Sumber: m.tribunnews.com

Sebagaimana diketahui bersama bahwa sikap penolakan terhadap bentuk lembaga perwakilan mahasiswa dalam rupa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Lembaga Mahasiswa (LM) telah mentradisi dan menjadi kultur yang mapan di Fakultas Filsafat UGM. Situasi demikian pula yang menyebabkan mengapa tidak terdapatnya lembaga perwakilan mahasiswa di Fakultas Filsafat beberapa waktu yang lampau.

Namun, peristiwa yang mencuat belakangan ini, yaitu telah diresmikannya Lembaga Mahasiswa Fakultas Filsafat (LMFF), menghidupkan kembali perbincangan, setidaknya bagi beberapa kalangan mahasiswa di Fakultas Filsafat, mengenai keberadaan lembaga perwakilan mahasiswa. Segera dapat diduga, berdirinya LMFF—secara sah dan disetujui oleh pihak fakultas, yang diwakili oleh terbitnya Surat Keputusan dari Wakil Dekan Bidang Akademik—berujung dengan munculnya kontroversi di kalangan mahasiswa.

Berbagai respon yang mengemuka antara lain bersikap menolak, mendukung, hingga tidak ambil peduli sama sekali. Bagi mereka yang menolak setidaknya berkisar pada dua penilaian berikut: kecurigaan akan kemungkinan bahwa lembaga ini sengaja dibentuk agar pihak fakultas memiliki medium untuk mengintervensi kehidupan-mahasiswa di kampus filsafat; atau bahwa lembaga ini akan dijadikan medium organisasi atau partai politik aliran tertentu yang tidak jelas juntrungnya dalam upaya pengaderan mahasiswa oleh organisasi atau partai politik yang bersangkutan. Ringkasnya, bagi mereka, lembaga perwakilan rentan untuk terkooptasi.

Dua penilaian tersebut berpedoman pada pengalaman berbagai lembaga mahasiswa serupa yang akhirnya bertransformasi menjadi ajang kontes-kepentingan tertentu, ketimbang seharusnya mencerminkan kepentingan dari mahasiswa. Sementara, bagi mereka yang memberikan dukungan menilai bahwa Fakultas Filsafat membutuhkan lembaga semacam itu demi terjaminnya penyaluran aspirasi dan opini mahasiswa ke pihak fakultas atau universitas.

Namun, pada kasus LMFF ini, menariknya, pernyataan humas organisasi tersebut berdalih bahwa LMFF bukan merupakan sebuah lembaga perwakilan mahasiswa sebagaimana halnya BEM atau LM—yang secara definitif membawahi atau mewakili mahasiswa pada tataran politis di tingkat fakultas maupun universitas—melainkan berkedudukan seperti Badan Kegiatan Mahasiswa (BKM) lainnya di Fakutas Filsafat. Meskipun terdengar absurd, tetapi ini memberikan pemahaman bahwa LMFF tidak lain merupakan sebuah wadah pengembangan bakat dan minat bagi mahasiswa. Tidak kurang, tidak lebih. Apabila demikian, maka dengan sendirinya penilaian-penilaian di muka berpotensi jatuh pada kekeliruan. Sebab penilaian-penilaian tersebut bertumpu pada asumsi bahwa LMFF merupakan lembaga perwakilan mahasiswa.

Kendati demikian, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Selain penggunaan nama Lembaga Mahasiswa Fakultas Filsafat yang tidak mengindikasikan sebuah BKM sama sekali, hingga bentuk struktur kepengurusan dan ranah kerja yang menyerupai lembaga perwakilan mahasiswa, kenyataan di lapangan turut menunjukan bahwa LMFF tidak seperti yang didaku para founding father-nya, yakni sebagai sebuah BKM. Ini nampak, salah satunya, saat LMFF memberikan sikap politik terhadap kinerja pemerintahan Indonesia (Jokowi-JK).

Dari kasus tersebut, karenanya, untuk sementara ini dapat diandaikan bahwa LMF secara diam-diam mengakui bahwa lembaganya memiliki daya politis. Daya politis itu, tentu saja hanya sahih apabila dipergunakan dalam kerangka lembaga tertentu yang dianggap sahih mempergunakan daya politisnya pula, dalam hal ini, yaitu kerangka lembaga perwakilan mahasiswa.

