“30 tahun kemudian mereka tidak akan bertemu lagi di sini.”
Begitu cara Goenawan Mohamad mengakhiri sajaknya, 30 Tahun Kemudian. Meski terasa begitu spontan, kalimat ini tegas. Lengkap dengan titik di akhir kalimatnya. Penutup sajak ini, setidaknya bagi saya, bikin sajaknya jadi padat dan tertutup. Padahal 30 Tahun Kemudian bukan tipe sajak yang keras, ia berupa sebuah narasi yang landai, tapi dengan kalimat penutup yang demikian, rasanya ia benar-benar diselesaikan dengan sekonyong-konyong, tanpa tedeng aling-aling. Benar-benar selesai. Putus.
Saya temukan sajak 30 Tahun Kemudian di bagian pertengahan buku Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad. Buku ini punya 215 halaman. Di dalamnya, ada lebih dari 130 sajak yang ditulis GM dari tahun 1961-2001. Terlepas dari kualitas, kita tahu antologi puisi seorang penyair kenamaan selalu menjual. Ah! Kita tahu GM—seperti selalu sanggup dan semringah untuk membaca tulisannya. Terlebih lagi, buku ini apresiatif. Buat penyair amatiran, atau setidaknya yang suka bersyair, buku semacam ini jadi angin segar; seakan dorongan untuk tetap mau jadi penyair. Mungkin sebuah bentuk motivasi singkat: jika setia menulis puisi, kita akan diapresiasi.
Tidak bisa naif memang, pastilah sebuah kebanggaan bagi seorang penyair bila puisi-puisinya dibukukan, apalagi secara lengkap. Karena bukan berarti hanya penghargaan, ini seperti pengukuhan; sebuah peneguhan identitas. Jika sudah pada taraf ini, seorang penyair sudah boleh berbesar hati. Sombong pun bisa jadi diterima.
Akan tetapi bila saya adalah penyair, apresiasi dengan cara ini merupakan ide buruk. Antologi puisi sih wajar saja, tapi tak usah secara lengkap. Kalau secara mendesak seluruh karya saya mesti diterbitkan, paling tidak saya minta untuk dijadikan dalam dua atau tiga volume antologi. Sebab sebuah buku dengan ratusan halaman berisi ratusan sajak di dalamnya adalah celaka; mimpi buruk di siang bolong; obat bikin sontok paling mustajab.
Sayangnya, meski tahu kadang-kadang membosankan, puisi juga membuat saya ketagihan. Memang puisi bisa jadi berlebihan dan membosankan, tapi juga bisa jadi dicintai. Dan sejak pertama kali, ada yang tak pernah hilang dalam ingatan saya ketika bersentuhan dengan puisi. Ada sebuah aspek momentan. Ada suatu kelangkaan yang hadir hanya sekali. Puisi membangun momen, yang langka. Dengan itu, waktu berasa seperti kejutan; waktu hadir selalu berupa momentum.
Sebenarnya saya sudah lama tidak membaca puisi. Sudah begitu lama “momen” yang langka itu tidak hadir. Dan saya tahu, momen itu tidak akan hadir tanpa saya membangun imaji tentangnya. Sampai beberapa hari lalu saya menemukan buku Sajak-sajak Lengkap Goenawan Mohamad terselip rapi di rak buku tetangga kos saya. Walaupun sudah membacanya beberapa kali di tahun-tahun yang lalu, saya tetap meminjamnya untuk dibaca. Mungkin sekadar nostalgia.
Benar saja, akhirnya saya menemukan lagi puisi-puisi GM kesukaan, seperti Catatan-Catatan Jakarta; Berjaga Padamukah Lampu-Lampu Ini, Cintaku?; Tahun pun Turun Membuka Sayapnya; Dingin Tak Tercatat; Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi; Sajak Anak-Anak Mati; dan banyak lagi yang lain. Juga saya bertemu dengan banyak puisi yang hanya saya ingat separuh saja, yang hanya ingat judulnya saja, bahkan yang tak ingat sama sekali. Dan saat sampai kira-kira di pertengahan buku, saya menemukan sajak 30 Tahun Kemudian.
Sajak 30 Tahun Kemudian berbau berbeda, ia tercium asing. Saya tak yakin pernah berkenalan dengannya di waktu-waktu yang lalu. Mungkin karena dalam buku itu terdapat ratusan sajak, jadi sulit untuk ingat. Atau mungkin saya benar-benar tak pernah membacanya karena dulu selalu melewatkan halamannya, atau karena alasan-alasan lain yang lebih tidak masuk di akal. Yang jelas, ia benar asing. Dan saya menyentuhnya pertama kali beberapa hari yang lalu.
Saat selesai membacanya, 30 Tahun Kemudian terasa menyesakkan. Ia penuh, dan padat. Memang di bait-bait awal masih ada ruang untuk berjalan mengawang di antara spasi. Tapi kita akan tahu ke mana untuk berjalan nanti, ketika sampai di sloki ke-6.
Menjelang kalimat akhir, hadir Tuhan dalam baju besi. Ada juga yang tidak hadir; ada yang tiba-tiba molos dan melarikan diri: tak ada lagi sloki, dan cerita tentang tuak putih tua habis di situ.
Di penghabisan sajak ini, lebih baik disisakan nafas daripada habis di titik. Ketika biasanya kita selalu menunggu kalimat akhir puisi, untuk kali ini tunggulah dengan senyaman mungkin, karena ketika akhirnya bertemu, kita hanya akan bertemu. Rasanya sesak ketika kita tidak dibiarkan lari ke kalimat sebelumnya. Imaji tak bisa jadi liar di pijakan akhir puisi ini. Kita hanya bertemu akhirnya, sampai titik menutup perjumpaan. Sungguh sesak.
Namun sedari awal kisah: ketika mereka bertemu di restoran dekat danau 30 tahun kemudian, ketika hujan dan kenangan berhimpitan, berbareng, seperti lalulintas yang langgeng; saya tahu mereka akan duduk berlima, dan dengan tuak putih tua. Saya tahu itu sejak permulaan. Saya tahu karena khayalan saya tidak lari ke 30 tahun kemudian, tapi justru ke setengah tahun ke belakang; ketika tanpa perlu merasa sesak, saya bisa duduk berlimaan, juga dengan tuak putih tua, bersama pemabuk-pemabuk yang juga bersajak. (Jofie)