Pada hari Senin, 21 Februari 2017, IFI-LIP Yogyakarta tak terlihat tenang seperti biasanya. Pasalnya pada hari itu diadakan sebuah pementasan dari Teater Gadjah Mada dengan berjudul Kemalingan. Pementasan ini ditulis dan disutradarai oleh Pascal Caboet, mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada angkatan 2013.
Pentas dimulai pukul 19.50 WIB, lampu menyala tiba-tiba dan penonton dikejutkan dengan seorang perempuan yang berteriak-teriak perihal lampu warisan di ruang tengah yang hilang.Tak ada yang menyangka kehilangan sebuah lampu bisa jadi sebuah konflik yang mengharu biru. Sebuah lampu tua warisan dari orang tua seakan menyimpan sebuah pertanyaan besar di baliknya: apa yang spesial dari sebuah lampu?
Penonton diajak untuk mulai masuk ke dalam silang sengkarut konflik keluarga. Apa yang saya tangkap dari situ adalah bahwa konflik keseharian dapat hadir dari hal sepele. Kejadian saling tuduh siapa yang mencuri lampu warisan merembet kepada pertanyaan bagaimana si pencuri bisa mengambil lampu tersebut, sampai kemudian pada persoalan mengapa keluarga itu tak punya rumah sendiri dan terpaksa tinggal di rumah yang juga warisan dari orang tuanya. Ada kalanya penonton dibuat geram, dibuat tertawa, lalu kemudian sedih bukan karena keganjilan dalam sebuah pentas, karena konflik yang diangkat benar-benar mewakili kejadian sehari-hari.
Dari situ ada ketakjuban bagaimana persoalan hilangnya sebuah lampu dapat membuka jalan bagi konflik lainnya untuk menyeruak secara banal ke permukaan. Sebagai contoh ketika ada adegan sang kakak bertengkar dengan adiknya, seketika itu juga saya teringat momen di mana saya berdebat dengan adik perihal saya berhak bermain PlayStation duluan. Saya pun merenung sejenak dan berkesimpulan bahwa ada satu momen di mana satu persoalan kecil dapat membuka tabir persoalan lain yang pernah dikubur.
Ada makna yang diam-diam menyeruak dari segala konflik yang disuguhkan oleh pementasan ini. Salah satu adegan dalam pentas ini mengingatkan saya kepada kisah Sang Buddha. Konon Sang Buddha dimintai pertolongan dari seorang ibu untuk menghidupkan kembali anaknya yang telah meninggal. Sang Buddha menyanggupi sambil memberikan syarat, “carilah satu orang di desa ini yang belum pernah merasakan kehilangan.” Si ibu mencari ke sana ke mari, mengetuk pintu dari rumah satu ke rumah yang lain. Setiap orang yang ditanyai menjawab bahwa ia pernah kehilangan, entah apapun itu.
Persoalan serupa tampak dalam pementasan ini. Setiap orang pernah mengalami kehilangan, entah itu orang tersayang, kehilangan kesempatan kerja, atau bahkan sebuah lampu. Kehilangan adalah kekosongan, namun dari sebuah kekosongan kita dapat membayangkan sebuah bentuk lain yang luwes tanpa batasan. Kehilangan adalah sesuatu yang niscaya, namun cara menyikapi kehilangan adalah sisi menarik yang hanya dimiliki oleh seorang manusia. Makna yang saya coba tangkap adalah sebuah rumah yang kehilangan lampu akan menjadi gelap dan tak bernyawa. Secara sederhana rumah diibaratkan sebagai keluarga dan lampu adalah simbol keharmonisan.
Adeganitumengingatkan saya pada aliran Zen. Seni di dalam Zen memiliki bentuk yang unik. Ia tidak sibuk dengan simbol-simbol untuk menyampaikan pesan moral tertentu, seperti yang banyak ditemukan di dalam seni-seni religius lainnya. Objek utama dari seni di dalam Zen adalah hal-hal alami yang terjadi di dalam keseharian manusia. Bahkan, ketika mereka mencoba menggambarkan Buddha di dalam karya-karya mereka, para artis Zen mencoba mengekspresikannya semanusiawi mungkin. Sama seperti konflik yang diangkat sedekat mungkin dengan kehidupan kita.