Berkat adanya daya politis, yang diam-diam itu, LMFF, dengan demikian menjadi semakin terang berbeda dengan BKM. Sebab LMF akan mampu bergerak pada tataran politis, seperti terlibat negosiasi penetapan kebijakan kampus atau pengangkatan isu-isu di tingkat fakultas, universitas, atau domain politis yang lebih besar, serta dimungkinkan untuk menjatuhkan sikap terhadapnya—atas nama mahasiswa Fakultas Filsafat UGM. Ini menunjukkan bahwa, di atas kertas, ranah operasi LMFF sudah melampaui kapasitas sebagai BKM. Dengan kata lain, LMF adalah pseudo-BKM.

Terlepas dari itu semua, apakah LMFF merupakan sebuah lembaga perwakilan mahasiswa, atau sekadar BKM, sejatinya pada aras terdasar keberadaanya ditopang oleh suatu konsep yang dikenal sebagai klaim representasi. Sebagai lembaga perwakilan, LMFF merepresentasikan aspirasi dan opini berikut hak politik mahasiswa yang diwakilinya. Sementara sebagai BKM—apabila ingin tetap dipahami seperti demikian—lembaga tersebut merepresentasikan sebatas aspirasi dan opini dari mahasiswa. Apabila dilakukan penilikan lebih lanjut, akan nampak bahwa apapun posisi yang diambil dari kedua status tersebut, landasan klaim representasi ternyata menyimpan persoalannya tersendiri. Ini yang akan diperiksa selanjutnya.

Fungsi klaim representasi adalah basis legitimasi bagi keberadaan lembaga perwakilan. Klaim tersebut diperoleh melalui pengandaian bahwa semua elemen terwakili secara sukarela karena adanya kesamaan kepentingan dan kebutuhan, dan selanjutnya seluruh elemen seolah dihadirkan kembali dalam rupa lembaga perwakilan itu. Oleh karenanya, segala sikap dan keputusan yang diambil oleh lembaga perwakilan dipahami sebagai sikap dan keputusan bersama yang berlandaskan pada asumsi kesamaan kepentingan dan kebutuhan.

Secara faktual lembaga perwakilan dapat memproduksi sesuatu yang merepresentasikan kepentingan dan kebutuhan bersama. Namun, hal itu bukan yang patut untuk diperhatikan, sebab hal tersebut sesuai seturut definisi dari lembaga perwakilan per se. Apa yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan dari lembaga perwakilan yang mampu memproduksi sesuatu yang daripadanya mengatasi definisi perwakilan itu sendiri. Semisal, sikap dan keputusan yang dihasilkan oleh lembaga perwakilan tidak memiliki relevansi apapun atau malah bertentangan dengan aspirasi dan opini serta kepentingan dan kebutuhan dari tiap-tiap elemen. Inilah inkonsistensi inheren lembaga perwakilan.

Hal di atas dapat terjadi bukan karena para pelaku dalam lembaga itu berkomitmen buruk, justru karena kodrat lembaga semacam itu memungkinkan kondisi demikian untuk terjadi. Saat hak politik, aspirasi dan opini, berikut kepentingan dan kebutuhan setiap elemen dieksternalisasikan pada lembaga perwakilan, seketika itu mahasiswa tercerabut dari apa yang semula dimiliki langsung olehnya.

Seluruh untaian uraian sebelumnya setidaknya telah mengemukakan, apabila lembaga perwakilan mahasiswa mengandung inkonsistensi inheren, memiliki pontensi terkooptasi, dan karenanya kehilangan independesi, maka mahasiswa tidak mesti menaruh kesetiaan pada lembaga semacam itu.

Karena itulah, mari kita bayangkan situasi absennya lembaga perwakilan. Dalam situasi ini apakah mahasiswa mendapati kesulitan untuk mengakomodasi segala aspirasi dan opini berikut kepentingan dan kebutuhan mereka kepada pihak fakultas maupun universitas? Apakah dengan absennya lembaga perwakilan menjadikan kehidupan mahasiswa tumpul dan pasif dalam merespon lingkungannya?

Hal demikian dapat dicegah seandainya mahasiswa mengefektifkan ruang publik yang ada di dalam kampus. Inilah alternatif tawaran selain membentuk lembaga perwakilan mahasiswa.

