebih dahulu kita harus menggaris bawahi kalimat yang berucap lantai yang agak tinggi. Terbukti!

Tak kalah dengan tempat peribadatan dengan  segala kesuciannya, pada kenyataannya panggung juga sangat diagung-agungkan, yang secara eksplisit terpampang nyata dalam definisi yang saya garis bawahi di atas. “Lantai agung” ini menjadi sasaran utama bagi si “imitasi orang-orang gila” yang ingin meluapkan kegilaannya dalam bentuk-bentuk atau kekreatifan yang tidak terbatas. Adanya “panggung”, kegilaan dianggap wajar bahkan melebihi kewajaran (abnormal) sehingga kegilaan di atas “panggung” perlahan-lahan diafirmasi sebagai bentuk tontonan atau hiburan.

Istilah seniman kemudian muncul. Seseorang yang mengerjakan, menciptakan karya—yang hasilnya nanti disebut—seni. Lebih dari itu, S. Sudjojono menambahkan bahwa untuk menjadi seniman seseorang itu harus memiliki watak dan jiwa yang besar (sebab seni adalah jiwa yang tampak).

Jiwa yang tampak (kegilaan jiwa) itulah esensinya, namun belakangan ini kebanyakan dari mereka yang mengaku seniman tak lebih hanyalah sebatas “seniman (imitasi orang-orang gila) panggung”. Lebih lagi, saat ini orientasi mereka hanyalah uang. Bisa dilihat dari besarnya penghasilan mereka, Jadi, rumus mereka yang semula “Jiwa-Uang-Jiwa” saat ini berubah menjadi “Uang-Jiwa-Uang”.

Menyedihkan sekaligus menggelikan. Ketika tempat peribadatan dan panggung menjauhi esensinya. Ironisnya lagi, saat ini esensi telah berubah menjadi alat bukan lagi merupakan tujuan. Sama halnya dengan kegilaan saat ini hanyalah alat untuk mencapai tujuan (kesucian dan kehormatan dalam tempat peribadatan, serta uang dalam panggung-panggung).

Jadi teman-teman, ada di jalur mana kegilaan kalian saat ini, alat atau tujuan? (Mokhsa/Maqin)

LEAVE A REPLY