“Kita tidak dapat menyamakan gerakan mahasiswa saat ini dengan gerakan mahasiswa di tahun ’98,” ujar Peter Kasenda, sejarawan dan penulis buku, dalam gelar wicara yang diselenggarakan Forum Komunikasi UKM UGM. Gelar wicara yang bertema ”Mengenang 1998” diadakan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM pada Sabtu (19-05). Selain Peter, pembicara lain yang mengisi gelar wicara ini yaitu Muhammad Nurkhoiron, alumni UGM tahun ’99, Ika Dewi Ana, pelaku sejarah dalam peristiwa “Setengah Tiang Hingga Lengser”, dan dipandu oleh Oktaria Asmarani, mahasiswa Filsafat UGM.
Nurkhoiron, yang saat itu merupakan mahasiswa sosiologi menceritakan, mahasiswa di zamannya berada dalam “zaman mahasiswa bergerak”. Alasannya, pada saat itu mahasiswa aktifis adalah hal yang bisa, bahkan dirinya mengaku jarang masuk ke dalam kelas dan lebih sering ikut aksi. Hal ini menurutnya didasari oleh semangat zaman, dimana kegelisahan tentang dwifungsi ABRI, rezim yang korup dan kegelisahan lainnya atas rezim Soeharto terus diutarakan. “Di Fisipol saat itu bahkan hampir setiap hari ada demo, kalau tidak ada demo, orang malah bertanya-tanya,” ungkapnya.
Pengalaman yang dialami oleh Ika tidak jauh berbeda dengan Nurkhoiron. Selaku pegiat pers mahasiswa, Ika merasakan ketegangan setiap kali ikut aksi. Misalnya ketika ia meliput kisruh Kedungombo. Ia mendapat represi dari aparat untuk menyerahkan kamera yang ia gunakan saat liputan. Selain itu, ketegangan dirasakan Ika ketika selesai membacakan pidato pada peristiwa “Setengah Tiang Hingga Lengser”, Ika merasa ada intel yang mengikuti dirinya.
Sebagai sejarawan Peter mengatakan, aksi mahasiswa di setiap zaman memiliki keunikannya masing-masing. Ia mencontohkan aksi mahasiswa ’65-’66 di dalamnya banyak campur tangan dari luar mahasiswa, salah duanya pihak asing dan militer. Namun, pada aksi mahasiswa ’98 justru mahasiswa bersebrangan dengan militer dan menuntut penghapusan dwifungsi ABRI. Oleh karenanya, ia menyampaikan, mahasiswa saat ini mesti dapat membaca gejala yang ada pascareformasi.
Meskipun kondisi ’98 terang lain dengan kondisi pascareformasi, Ika mengharapkan mahasiswa saat ini dapat mewarisi semangat reformasi. Salah satu caranya, ia berharap, mahasiswa saat ini harus lebih menghargai perbedaan, tidak memulai korupsi kecil, dan memperhitungkan resiko yang diambil. Selain itu, dosen Fakultas Kedokteran Gigi UGM ini mengatakan, mahasiswa saat ini harus jadi spesialis di bidangnya. “Jangan semua bidang dicoba dan akhirnya malah tidak spesial dimanapun,” tutupnya.
Gelar wicara ini merupakan serangkaian acara yang diselenggarakan mulai dari Jumat, 18 Mei 2018 sampai dengan Minggu, 20 Mei 2018. Rangkaian acara diawali pada Jumat, 18 Mei 2018 dengan pentas seni untuk mengenang perjuangan mahasiswa menjelang reformasi. Selanjutnya pada Sabtu, 19 Mei 2018 pukul 20.00 WIB, diadakan gelar wicara dengan tema “Mengenang 1998” yang membahas soal dinamika dan sejarah pergerakan mahasiswa menjelang dan pada waktu Reformasi 1998. Kemudian, pada Minggu, 20 Mei 2018 pukul 20.00 WIB, diadakan talkshow dengan tema “Indonesia 20 Tahun Setelah Reformasi” yang membahas soal pencapaian dan perubahan Indonesia semenjak Reformasi 1998. Selain ketiga rangkaian acara tersebut, terdapat pameran arsip pergerakan mahasiswa menjelang Reformasi 1998 yang dipamerkan selama berlangsungnya rangkaian acara.
Acara yang bertajuk “98/18: Peringatan 20 Tahun Reformasi”. Mengambil tema besar “Sejarah Perjuangan Mahasiswa UGM pada 1998 dan Tinjauan Kondisi Indonesia Setelah 20 Tahun Reformasi”, pihak panitia mengajak seluruh mahasiswa untuk merefleksikan kembali nilai-nilai perjuangan dalam sejarah pergerakan mahasiswa. Sekaligus memberikan refleksi mengenai keadaan Indonesia setelah 20 tahun reformasi ’98. (Ozi)