Foto: Okta

Agenda dalam Kongres Keluarga Mahasiwa Universitas Gadjah Mada (KM UGM) Selasa (20/12) adalah pembahasan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) KM UGM. Namun, persoalan yang diangkat dalam kongres hari keempat ini tak lagi berfokus pada AD/ART setelah salah satu peserta kongres mengusulkan pembahasan lain. “Mari kita bahas akar-akar permasalahan dalam KM UGM terlebih dahulu agar kita dapat mewujudkan sistem yang terbaik,” ujar Mohamad Hikari.

Pernyataan ini dilontarkan Hikari ketika forum sedang membahas bentuk organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM KM) UGM yang tercantum dalam AD KM UGM. Bentuk serta sistem BEM KM inilah yang bagi Hikari tidak dapat ditentukan langsung apabila peserta kongres belum memahami akar masalah yang ada dalam KM UGM. Forum kemudian menyepakati usul dari mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) ini.

Peserta kongres satu persatu memaparkan permasalahan yang dirasakannya. Beberapa peserta mengaku tidak merasa terwakilkan oleh BEM KM di tingkat universitas. Hikari mempertanyakan bagaimana proses pembentukan Senat Mahasiswa, BEM KM, bahkan KM UGM itu sendiri. Ia juga bertanya bagaimana unsur fakultas dapat dihadirkan di dalamnya. “Aspirasi siapa yang diwakilkanBEM KM jika mereka tidak turun sampai ke tingkat terbawah di universitas?” tanyanya.

Fajar, peserta kongres dari FISIPOL juga sepakat dengan pertanyaan Hikari. Ia mengungkapkan bahwa masalah utama dalam BEM KM bukanlah kinerjanya. “Hal yang paling krusial adalah representasi dari fakultas itu sendiri,” tuturnya. Pernyataan ini juga diperkuat oleh peserta kongres lainnya, Muhammad Qatrunnada Ahnaf. “BEM KM tidak pernah menyentuh fakultas saya,” tegas mahasiswa Fakultas Filsafat ini.

Joko Susilo kemudian mengusulkan pembentukan sebuah tim untuk mengatasi situasi ini. Tim yang ia namakan tim transisi ini nantinya akan menggali aspirasi dari elemen fakultas dan sekolah vokasi. “Anggota tim transisi diambil dari presiden mahasiswa terpilih, satu wakil senat mahasiswa, sembilan belas wakil keluarga mahasiswa fakultas serta sekolah vokasi, dan perwakilan Forum Komunikasi Mahasiswa Gelanggang,” usul mahasiswa FISIPOL ini. Walaupun begitu, ia menegaskan bahwa dalam pembentukannya, tim transisi tidak menyandang jabatan apapun baik Senat Mahasiswa maupun BEM KM.

Tanggapan mengenai tim transisi datang dari Taufik Ismail. Baginya, kehadiran tim ini dapat menimbulkan kekosongan kekuasaan (vacuum of power), sebab KM UGM seakan-akan tidak memiliki peran apapun. “Sekalian saja kita adakan vacuum of power di semua lembaga mahasiswa dari tingkat terbawah, kemudian rumuskan ulang KM itu seperti apa,” usul mahasiswa Fakultas Peternakan ini. Namun, pendapat ini disanggah oleh Muhammad Retas Abaqah, mahasiswa Fakultas Teknik. Vacuum of power yang sempat terjadi di fakultasnya sejak Desember 2014 hingga Februari 2015 ternyata menunjukkan peran BEM dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Fakultas Teknik masih diperlukan. “Alasannya adalah kami masih berharap adanya satuan lembaga yg mempersatukan seluruh mahasiswa,” ungkapnya.

Meskipun begitu, Retas tetap berharap agar lembaga yang diharapkan tersebut tidak merasa ditinggikan di fakultas maupun jurusan. Ia juga meminta agar lembaga tersebut tidak sampai kehilangan fungsi pergerakan mahasiswa, karena itu merupakan fokus utamanya. Agung Pratama dari Fakultas Hukum juga mengingatkan bahwa vacuum of power tidak akan menghilangkan peran pejabat terpilih. “Ini untuk KM yang lebih baik,” ujarnya.

Kongres hari keempat ditutup dengan inventarisasi masalah-masalah dalam KM UGM. Selain masalah representasi, terdapat sepuluh masalah lain yang selanjutnya dibedah dalam Kongres KM hari kelima, Rabu (21/12). Beberapa di antaranya adalah terkait ideologi dan transparansi BEM KM UGM, serta kedaulatan fakultas dalam KM UGM. (Oktaria Asmarani/Arie)

LEAVE A REPLY