“Mohon dipertimbangkan. Gunakan hati nuraninya Mbak Puan sebagai perempuan. Lihatlah kasus-kasus yang sudah sering sekali terjadi di Indonesia sampai hari ini,” harap Diah, Perwakilan Institut Sarinah.
Rabu (03/04), koalisi sipil untuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menggelar Konferensi Pers bertajuk ”Surat Tagihan untuk Mbak Puan dari Perempuan Muda Indonesia” yang disiarkan secara daring. Konferensi ini mengundang beberapa organisasi keperempuanan, seperti Institut Sarinah, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur, Perempuan Mahardika, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta, Amnesty Amawa Wikreti, Dosen muda, Pekerja Rumah Tangga Muda, dan Konde.co. Kegiatan ini bertujuan untuk memperingatkan Puan Maharani selaku Ketua DPR RI agar menepati janjinya dengan segera mengesahkan RUU PPRT yang sudah dijanjikannya.
Dalam konferensi pers, Diah mula-mula mempertanyakan mengenai hambatan yang menghadang pengesahan draf RUU PPRT. Ia juga mempertanyakan ketegasan dan respon yang tanggap dari Ketua DPR RI. Menurutnya, Puan seharusnya memiliki keberpihakan dan menunjukkan gaung kepemimpinan perempuannya terhadap kepentingan dan aspirasi perempuan. “Lalu apalagi yang harus kita takutkan? kita memiliki Ketua DPR RI yang juga perempuan,” ungkapnya.
Diah mengharapkan Puan meninggalkan jejak-jejak positif untuk mengakomodir kepentingan perempuan, khususnya Pekerja Rumah Tangga (PRT). Ia juga mengatakan, Puan berjanji pada 20 Maret 2023 ketika DPR menginisiasi RUU PPRT, bahwa undang-undang PPRT akan segera disahkan. “Seharusnya tidak usah banyak omong, pertimbangan politis apa segala macam. Tidak perlu hal seperti itu, karena pada dasarnya ini adalah soal kemanusiaan yang paling utama.” tegasnya.
Kegentingan RUU PPRT
Urgensi pengesahan RUU PPRT ini juga disuarakan oleh Poppy, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Kegentingan ini menurut Poppy disebabkan oleh banyaknya PRT di Indonesia yang tidak mendapatkan perlakuan yang layak. “Tidak dikasih waktu tidur, dokumen yang ditahan, gaji yang dipotong seenaknya, bahkan ada yang tidak mendapatkan THR,” ungkap Poppy.
Menambahkan Poppy, Sabina Puspita, perwakilan dari Monash University Indonesia menjelaskan bahwa hanya ada 15% pelaku kekerasan terhadap PRT yang masuk ke pengadilan. Ia juga menjelaskan, selebihnya pelaku mendapatkan hukuman yang efek jeranya kurang, sisanya bebas dari hukuman. “Perbuatan kekerasan yang dilakukan kepada PRT itu kan sangat-sangat tidak logis ya, perlakuan dari pelaku itu sangat-sangat kejam, kalau kita baca putusan pengadilan itu paling lama cuma 4 tahun,” ujar Poppy.
Setuju dengan keduanya, Suwartini, perwakilan dari Pekerja Rumah Tangga Muda, menuturkan terdapat banyak korban PRT yang mengalami tindak kekerasan setiap harinya, dimulai dari statusnya yang dilecehkan, bahkan tidak diakui. “Supaya kami ada perubahan nasib, kami yang selama ini bekerja dengan cemas selalu dibayang-bayangi pelecehan seksual dan kekerasan pekerjaan setiap hari,” tegas Suwartini.
Menagih Janji Kampanye
Menurut Eva, selaku partisipan, menuturkan bulan ini adalah waktu yang tepat untuk menagih janji dari calon pemimpin yang pernah menggunakan isu RUU PPRT ini sebagai alat kampanye jika terpilih. Oleh karena itu, ia juga merespon aksi ini sebagai bentuk tanggung jawab kampanye calon pemimpin untuk memenangkan partainya. Namun, sampai saat ini, perempuan muda masih menanti janji yang tak kunjung ditepati. “Menagih janji di masa sebelum mereka angkat kaki dari Senayan adalah waktu yang tepat,” tambah Eva.
Eva menuturkan percakapannya dengan Diah Pitaloka selaku perwakilan dari PDI Perjuangan, bahwa draf RUU PPRT tersebut masih terletak di meja Puan begitu saja. Eva membandingkan RUU PPRT ini dengan beberapa undang-undang yang pengesahannya dikebut. Eva juga menganggap DPR RI terlalu meremehkan RUU PPRT dan mengatakan Puanlah penyebab penghambat pengesahan RUU PPRT.
Syifa Naziah, perwakilan dari Amnesty Amawa Wikreti, mengungkapkan kekecewaannya apabila RUU PPRT ini tak kunjung disahkan sampai dengan pergantian pemimpin dan kabinet pemerintahan. Mereka merasa akhir perjuangan selama 20 tahun sudah dekat, tetapi sayangnya hal itu digantungkan oleh Puan Maharani. “Maka dari itu, para perempuan muda mendesak DPR RI, terutama Puan Maharani agar segera mengesahkan RUU PPRT ini sebelum jabatan mereka berakhir,” tutur Naziah.
Nurul, selaku perwakilan Konde.co, mengutarakan kejelasan kegiatan ini sebagai sebuah aksi kampanye online. Sebelum nantinya setelah lebaran akan ada aksi penyerahan surat raksasa yang akan dikirimkan ke gedung DPR RI, kemudian bersama-sama menyuarakan aksi pengesahan RUU PPRT. Surat raksasa tersebut berisikan kumpulan aspirasi perempuan dari pelbagai macam daerah yang kemudian akan dicetak dan diserahkan ke gedung DPR RI.
Di akhir acara, Eva menambahkan, bahwa ia dan teman-teman perempuan muda lainnya akan memaksimalkan waktu yang ada. “Kita akan memaksimalkan waktu ini untuk apapun yang harus kita lakukan semaksimal mungkin,” ucap Eva. Ia juga berharap, surat raksasa yang mereka buat dapat menjadi suatu peringatan besar kepada pembuat kebijakan nantinya, bahwasanya kaum perempuan muda juga ingin mulai dipedulikan dalam setiap kebijakan yang akan pemerintah tetapkan.
Penulis : Jusuf Islam, Fini Kezia
Penyunting : Muhammad Ilham Elfarhani
Illustrator : Ridho Alam Firdaus