Penting untuk menjaga kewarasan diri masing-masing di zaman edan seperti ini. Era di mana kejahatan rasial, kekerasan seksual, radikalisme, dan sederet permasalahan kehidupan tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Terjadi ‘adu jotos’ di mana-mana baik di media sosial atau pun di lingkungan kita sehari-hari. Ini adalah zaman di mana setiap orang berhak menyuarakan suaranya keras-keras tanpa peduli bahwa kaum minor pun punya hak untuk berpendapat.
Kita sepertinya sudah bosan hidup bermasyarakat, menjaga tata krama dan saling toleransi. Bagaimana perbedaan sudut pandang sedikit saja sudah dicap subversif bahkan antek-antek komunis. Berbeda syariat dicap kafir, hitam sedikit gampang didiskriminasi, mata sipit sedikit langsung bilang “Wah cina, kafir lu!”. Sederhananya, kita gampang sekali menebar kebencian.
Ada benarnya pepatah don’t judge a book by its cover. Kulit kita mungkin boleh hitam, rambut boleh keriting, muka boleh cadas, tapi hati dan jiwa kita sama seperti manusia lainnya. Bisa juga menangis kalau disakiti, meski setelah itu orang yang menyakiti tadi digebuk sampai babak-belur. Tidak apa-apa, kan? Namanya juga manusia biasa. Namun, hati-hati jika Anda adalah kaum minoritas. Bisa jadi malah Anda yang jadi bulan-bulanan kaum mayoritas. Tak heran ini negeri para penyembah angka. Jika jumlah golongan Anda kecil, siap-siap saja menjadi penonton di luar pagar.
Tontonlah tingkah polah para pemilik angka besar yang lebih suka berbusa-busa berdebat tentang definisi dan pembagian kue kekuasaan. Siap-siaplah menjadi aktor pelengkap penderita; keberadaan Anda dipertahankan untuk menegaskan klaim negara beragam, namun posisi Anda sekadar dibutuhkan untuk dituding dan dicaci. Tentu tak selalu begitu. Kadang Anda hanya dianggap tidak ada. Contoh konkretnya, baru-baru ini Amerika Serikat memberlakukan kebijakan melarang imigran dari tujuh negara Islam masuk ke negeri Paman Sam tersebut. Lalu di negeri kita sendiri ada kasus kriminalisasi mahasiswa asal Papua, disusul diskriminasi etnis Tionghoa, LGBT, dan lain sebagainya. Hal itu seharusnya membuat kita sadar betapa tidak enaknya diperlakukan secara diskriminatif. Tiap saat ada saja hal yang membuat kita khawatir, takut diolok-olok lah, atau bahkan bisa saja diperkosa dan dibunuh.
Percayalah, kawan-kawan, ini negeri para penyembah kuasa. Jangan percaya bahwa pemilik kuasa itu berdiri untuk dan di atas semua golongan. Aparat pelaksana kuasa juga manusia. Melekat dalam tubuhnya segala identitas dan kepentingan untuk bertahan hidup. Juga kepentingan para pemilik jumlah besar bernama mayoritas itu.
Jadi, kalau Anda minoritas, jangan berharap para pemilik kuasa itu ada di pihak Anda. Mereka memperlakukan Anda secara setara saja sudah menjadi isu langka. Mereka harus juga mempertimbangkan kepentingan kelompok yang lebih besar jumlahnya. Sebagian dari mereka bahkan adalah bagian dari kaum penggertak itu. Mungkin saja sebagian kecil dari mereka ingin membela Anda sebagai manusia. Tapi mereka kalah suara, atau kalah kuasa. Atau mereka takut kehilangan suara. Atau memang mereka sudah membela Anda dalam kapasitas iman yang paling lemah, alias dalam hati.
Lalu saya jadi teringat, ketika partai Nazi berkuasa di Jerman setelah menang pemilu 1933, mereka melanggengkan ketakutan terhadap orang Yahudi, Slavia, Romani (Gypsy), homoseks, komunis dan manusia ‘rendah’ lainnya jauh lebih gencar dari sebelum mereka berkuasa. Masih banyak contoh serupa dari rezim militer, komunis, anti-komunis, agama dan sebagainya; termasuk Orde Baru. Mereka melanggengkan kekuasaan dengan cara menciptakan ketakutan di tengah masyarakat bahwa mereka selama ini menjadi korban musuh-musuh mereka. Ya, mereka mengkampanyekan ‘mentalitas korban’ di masyarakat.
