Sejumlah massa aksi yang menolak aktivitas penambangan di Sungai Progo, Minggir, Sleman mendapat upaya kriminalisasi oleh pihak penambang. Terhitung, sejak Februari hingga Maret 2021, sebanyak 18 warga Padukuhan Jomboran menerima surat panggilan dari Polres Sleman. Pemanggilan itu, didasarkan dari laporan Pramudya Afgani, selaku pihak penambang atas laporan dugaan pelanggaran sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) Hukum Pidana dan dalam UU Minerba.
Himawan Kurniadi, Kepala Divisi Advokasi dan Kawasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogykarta, mengungkapkan bahwa adanya kriminalisasi dengan memakai UU Minerba merupakan preseden buruk bagi pemerintah dalam menjamin perlindungan bagi aktivis pejuang lingkungan. “Menurut catatan kami, ini adalah satu korban pertama dari keangkuhan UU Minerba yang baru,” tegas Adi saat konferensi pers yang digelar oleh perwakilan PMKP, WALHI, dan LBH Jogja di kantor WALHI Yogyakarta, Senin (11/10).
Sikap kecewa atas upaya kriminalisasi itu diungkapkan oleh Siswanto, aktivis Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP). Menurutnya, upaya menolak penambangan timbul dari kesadaran penuh warga untuk menjaga lingkungannya dari kerusakan. Lagi pula, kata Siswanto, tuduhan yang dilayangkan pihak penambang tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan syarat akan kejanggalan-kejanggalan.
“Dari perizinan, PT CMK mengaku sudah mengantongi izin penambangan, tapi nyatanya ada beberapa warga kami yang dipalsukan tanda tangannya pada dokumen milik PT CMK,” terang Siswanto. Kasus pemalsuan itu sebelumnya sudah dilaporkan Siswanto ke Polda DIY pada 11 Januari 2021, namun tidak ditindaklanjuti sampai sekarang. “Kita melakukan laporan, kok sekarang malah dikriminalisasi,” tandasnya.
Meski begitu, pada tanggal 7 Oktober 2021, pihak kepolisian menaikkan kasus dugaan pelanggaran UU Minerba oleh sejumlah aktivis pejuang lingkungan tersebut menjadi proses penyidikan. Akan tetapi, Siswanto bersama kawan-kawan aktivis pejuang lingkungan lainnya menyatakan tidak takut dan akan tetap gigih dalam mempertahankan lingkungannya dari ancaman kerusakan tambang.
Sementara Kepala Divisi Pendidikan dan Media Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Budi Hermawan menyatakan, pihaknya akan mengawal kasus tersebut, dan membentuk forum tim kuasa hukum bagi warga PMKP. Budi juga mengaku kecewa dengan sikap aparat penegak hukum yang mengabaikan pasal 66 UU PPLH yang seharusnya memberikan perlindungan bagi aktivis lingkungan dari kriminalisasi.
Aktivis Lingkungan dalam Jeratan UU Minerba
Konflik penambangan yang terjadi di Sungai Progo telah berlangsung sejak tahun 2017. Konflik disebabkan oleh aktivitas penambangan yang dilakukan oleh Pramudya Afgani dan Citra Mataram Konstruksi (PT CMK) di Sungai Progo. Sebelumnya, masyarakat telah menolak segala bentuk aktivitas pertambangan karena akan berdampak buruk terhadap lingkungan sekitar.
Alasan penolakan warga Jomboran yang tergabung dalam PMKP lainnya, karena ditemukan sejumlah pelanggaran. Meliputi pelanggaran janji jam kerja pihak penambang, pengambilan material menggunakan mesin sedot, tonase truk pengangkut yang melebihi batas, serta tidak adanya sosialisasi kepada masyarakat dalam proses penerbitan izin. Bahkan, pihak penambang justru memalsukan tanda tangan warga agar izin bisa terbit.
“Katanya mereka sudah melakukan sosialisasi, tapi ternyata bukan di dusun kami dan malah mencatut beberapa warga kami untuk pemalsuan data tanda tangan,” ujar Sapoy.
Aksi protes terhadap aktivitas penambangan di Sungai Progo dilakukan di beberapa titik. Di antaranya Padukuhan Jomboran, Nanggulan, Wiyu, dan Pundak Wetan. Aksi penolakan warga dimaksudkan agar kelestarian sungai yang terancam aktivitas penambangan tetap terjaga. Akan tetapi, tindakan mulia itu justru mendapat upaya kriminalisasi.
WALHI, LBH Yogya, dan PMKP, menganggap upaya jalur hukum yang ditempuh pihak penambang dengan dalih pelanggaran Pasal 162 UU Minerba sebagai bentuk kriminalisasi terhadap warga yang berusaha menjaga kelestarian Sungai Progo.
Sedari awal, UU Minerba ini menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan. Dilansir dari Tempo.co, Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, menyatakan bahwa UU Minerba tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan pemnahasannya dan meminta agar tidak dimasukan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Namun, kenyataanya RUU itu tetap dibahas DPR dan mulus disahkan menjadi UU Minerba yang saat ini menimbulkan banyak permasalahan. UU Minerba baru ini gagal menghadirkan pasal-pasal yang membela kepentingan masyarakat dan telah memberi ruang bagi para pengusaha untuk mengeruk bahan tambang tanpa mempedulikan kelestarian lingkungan hidup.