Apa yang coba disampaikan oleh aliran Zen adalah bahwa segala sesuatu di alam semesta ini terus berubah dan bergerak. Bumi terus bergerak. Setiap detiknya, segala hal berubah. Sel berubah. Ada yang hancur. Ada yang tumbuh. Namun, ada sesuatu yang tak pernah berubah. Ia juga tak pernah bergerak. Ia tak pernah datang, dan tak pernah pergi. Ia tak pernah diciptakan, dan juga tak akan pernah hancur. Inilah substansi dari diri kita, sekaligus substansi dari alam semesta. Ketika orang menyadari substansi dirinya, maka ia juga menyadari substansi seluruh alam semesta. Kesadaran semacam ini jauh melampaui sekadar pemahaman intelektual teoretis. Dalam pementasan Kemalingan, ada hal yang saling beririsan ketika waktu dapat mengubah keharmonisan keluarga, ada pasang surut dalam kehidupan, semuanya dinamis sekaligus statis.
Zen memiliki landasan teoretis terhadap pandangannya ini dengan menggunakanargumen bahwa suatu bentuk, sesungguhnya, adalah kosong. Kita melihat segala sesuatu di muka bumi sesuai dengan bentuknya. Manusia memiliki bentuk tertentu, seperti halnya hewan, tumbuhan, dan segalanya. Namun, bentuk bukanlah sesuatu yang sejati. Ia rapuh. Ketika terjadi sesuatu, ia berubah. Misalnya, perubahan yang terjadi ketika rumah warisan kehilangan lampu warisan. Perubahan tersebutmerupakan kekosongan, karena rumah yang kehilangan lampu akan menjadi gelap, setiap penghuni rumah akan saling menabrak, dan konflik pun bisa tiba-tiba muncul. Suasana yang gelap tanpa ada cahaya atau petunjuk membuat penghuni rumah berjalan tanpa bimbingan.
“Kosong” sendirimerupakan sebuah kata. Untuk itu, ketika orang melepaskan kekosongan, ia memasuki ranah sebelum kata dan konsep. Ini adalah ranah sebelum pikiran, dan bagi Zen, ranah sebelum pikiran adalah ranah jati diri sejati manusia. Di sini seorang manusia akan sadar, bahwa orang lain adalah dirinya sendiri. Tidak ada perbedaan. Namun, ini semua tidak hanya bisa dipahami secara teoretis intelektual, tetapi juga perlu disadari sepenuhnya. Jika hanya dipahami secara intelektual, maka orang seringkali jatuh ke dalam kelekatan pada kekosongan. Inilah yang disebut nihilisme, yakni ketika orang hidup tanpa pegangan apapun, lalu bertindak seeenaknya, demi kepuasan dirinya sendiri, atau demi ego semu yang ia anggap ada.
Jika direfleksikan, segala bentuk dari segala sesuatu bersifat temporer semata. Ia dibentuk melalui proses tertentu, dan akan berubah menjadi sesuatu yang lain. Seperti manusia yang lahir, berkembang menjadi dewasa, kemudian mati, dan jadi tulang-benulang. Inilah pola muncul dan menghilang yang menjadi ciri dari segala bentuk. Namun, jati diri sejati kita sebagai manusia tak pernah berubah. Ketika orang menyadari ini, ia menemukan kedamaian yang sesungguhnya di tengah beragam perubahan yang terjadi. Inilah pikiran manusia yang sama sekali terbebas dari konsep dan bahasa. Di titik ini, kita tidak lagi berbeda dengan alam semesta. Namun, kita juga tidak sama dengan alam semesta, karena berbeda dan sama adalah konsep yang diciptakan oleh pikiran kita. Keduanya kosong. Ketika kita mencoba untuk merumuskan keadaan pikiran semacam ini, kita sudah jatuh ke dalam kesalahan. Di titik ini, tidak ada lagi konsep. Tidak ada baik. Tidak ada buruk. Tidak ada terang. Tidak ada gelap. Tidak ada kekosongan. Tidak ada perbedaan. Tidak ada kesamaan. Tidak ada bentuk. Tidak ada apapun. Ini adalah keadaan sebelum pikiran. Zen berarti menyadari keadaan batin semacam ini, dan mempertahankannya di dalam kegiatan sehari-hari.
Zen telah mengajarkan kita bagaimana cara menyikapi kehilangan. Meskipun kita tak bisa memungkiri bahwa sebuah persitiwa kehilangan, sekecil apapun akan menimbulkan luka di hati kita. Besar atau kecilnya sebuah luka tergantung daripada peran individu dalam menyikapinya, ia bisa memilih bersedih atau mencari makna di balik setiap peristiwa kehilangan. Pementasan Kemalingan menawarkan sebuah perspektif baru dalam menyikapi kehilangan. Sebuah lampu warisan dari orang tua yang hilang ternyata menyimpan pesan yang ingin disampaikan, bahwa dalam sebuah keluarga menjaga “lampu” keharmonisan adalah sesuatu yang penting. Setidaknya kita pun bisa ikut merefleksikan perihal masihkah “lampu” keharmonisan di dalam keluarga kita masing-masing masih menyala? (M. Nur Alam Tejo)