Menafsir Manusia dari Kera

Oleh Satya Wira Wicaksana

0
2287
Ilustrasi: Shilfina

Pada tahun 1963 di Prancis terbit sebuah novel fiksi ilmiah karya Pierre Boulle berjudul La Planète des Singes atau Planet of The Apes. Novel ini menceritakan tentang titik balik digantikannya peran manusia sebagai penjaga dan pembangun peradaban saat ini oleh kera. Planet of The Apes dijadikan film pada tahun 1968 dengan judul bahasa Inggris yang sama, kemudian dibuat ulang filmnya yang menjadi sebuah trilogi: Rise of The Planet of The Apes (2011), Dawn of the Planet of The Apes (2014), dan War of The Planet of The Apes (2017). Baik novel maupun film, narasinya dialamatkan pada kera yang semakin cerdas dan lambat laun menjadi ancaman bagi manusia. Akan tetapi, pada sisi sebaliknya, wacana yang dibangun film ini adalah sebuah kritik dengan pesan tersirat bahwa para kera sedang mempertanyakan kemanusiaan kepada manusia itu sendiri. Dari film ini kita menyadari bahwa alam telah membuat hukumnya sendiri kepada setiap makhluk hidupnya, termasuk hewan. Terlepas dari teori Darwin tentang evolusi, wacana ini begitu kuat untuk dijadikan refleksi bagi manusia.

Berawal dari seekor kera bernama Caesar yang dijadikan kelinci percobaan lalu dibuat sedemikian rupa agar menjadi makhluk rasional. Tentu saja, pada masa awalnya Caesar beradaptasi di lingkungannya dan berangsur menemukan dirinya memang berbeda hasil dari, yang menurut Darwin, seleksi alam. Pada akhirnya, ia menemukan jati dirinya sebagai kera, makhluk alam semesta, juga rasional. Lebih lanjut, Caesar beserta kompatriot keranya memberontak kabur akibat ulah manusia dan membangun peradaban khusus kera di hutan-hutan. Peradaban tersebut berbentuk tatanan sosial ala kera itu sendiri yang menjadikan Caesar sebagai pemimpin, memiliki beberapa kera kepercayaan yang diatur untuk pertahanan, mendidik, bahkan bekerja sama untuk membangun benteng dari serangan manusia. Salah satu kera lainnya yang sangat mengedepankan realisme bak Machiavelli juga menyatakan di antara konflik mereka berdua; kera tidak membunuh kera. Dari hal ini kita dapat menyimpulkan mengenai titik awal ilmu pengetahuan, menafsir ulang mengenai apa dan siapa yang membantu manusia membuat peradaban yang sedemikian maju dan kompleks seperti ini. Kaum relijius mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari Tuhan turun ke nabi lalu tersebar kepada umat. Kaum lainnya mengatakan pengetahuan berasal dari intervensi ekstraterestial, terlepas itu dari alien atau UFO yang didengungkan oleh para teoris Ancient Astronaut. Peradaban manusia sebenarnya jauh melampaui perdebatan pseudosains seperti ini dan melalui trilogi Planet of The Apes inilah sebenarnya kita sebagai manusia diajak untuk mempertanyakan ulang mengenai tanggung jawab sebagai manusia.

Bagaimana tidak? Sebab, film ini membuat kita sadar untuk semakin yakin bahwa kita adalah spesies kecil di alam semesta ini. Melalui seekor kera, film ini merepresentasikan bahwa kera lebih manusiawi dibanding manusia itu sendiri yang kehidupannya sarat akan konflik. Pengetahuan kaum kera berasal dari peradaban yang jauh lebih maju dibandingkan peradaban mereka pada awalnya; sains manusia, namun kera bisa bertindak dengan lebih baik untuk mengendarai rasionalitasnya. Kera menyelesaikan konflik sesamanya, menghindari konflik dengan manusia, membangun peradaban yang efisien untuk kehidupannya, dan pada sekuel terakhirnya, film ini menjelaskan secara implisit bahwa manusia memang bersifat dominan dan gemar akan konflik.

Dari wacana ini keberadaan manusia seharusnya terpanggil untuk membangun peradaban yang lebih maju, namun tetap damai dan menyeimbangkan antara rasionalitas dan hukum alam yang tetap. Sebab, rasionalitas dan kehendak bebas yang digunakan manusia secara serampangan akan membenturkan peradabannya sendiri kepada kehancuran. Peradaban kita sebagai manusia disentil dengan analogi yang nyentrik, yaitu seekor kera. Meskipun film tersebut bergenre fiksi ilmiah, namun tidak ada salahnya kita membuat sebuah perandaian. Misal, dengan teknologi sains yang semakin maju yang dapat melalukan perubahan pada sendi-sendi kehidupan manusia termasuk pada ranah biologisnya, manusia lupa dan seakan melawan hukum alam secara terus menerus dan pada akhirnya rasionalitas yang dikendarai manusia mengantarkannya pada kepunahan, sebab ilmu bukan lagi untuk kehidupan manusia sendiri dan diintervensi dari berbagai kepentingan-kepentingan entah itu politik atau kelompok lain. Tidak sampai di situ, planet bumi akan digantikan oleh kera sebagai makhluk yang rasional yang secara hukum alam dipercayai dapat menjaga bumi. Seandai demikian kiranya, seandainya ilmu pengetahuan mengenai rasionalitas jatuh kepada spesies lain di bumi ini selain manusia, sudah tentu kita kehilangan peran sebagai pemimpin di muka bumi yang membimbing dan tidak lupa menebar kebajikan.

Bagaimanapun jauh dan rumitnya pengandaian kita, realita yang dialami saat ini, sejak era peradaban manusia di Mesopotamia bahkan sampai manusia berpijak di bulan, kita memang tidak akan pernah lepas dari konflik, terjun ke dalamnya dan alih-alih mendominasi. Sifat manusia seperti inilah yang, menurut wacana film ini, sangat kacau dan perannya menjadi riskan untuk digantikan oleh seekor kera. Peradaban kita sudah seharusnya menempatkan adab, karena peradaban tanpa adab hanya menyisakan kebinasaan. Sebab, peperangan bukan lagi sebuah batu pijakan manusia untuk berevolusi pada kehidupan. Peradaban kita sudah jauh lebih tertata, hanya belum menjadi bijak saja. Lalu, apakah memang seharusnya peradaban kita yang sudah cukup hampir memanusiakan manusia ini digantikan oleh seekor kera yang lebih bijak menggunakan kehendak bebas dan rasionalitasnya?

 


Penulis adalah peneliti di Forum for Academician of International Relations Riau (FAIR Riau).

LEAVE A REPLY