Jumat (9/6), Yayasan Biennale Yogyakarta menyelenggarakan pembukaan pameran Asana Bina Seni di Taman Budaya Yogyakarta. Pameran yang bertajuk “(Se)tempat” ini merupakan hasil dari program kelas kuratorial dan manajemen seni. Kurator muda yang terpilih akan menampilkan karyanya. Pameran ini digelar hingga tanggal 19 Juni 2023 mendatang.
Ardhias, salah satu kurator Biennale mengatakan bahwa persiapan pameran Asana Bina Seni 2023 sudah dimulai sejak bulan Februari. “Karya dikelompokkan berdasarkan tiga tema, yaitu ekologi, gender, dan arsip.” terangnya. Menurut Dhias, Biennale bukan merupakan hasil akhir, melainkan sebagai proses belajar. “Tiga topik ini menjadi kecenderungan utama bagi peserta kelas,” lanjut Ardhias.
Salah satu karya bertemakan ekologi, dengan apik diciptakan oleh Aji Prasetyo. Melalui karyanya yang berjudul “Mutasi Kinetika: Dialog Realitas dan Disrupsi Delusi”, Ia mencoba mengingatkan kembali bahwa sejauh apapun progres dan inovasi umat manusia, alam sudah ada terlebih dahulu. Karya berupa capung yang dibuat dari limbah plastik ini merefleksikan perubahan alam. “Dalam suatu ekosistem, capung turut menjadi bioindikator alami untuk mengetahui kebersihan air karena larvanya tidak bisa tumbuh di air yang tercemar,” jelas Aji.
Melalui karyanya, Aji mencoba menggambarkan gagasan dasar antroposen dengan sayap capung dari limbah plastik cor yang berserakan di lantai. Instalasi ini menyampaikan gagasan bahwa alam bukan hanya yang organik dan hidup belaka, melainkan segala yang ada. “Dari sinilah, saya bayangkan bagaimana capung bisa hidup di lingkungan kotor. Dia akan mati atau bermutasi menjadi capung yang gerakannya pelan,” tutur Aji.
Di sisi lain, karya dengan tema gender berjudul “Rambut” ditampilkan oleh Fredy Hendra, seniman asal Jombang. Fredy melabeli dirinya sebagai nonbiner. Melalui karyanya, ia ingin memberikan ruang kebebasan bagi pengunjung dalam mengidentifikasi identitas gender mereka sendiri. Rambut dalam karya tersebut melambangkan jati diri dan kebebasan individu. “Saya akan memotong rambut yang terhubung dengan rambut palsu sebagai simbolisasi dari negosiasi dengan keluarga dan pembebasan dari norma-norma gender yang membatasi,” jelas Freddy.
Menurut Freddy, memiliki rambut panjang acapkali menimbulkan pertanyaan dan penolakan dari ibunya. “Pertanyaan itu membuat saya terbatas dalam berekspresi dan seolah-olah dipenjara,” tutur Freddy. Baginya, identitas gender seseorang tidak ditentukan oleh penampilan fisik atau atribut seperti rambut, tetapi melibatkan faktor internal, sosial, dan personal yang kompleks.
Sementara itu, karya berjudul “Lapo dan Segelas Pengetahuan”, di bawah tema arsip tidak semata menghadirkan manusia dan kegiatannya belaka. Azka Siregar, salah satu seniman dari karya ini menjelaskan Lapo sebagai ruang sosial dan interaksi pertemuan orang-orang usai bekerja. “Karena stigma umumnya hanya sebagai tempat minum, padahal terdapat fungsi lain dari Lapo,” jelas Azka.
Azka menyebutkan bahwa persiapan untuk pameran ini cukup sederhana. “Persiapan untuk pameran ini tidak riweuh, cukup dengan mengumpulkan data. Kurang lebih tiga ribu unit pustaka yang tersebar di delapan belas negara, khususnya Inggris, Jerman dan Belanda,” tuturnya. Melalui karya ini, Azka mencoba menyampaikan bahwa semua ciptaan dan ilmu pengetahuan perlu diapresiasi, bukan hanya seni.
Mulyono, selaku seniman yang sudah berpartisipasi dalam Biennale sejak 2017, mengatakan bahwa asana Bina Seni digelar sebagai wadah bagi para seniman untuk belajar dan berproses sekaligus memberikan apresiasi terhadap karya-karya mereka. “Salah satu ekspresi dari kebudayaan adalah kesenian,” ujar Mulyono. “Kesenian sangat penting karena kesenian merupakan tata nilai,” pungkasnya.
Penulis : Hanifah Alyarowina, Nadia Khairunnisa
Editor : Sukma Kanthi Nurani
Fotografer : Ariani Eka