Ngaji Sastra: Posisi Jazz dalam Buku Sepersekian Jazz dan Kota yang Murung

0
1001

(bpmfpijar.com/Pramodana)

Sabtu (14/11) Komunitas Mahasiswa Magister Sastra Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan diskusi bertajuk Ngaji Sastra (Ngasas) di Junio Coffee. Ngasas kali ini membedah buku kumpulan puisi Sepersekian Jazz dan Kota yang Murung karya Adhimas Prasetyo. Lutfi Dwi Kurniawan selaku akademisi sastra dan Ilham Rabbani selaku penyair hadir sebagai pembahas dibersamai Hadi Prasetyo sebagai moderator.

Hadi menyatakan bahwa Ngasas ini kembali menggelar acara luring karena mereka merindukan pertemuan langsung. Ilham menambahkan bahwa selama pandemi ini komunitas mereka ini hanya menyelenggarakan acara daring. 

Pada pukul 15.00 WIB, diskusi dimulai dengan pembacaan puisi “Seperti Sesuatu yang Biru” dan “Sepersekian Jazz di Kota yang Murung” oleh Ages. Dua puisi tersebut bersama 32 puisi lain termuat di buku tersebut yang diterbitkan oleh Penerbit Buruan & Co.

Ilham memulai diskusi dengan memaparkan analisisnya terhadap puisi-puisi di dalam buku. Ia merasakan hadirnya kemurungan dan kemuraman dari perangkat puitika yang digunakan. Kesedihan di buku ini, menurutnya, hadir lewat penggambaran yang gagal dikatakan aku-lirik. 

Ilham mengatakan terdapat celah antara aku lirik dengan kau. Aku dan kau, menurutnya, adalah satu entitas, di mana kau adalah aku yang lebih dalam. “Pergerakan dari aku menuju kau adalah suatu perjalanan diri yang tak pernah sampai ke diri yang lain,” ujarnya.

Lantas, bagi Ilham, jazz dalam buku ini berfungsi sebagai pengisi perjalanan. Melalui nama-nama musisi dan lirik-lirik lagu, jazz menambal celah yang ada di sana. Seperti jazz, puisi di buku ini, menurutnya, memiliki nada sumbang yang menginterupsi keteraturan struktur puisi. Namun, ia juga menduga jazz merupakan jalan yang ditempuh aku-lirik. 

Lutfi melanjutkan diskusi dengan memamaparkan perbedaan konteks jazz di budaya Amerika dan Indonesia. Sementara jazz merupakan musik proletar di Amerika, di Indonesia jazz menjadi musik milik borjuasi. “Dan Adhimas menulis dalam konteks barat,” ujarnya.

Lutfi mengatakan bahwa pengarang memilih Jazz dengan selektif. Ia menjelaskan, pengarang hanya mengutip musisi jazz beraliran swing dan ballad yang dipenuhi akord minor, yang hampir seluruhnya berasal dari Amerika. Hanya ada satu lagu Indonesia  yakni Guruh Gipsi. 

Meskipun begitu, puisi di kumpulan ini, menurut Lutfi, bukan puisi yang musikal. Bagi Lutfi, puisi-puisi ini menangkap peristiwa musikal yang berefek pada subjek. “Jazz dalam puisi ini berada di luar subjek yang bisa dimasuki dan ditinggal bergantung perasaan,” ujarnya.

Rahman, salah satu peserta diskusi, mengatakan bahwa terdapat ironi dalam subjek di puisi-puisi dalam bunga rampai ini. Subjek merindukan kebahagiaan saat sedih dan merindukan kesedihan saat bahagia sehingga tidak pernah ada kepenuhan dalam diri. Dan jazz di puisi ini, baginya, menjadi rumah untuk pulang dan merenungi kehidupannya sendiri. 

(Pramodana/Fadil)

LEAVE A REPLY