Hal inilah yang dihembus-hembuskan penguasa dan mayoritas yang mapan dalam lingkup demokrasi modern. Orang ditakut-takuti bakal kehilangan budaya karena diserbu imigran, kehilangan pekerjaan karena direbut pekerja asing, kehilangan gengsi karena globalisasi, kehilangan jati diri bangsa karena harus tunduk pada kriminalisasi sejarah. Tanpa disadari negara jatuh dalam lingkaran setan sektarianisme karena kaum minoritas yang dianggap ‘ancaman’ itu juga melawan dengan politik identitas.
Beberapa negara tertentu menerapkan ‘batas-batas’ untuk melanggengkan kekuasaan dengan dalih mencegah konflik sektarian; kadang sangat jelas, kadang halus. Ada yang memberikan ‘jatah’ atau kuota keterwakilan di parlemen, tetapi tidak punya kekuatan apa-apa. Ada yang membuat ‘kantong-kantong’ kelompok minoritas supaya mayoritas tidak terganggu. Ada yang sengaja membuat ketimpangan penegakan hukum: terlalu mahal harganya jika kelompok yang kuat dihukum karena menghina kelompok yang lemah, tetapi jika yang terjadi sebaliknya dianggap mencerminkan ‘rasa keadilan masyarakat’.
Mungkin kita memang telah akrab dengan budaya sopan santun, sehingga seringkali kita memaksakan political correctness pada kelompok minoritas. Kaum muda yang datang belakangan, yang hanya menumpang, harus sopan, mengalah, dan tunduk pada yang senior, yang lebih dulu ada, yang memiliki negeri ini secara sah. Tata krama bahasa Jawa sudah jelas: anak dan pembantu harus bicara bahasa krama pada orang tua, tetapi orang tua boleh bicara ngoko pada mereka. Sangat arif, bukan?
Demikianlah mengapa ketika ada yang terganggu dengan suara dari speaker masjid, mereka marah dan merusak; tetapi ketika mereka merasa terganggu dengan patung Buddha tak bersuara di atas atap, mereka bisa menuntut itu diturunkan. Ketika ada pejabat publik yang tidak seagama mengritik penyalahgunaan ayat suci (yang kebetulan memang tidak suka dengan political correctness), mereka bisa mengeluarkan kata-kata kebun binatang (dicampur istilah-istilah agama) untuk menyuruhnya menjaga mulutnya. Mengatai ‘Cina’ itu tidak rasis, tetapi mengritik mereka karena mengatai ‘Cina’ itu Islamofobia.
Ketika ada kelompok minoritas yang—sering tanpa sengaja—alpa menerapkan kepantasan politik, mereka berubah menjadi liar. Tetapi mereka membela diri dengan mengatakan, “Kami marah ada sebabnya!” Kemudian mereka akan mengibarkan identitasnya dan mencari kawan dan lawan: “Kalau kalian tidak setuju dengan kami, kalian berdosa!”. Orang menjadi takut, lalu dengan malu-malu kucing “menyejukkan suasana” dengan memberi pendapat “berimbang” yang membenarkan para perusuh itu. Ketika mereka melakukan hal yang lebih buruk lagi dibandingkan pihak yang alpa berpolitik pantas tadi, orang sudah terlanjur memihak mereka.
Anda lihat sendiri bagaimana hasil kombinasi politik identitas dan political correctness dalam ranah perpolitikan negeri ini, dan juga di mancanegara. Sebuah ruang publik yang bebas tapi eksklusif, terbuka tapi saling curiga, santun tetapi tidak saling menghormati. Tidak ada pagar, tetapi kalau melangkahi garis batas, Anda bisa ditembak mati. Dan ini dimanfaatkan betul oleh orang-orang semacam ini. Sebuah kondisi yang—jika demokrasi, pendidikan, keterbukaan dan kedewasaan berpikir tidak membudaya—menyuburkan benih-benih otoritarianisme.
