(bpmfpijar.com/Farid)
Sartono Kartodirjo, dituliskan oleh Taufik Abdullah dalam kata pengantarnya di buku yang berjudul “Pemberontakan Petani Banten 1888” adalah sosok sejarawan yang menjadi cermin dari historiografi Indonesia-sentris. Hal itu beliau paparkan, sebab Sartono memiliki idealisme kuat untuk menolak paham Neerlando-sentris yang hanya berpusat pada keagungan elit kolonial.
Selain itu, diungkapkan juga oleh JJ Rizal, Sartono Kartodirjo telah mengajarkan kepada kita bahwa sejarah itu seyogianya berpihak kepada isu-isu kemanusiaan dan senantiasa memerjuangkan daulat rakyat. Alih-alih mementingkan daulat tuan. Mengingat apapun yang terjadi, kata Rizal, sejarah pada hakikatnya adalah kisah atau cerita tentang manusia.
“Bagi Sartono Kartodirjo, sejarah adalah ilmu mendapatkan kearifan dan kepekaan akademis dari kesadaran manusia,” jelas Rizal dalam acara diskusi SUPERKOBAM seri kedua yang diselenggarakan oleh Komunitas Bambu bersama Social Movement Institute melalui Zoom dan kanal Youtube Komunitas Bambu, pada Senin (15/02).
Selain JJ Rizal, diskusi yang dihelat dalam rangka memeringati satu abad wafatnya Sejarawan Sartono Kartodirjo ini turut menghadirkan beberapa pembicara, diantaranya Dandhy Laksono, pendiri WatchdoC; Hilma Safitri, peneliti Agrarian dan Resource Center; dan Roy Murtadho, pengasuh Pesantren Miskat alz-Anwar.
Senada dengan apa yang dikatakan Rizal, Hilma memaparkan bahwa Sartono Kartodirjo merupakan seorang sejarawan yang amat berbeda dari sejarawan kebanyakan lainnya. Menurutnya, hal itu bisa dicermati pada pendekatan yang digunakan oleh Sartono dalam karya klasiknya tentang gerakan petani di Banten tahun 1888 itu, yakni pendekatan multidisipliner (sosio-historis).
“Dengan memakai pendekatan itu, Sartono mampu memberikan teladan bagi pembaca bahwa untuk menyibak peristiwa gerakan petani yang terjadi di pedesaan nyatanya tidak cukup kalau hanya melihat dari pada konteksnya saja, melainkan juga perlu memerhatikan dinamika kelompok-kelompok yang sedang melawan,” ujar Hilma. Dengan begitu, suatu catatan atau karya sejarah yang dihasilkan akan lebih mendalam dan lebih kompleks.
Di sisi lain, Roy menyorot peran sentral ulama dalam gerakan petani di Banten tahun 1888 yang ditulis oleh Sartono Kartodirjo dalam bukunya itu. Dalam pengamatannya, ulama pada masa itu terbagi menjadi dua kategori, yaitu ulama rakyat dan ulama resmi. Ulama rakyat adalah ulama yang juga termasuk para pemimpin tarekat bersama-sama berupaya meradikalisasi gerakan rakyat. Sedangkan ulama resmi, yakni ulama yang mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial.
Menanggapi hal itu, Roy menegaskan jika ia terkesima akan apa yang dilakukan Sartono untuk mengungkap secara jelas, perihal konflik demi konflik yang terjadi kala itu. Meskipun dalam karya tersebut memuat judul gerakan petani, tetapi Roy menilai bahwa Sartono tidak secara spesifik membahas dinamika kelas di desa. Lebih-lebih, juga tidak berbicara persoalan agraria secara lebih luas.
“Sebaliknya, Sartono lebih membahas mengenai basis sosial yang diperankan oleh petani dan haji-haji elit yang mempunyai kesadaran politik yang lebih maju,” kata Roy. Kendati demikian, menurutnya basis tersebut masih milenaristik, dimana ketika pemimpinya mati gerakanya pun ikut mati.
Lebih lanjut, ketika membaca kembali buku yang ditulis Sartono Kartaodirjo, Dandhy mengatakan bahwa terdapat empat hal yang membuatnya takjub. Pertama, ia takjub akan sebuah sejarah pemberontakan petani yang berkolaborasi apik dengan para ulama dalam melawan kolonialisme. Padahal, pada tahun 1966 yang terjadi malah sebaliknya.
Kedua, buku yang pada mulanya merupakan studi awal mengenai gerakan sosial di Indonesia itu, diungkapkan oleh Dandy seperti melihat realita hari ini dalam skala yang hampir mirip. Sebab, di zaman itu juga sedang terjadi pandemi. Ketiga, terkait dengan bencana alam, meletusnya Gunung Krakatau pada 1883 nyatanya dapat memicu sebuah inovasi. Terakhir, adalah persoalan mengenai pajak tanah.
“Kejeniusan Sartono dalam menggambarkan benturan antara pemerintah kolonial dan penduduk pribumi melalui berbagai pendekatan, seperti kelas-kelas sosial, faktor kultural masyarakat Banten, agama, serta kondisi ekonomi dan sosial pada saat itu lagi-lagi layak mendapat apresiasi,” pungkas Dandhy.
(Faiz/Haris)