Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyelenggarakan webinar melalui Zoom, Selasa (10/10) pukul 15.00. Webinar ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari anti hukuman mati sedunia yang ke-20. Acara ini pula merupakan kegiatan tahunan yang telah dilaksanakan ketiga kalinya sejak tahun 2020. Di tahun 2023, ICJR membawa tema bertajuk “Webinar Peluncuran Seri ke-3 Laporan Tematik Pidana Mati ICJR: Mengingat Mereka yang Telah Tereksekusi”. Pokok kajian kali ini terkait analisis putusan dan praktik eksekusi orang-orang yang dijatuhi pidana mati di Indonesia.
Erasmus Napitupulu selaku direktur eksekutif ICJR berkomitmen untuk selalu memastikan proses pengadilan di Indonesia berjalan dengan sebaik-baiknya serta terhindar dari keputusan terpidana hukuman mati.
“Sejak reformasi 1998-2023, tercatat 45 hukuman mati, 27 kasus tercatat dengan 16 kasus narkoba, 7 pembunuhan, sisanya terorisme. Laki-laki 25, perempuan 2,” Ujar Lovina, salah satu pegiat penelitian ICJR lulusan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Dalam paparan Lovina, banyak ditemukan kasus durasi deret tunggu yang terlalu lama hingga 16,5 tahun. Ditemukan juga masa deret tunggu yang terlalu cepat yakni hanya satu tahun. Selain itu, minimnya informasi hak grasi, kendala bahasa oleh terpidana negara asing, serta kondisi tekanan masyarakat berdampak pada proses pengadilan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Lovina memaparkan lima poin sebagai lampu kuning pihak pengadil sebelum memutuskan hukuman mati. Pertama, gangguan mental terpidana saat proses pengadilan. Kedua, hak grasi terpidana harus dituntaskan. Ketiga, masalah hukum lain terpidana harus dituntaskan. Keempat, larangan eksekusi mendadak tanpa keluarga. Kelima, potensi kesakitan pasca-eksekusi. “Kami harap kelima poin itu diperhatikan selama pengadilan berlangsung sehingga tercipta keadilan yang seadil-adilnya” ujar Lovina di penghujung materinya.
Dalam webinar ini, Sondang Frishka selaku Koordinator Tim Advokasi Internasional Komnas Perempuan, menjelaskan pula persoalan hukuman mati pada perempuan. Menurutnya, kasus pidana mati terhadap perempuan selalu dibarengi dengan diskriminasi. Frishka juga menambahkan bahwa perempuan pekerja migran mengalami kerentanan tertentu terhadap dikenakannya hukuman mati yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti latar belakang pendidikan, posisi ekonomi yang lemah, mobilitas yang tinggi, dan terpisah dari akses jaring pengaman.
“Di dalam Komnas Perempuan sendiri, kami mencoba mendekati advokasi untuk penghapusan hukuman mati ini dengan berbagai mekanisme” ujar Frishka. Salah satu bentuk advokasi yang dilakukan adalah pembuatan laporan oleh Komnas Perempuan sebagai bahan evaluasi terhadap pengimplementasian Konvensi Anti-Penyiksaan di Indonesia termasuk di antaranya isu hukuman mati.
Frishka menjelaskan lebih lanjut bahwa Komnas Perempuan menemukan beberapa pelanggaran Fair Trial Right pada 12 kasus perempuan terpidana mati yang tersebar di berbagai lapas di Indonesia seperti penyiksaan seksual dan belum mendapat bantuan hukum yang memadai. Berkaca pada hal tersebut, “Komnas Perempuan merekomendasikan adanya perbaikan kebijakan termasuk peratifikasian beberapa konvensi internasional, menghentikan praktik penyiksaan kepada terpidana mati, dan memastikan lembaga pemasyarakatan sebagai bagian integral dalam sistem peradilan pidana menjadi pihak yang dilibatkan dalam perumusan kebijakan terkait pemidanaan” ujar Frishka.
Rangkaian acara webinar ditutup dengan pertanyaan tentang relevansi penerapan hukuman mati saat ini. Sebagai perwakilan dari ICJR, Lovina menegaskan bahwa standpoint ICJR terhadap penerapan hukuman mati adalah bahwa hukuman tersebut sudah tidak relevan. “Hukuman mati tidak relevan untuk semua kondisi dan semua tindak pidana, melihat dari ketidakefektifan tujuan dari hukuman itu sendiri, contohnya seperti efek jera,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Iqbal, Al Irfani Thariq A. (Magang)
Penyunting: Sukma Kanthi Nurani
Ilustrator: Nais Nur Rafiah (Magang)