Ruang publik, dalam konteks ini, merupakan arena diskursif yang berakar dari kehidupan-kampus di mana mahasiswa menghayati dan merespon lingkungan tempat tinggalnya. Ruang ini terbentuk secara spontan dan sporadis, misalnya, di taman, di depan kelas, di kantin, di sekretariat atau forum-forum di manapun mahasiswa melakukan komunikasi rasional dalam merespon situasi lingkungannya. Selain itu, pers, mading, mural dan sebagainya sejauh memungkinkan akses komunikasi bagi aspirasi dan opini mahasiswa juga termasuk kategori ruang publik. Intinya, ruang publik tidak mesti dimengerti dalam wujud fisik.

Ruang ini—meminjam isitilah Habermas—merupakan tempat yang tak bertempat. Dalam ruang ini, segala hal sejauh relevan dengan kehidupan-kampus dapat dijadikan tema permbicaraan. Karenanya, ini berseberangan dengan konsep lembaga perwakilan yang alih-alih diasumsikan legitim merepresentasi seluruh elemen, tetapi sebenarnya terpusat pada satu entitas yang mereduksi aspirasi dan opini serta kepentingan dan kebutuhan yang plural.

Ini sekaligus menjadi kritik terhadap pandangan bahwa kerangka lembaga perwakilan merupakan satu-satunya mekanisme yang tepat untuk menyalurkan aspirasi dan opini. Dengan demikian, ruang publik turut membuka saluran-saluran komunikasi lain yang mungkin.

Bagaimana ruang publik berperan dalam menyuarakan aspirasi dan opini serta kepentingan dan kebutuhan mahasiswa? Bagi Habermas, peran itu dilakukan seperti layaknya “papan pantul untuk masalah-masalah”. Tema apapun sejauh relevan dengan persoalan-persoalan kehidupan kampus dapat diartikulasikan dalam ruang publik. Mahasiswa dapat mendiskusikan persoalan kurang guyub-nya hubungan antar mahasiswa, cara mengajar dosen yang buruk hingga persoalan isu dan kebijakan kampus. Bahkan, membicarakan inisiasi pembentukan lembaga perwakilan mahasiswa juga dimungkinkan.

Ruang publik memastikan bahwa setiap mahasiswa memiliki akses untuk menjadi pengusung aspirasi dan opini. Namun, ruang publik dengan sendirinya akan melakukan pembentukan formasi aspirasi dan opini, antara yang partikular dan yang universal. Para peserta yang berada dalam arena diskursus ruang publik sudah barang tentu membawa kepentingan dan kebutuhan masing-masing, dengan kata lain, yang partikular.

Habermas menilai, bahwa kepentingan dan kebutuhan itu tidak terisolasi dengan milik peserta lain, justru saat hal-hal itu ditabrakkan dalam arena diskursus, dengan sendirinya memunculkan kesadaran akan adanya kepentingan dan kebutuhan bersama. Karenanya, ruang publik memungkinkan para peserta untuk mencapai tujuannya secara kolektif dan kooperatif—ketimbang melalui mekanisme representatif—dengan pemahaman akan situasi yang didefinisikan bersama-sama.

Dalam rangka seperti itulah, selanjutnya mahasiswa perlu melakukan mobilisasi rekan-rekan untuk mengarahkan aspirasi dan opini serta menekankan kepentingan dan kebutuhan itu ke tengah-tengah dunia kampus. Ini menyiratkan sekaligus mensyaratkan keterlibatan aktif mahasiswa dalam mengefektifkan ruang publik dan proyek mobilisasi rekan-rekan lainnya.

Kehadiran langsung mahasiswa dapat diupayakan ketimbang laku penghadiran kembali seperti dalam kerangka lembaga perwakilan. Sehingga, yang diperlukan bukanlah representasi atau penghadiran kembali, melainkan presentasi atau kehadiran langsung dari si empunya hak politik itu. Siapa? Tidak lain adalah mahasiswa itu sendiri. Sebab mahasiswalah yang paling tahu apa yang dikehendakinya. Melalui laku kehadiran langsung itulah—mengefektifkan ruang publik dan memobilisasi rekan mahasiswa—aspirasi dan opini serta kepentingan dan kebutuhan menubuh bersama mahasiswa itu sendiri. (Iman/Jofie)

LEAVE A REPLY