Dan memang hal itulah yang diinginkan orang-orang semacam ini. Dunia ‘demokrasi’ di mana mereka bebas berkeliaran dan menuntut ini-itu. Orang lain harus menonton di pinggir, menundukkan pandangan, menjaga lisan, menciptakan kesejukan. Politik identitas yang dipertontonkan dengan sangar tetapi dibumbui pemberlakuan kepantasan politik bagi orang yang berbeda identitas untuk memberi kesan damai.
Beberapa orang berusaha memberi contoh bagaimana negara-negara yang dewasa berdemokrasi menangani gesekan horizontal demikian. Tetapi sering hasilnya dimentahkan. “Di sana minoritas juga ditindas, kok!” argumen mereka, sambil mengutip sumber-sumber yang entah benar atau tidak. Apalagi jika di negara sana itu mayoritasnya segolongan dengan minoritas di sini, mereka mengklaim identitasnya sebagai ‘pihak korban’ dan melampiaskan dendam atas dasar guilt by association (kesalahan dalam berhubungan—dalam konteks ini hubungan sosial).
Lalu bagaimana? Jujur, saya agak sulit memikirkan cara meminimalisir hal semacam ini, boro-boro hilang total. Politik identitas saja masih diamini di negara demokratis. Hal yang ironis adalah beberapa intelektual Indonesia pun cenderung senang dengan hal-hal yang nampak di permukaan—makanya senang debat di Facebook. Identitas itu kan sejatinya hanya ‘bungkus’. Tetapi karena nampak jelas, orang Indonesia bukan main bangga dan hebohnya.
Saya sedih ketika orang-orang waras di negeri ini, yang tidak hanya melihat kulit tetapi lebih kepada isi, juga menjadi korban karena dianggap memihak lawan. Dinista, dihujat, dikafirkan; jauh lebih kasar dan sadis daripada yang dilakukan ‘musuh’ mereka. Artinya mereka sudah tidak lagi mau mendengarkan ajaran yang sehat. Mereka memilih yang berteriak paling keras dan memanjakan rasa mengasihani diri mereka sendiri.
Saya tidak tahu pilihan lain selain menelanjangi identitas kita masing-masing. Bukan meninggalkan, tetapi menanggalkan. Identitas itu tidak kita buang, tetapi kita masukkan dalam tas; hanya sewaktu diperlukan saja diperlihatkan. Tujuan utama identitas adalah untuk memastikan apakah Anda ini benar-benar Anda, bukan untuk menentukan bagaimana orang lain memperlakukan Anda. Identitas adalah bukti bahwa Anda siap bertanggung jawab, bukan untuk menuntut orang lain bertanggung jawab.
Ketika identitas kita dipakai sebagai mana mestinya, maka orang akan menghormati kita apa adanya. Anda akan dinilai dari karakter Anda. Jika karakter Anda baik, Anda akan dinilai baik; jika buruk, Anda akan dinilai buruk. Anda tidak perlu menghias lisan atau langgam, karena karakter Anda sudah berbicara. Orang yang karakternya kuat tidak memerlukan orang lain yang memantaskan lisannya untuk menyembah identitasnya. Dengan kata lain: orang baik tidak butuh penjilat.
Dr. Martin Luther King Jr. berkata, “Saya bermimpi, keempat anak saya yang masih kecil akan hidup di tengah bangsa di mana mereka akan dinilai bukan dari warna kulit mereka, tetapi dari karakter mereka.” Anda akan tetap dinilai, tapi bukan berdasarkan identitas Anda. Karakter Andalah yang menjaga identitas Anda, bukan sebaliknya.
Namun, lagi-lagi, tuan dan puan sekalian, menjaga kewarasan masing-masing itu penting sekali. Jika kalian tidak bisa menjaga kewarasan berpikir dengan menjaga karakter kalian maka siap-siap saja konsekuensi mengerikan siap menanti. Saya bukan sok-sok menjadi moralis di sini, tetapi jika nanti kita bertemu dengan orang atau sekelompok yang memaksakan kehendaknya, cukup pasang senyum manis sambil bergumam dalam hati, “Tongkol! Eh, k*ntol!”. Toh kita membenci mereka dengan iman yang paling rendah, yaitu di dalam hati kita masing-masing.