Menurut Adi, UU Minerba digunakan secara sepihak oleh negara untuk kepentingan para penambang dan berdampak pada kriminalisasi aktivis lingkungan Jomboran. UU Minerba, kata Adi, seakan didesain guna memudahkan para penambang untuk mengeksploitasi lingkungan hidup.
Lebih lanjut, menurut Budi Hermawan dalam UU Minerba ini belum ada mekanisme pengawasan sehingga izin penambangan mudah saja dikeluarkan tanpa adanya mekanisme pengawasan. Menurutnya, UU Minerba ini menyebabkan akses keadilan bagi masyarakat semakin jauh tetapi izin bagi investor semakin gampang. “Pengawasan izin itu sampai sekarang belum jelas karena semua terpusat di nasional sehingga menyulitkan warga untuk mendapat keadilan,” terang Budi.
Salah satu terlapor yang akrab disapa Sapoy, menyatakan bahwa dirinya dikenai dua pasal terkait tindak kekerasan dan menghalangi aktivitas penambangan. “Tentang pasal kekerasan dan menghalang-halangi itu digunakan tanpa adanya bukti-bukti, kami melakukan aksi di tanah kami sendiri di Jomboran,” lanjut Sapoy.
Menurut Sapoy, penolakan aktivitas penambangan di Sungai Progo dikarenakan tidak ada sosialisasi kepada warga. Selain itu, terdapat proses perizinan yang tidak transparan dan cacatnya administrasi. Sapoy juga menjelaskan adanya dugaan pemalsuan dokumen saat sosialisasi.
Terlapor lainnya, atas nama Siswanto menyatakan bahwa dirinya bersama seluruh warga yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) mempertanyakan posisi penegak hukum. “Kita semua paham bahwa seluruh warga masyarakat wajib menjaga lingkungan, tetapi ketika kita melakukan laporan malah dikriminalisasi,” jelas Siswanto.
WALHI: Cabut UU Minerba!
WALHI menyayangkan peralihan sistem pengawasan dalam UU Minerba, yang semula oleh pemerintah daerah menjadi langsung ke pusat. “Semua larinya ke pusat, tidak ada kemudian perangkat untuk mengawasi itu. Ketika kita tanya beberapa pihak yang biasanya mengurusi itu (perizinan penambangan), sekarang sudah berucap jika itu bukan wewenang kita,” terang Adi.
UU Minerba menjadi penyebab kriminalisasi yang dialami oleh warga yang menentang aktivitas penambangan di Kali Progo. “ Hanya karena menghalangi proses penambangan, kemudian mereka (pihak tambang) memanggil. Lalu sekarang. dua orang telah sampai ke tahap penyidikan,” lanjut Adi.
Adi turut menyoroti sistem yang dicanangkan oleh pusat terkait dengan izin penambangan. Dalam sistem itu, pemerintah pusat memberlakukan mekanisme Online Single Submission (OSS). OSS ini fungsinya untuk kepatuhan pihak penambang dalam urusan lingkungan, tetapi sekarang dipakai untuk legitimasi ‘aku ini sudah dapat izin.
Jadi saat di lapangan, imbuh Adi, penolakan menjadi susah karena pihak penambang sudah mengantongi izin. “Amdal dan urusan lingkungan bisa diurus belakangan. Sementara itu, mereka (penambang) bisa langsung jalan (beroperasi),” tegas Adi.
Sekarang ini, banyak izin tambang galian C yang langsung lari ke pusat. Adi menambahkan, di Jogja mungkin ada ratusan izin tambang galian C, belum lagi di daerah Indonesia yang lain. “Lalu, bagaimana untuk pengawasannya jika itu semua larinya ke pusat. Sementara itu, di sini (pemerintah daerah) tidak ada kewenangan untuk mengawasi dan lain sebagainya,” tandas Adi.
Bercermin dari hal tersebut di atas , WALHI yang dalam konferensi pers diwakili oleh Adi, menegaskan bahwa UU Minerba layak ditolak dan dicabut sebagai UU. “Hingga detik ini, kami (WALHI) menolak dan mendesak pemerintah pusat untuk mencabut UU Minerba,” tegas Adi.
Pernyatan Sikap Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP)
Dalam konferensi pers, menimbang aktivitas penambangan yang dilakukan oleh Pramudya Afgani dan PT CMK telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, seperti penggerusan bantaran sungai dan penurunan muka air tanah. Serta, ditemukan sejumlah bukti kejanggalan-kejanggalan maladinistrasi, dll. Maka, berdasarkan hal tersebut, Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap warga Jomboran yang sedang mempertahankan lingkungan hidup,
- Mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menghentikan aktivitas penambangan yang ada di Sungai Progo atau wilayah PMKP,
- Menuntut Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mencabut Surat Izin Penambangan atas nama Pramudya Afgani dan PT CMK di Sungai Progo,
- Menuntut Pramudya Afgani dan PT.CMK untuk memulihkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas penambangan.
Penulis: Ananda Ridho Sulistya, Michelle Gabriela
Penyunting: Haris Setyawan