Komnas Perempuan Nilai Hukuman Kebiri Kimia Tak Selesaikan Persoalan Kekerasan Seksual

0
1068
(bpmfpijar.com/Faiz Nur Afif)

(bpmfpijar.com/Faiz Nur Afif) (magang)

Di tengah maraknya kasus kekerasan seksual, perdebatan mengenai hukuman pemberatan pada pelaku tindak kekerasan seksual terus menuai kontroversi. Peraturan tersebut sudah diteken oleh Presiden Joko Widodo dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) pada 7 Desember 2020, PP Nomor 70 tahun 2020 di dalamnya mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindak Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. 

Pada kesempatan ini, Komnas Perempuan berusaha mengupas mengenai kontroversi kebiri kimia, disiarkan melalui Live Instagram akun Komnas Perempuan (@komnasperempuan) dalam diskusi yang bertajuk “Kontroversi Kebiri Kimia” pada Minggu (17/1)  dengan menghadirkan Dr. dr. Retty Ratnawati, MSC (QU), AIF. selaku pembicara yang merupakan Komisioner Komnas Perempuan dan Nova Wulandari selaku moderator.

Di awal diskusi, moderator, Nova menyinggung mengenai apa yang mendasari kasus kekerasan seksual. Retty menjelaskan, “Kekerasan terjadi bukan hanya didasari oleh libido saja. Terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi terjadinya tindak kekerasan seksual. Pemilihan pemberatan hukuman menggunakan kebiri ini dirasa kurang tepat mengingat kekompleksan masalah kekerasan seksual itu sendiri”. Hukuman kebiri, menurutnya, harus dilihat dalam konteks yang lebih dalam.

Lebih lanjut, Retty memaparkan mengapa hukuman kebiri kimia merupakan keputusan yang terlalu terburu-buru. “Kebiri kimia tidak dapat menyelesaikan akar persoalan dari kekerasan seksual. Efek samping dari penggunaan kebiri kimia pun perlu diperhatikan, apakah penggunan kebiri kimia ini melanggar HAM atau tidak,” jelas Retty. Di samping itu, Retty menambahkan, biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kebiri kimia pun relatif mahal.

Retty menegaskan fokus yang penting dimiliki oleh pemerintah adalah pemulihan dan perlindungan kepada korban tindak kekerasan seksual 

“Pemberatan hukuman menggunakan kebiri kimia tidak sesuai, di mana tindak kekerasan seksual disebabkan tidak hanya karena kasus hormon saja. Sementara, masih banyak (hukuman) yang perlu dioptimalkan. Semisal, dengan pencegahan (kekerasan seksual), menguatkan sistem peradilan, meningkatkan dukungan untuk SDM yang berkelanjutan, dan melakukan pidana maksimal”,  ujar Retty.

Atas segala polemik wacana kebiri kimia, Komnas Perempuan, diwakili oleh  Retty, dengan tegas menolak kebiri kimia sebagai pemberatan hukuman yang dicanangkan oleh pemerintah.

Di akhir diskusi, moderator menyampaikan bahwa di Indonesia masih kekurangan sistem hukum yang mengakomodir kebutuhan korban kekerasan seksual. Pemerintah, menurutnya, justru terfokus pada hukuman pelaku dan membiarkan korban. 

Untuk menjawab polemik pemberatan hukuman kebiri kimia, Retty menyatakan urgensi Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) untuk segera disahkan guna menangani isu kekerasan seksual. 

“Di sana mengatur bukan hanya hukuman pada pelaku, tetapi juga tentang bagaimana korban mendapat pemulihan dari proses awal hingga setelah proses peradilan berakhir,” jelas Retty. 

Setidaknya, ada 4 (empat) poin tujuan dari RUU P-KS yang dijelaskan Retty, “Pertama, mencegah segala tindak kekerasan seksual; Kedua, menangani, melindungi, dan memulihkan korban; Ketiga, menindak pelaku; dan Keempat, mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual. Oleh karena itu RUU PKS ini penting untuk dapat mengatasi tindakan kekerasan seksual,” tegasnya.

(Faiz Nur Afif/Ayom Mratita) (magang)

LEAVE A REPLY