(Kontributor/Arie)
Sabtu (31/9) Bandung Readers Festival menyelenggarakan diskusi buku “Komitmen Sosial dan Seni, Sejarah Lekra 1950-1965” karya Keith Foulcher. Diskusi daring ini menghadirkan Kelana Wisnu selaku pemimpin redaksi Pustaka Pias dan Rima Febriani selaku penerjemah buku tersebut. Kedua pembicara tersebut dibersamai Raisa Kamila sebagai moderator.
Raisa mengatakan diskusi ini membahas proses penerjemahan dan penerbitan buku yang terbit pertama kali pada tahun 1986 ini. Selain itu, Kelana dan Rima juga membahas sepak terjang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terbentang seluas 15 tahun, selama diskusi yang dimulai pukul 15.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.
Buku ini, menurut Kelana, merupakan pintu masuk ke dalam praktek kebudayaan yang progresif. Lekra menghadirkan kesadaran lintas bangsa untuk menolak imperialisme dan kolonialisme melalui konferensi internasional. Meski begitu, mereka tetap merangkul tradisi. Mereka sadar bahwa kesenian tidak mungkin lepas dari masyarakat.
“Lekra ini sebenarnya anak tongkrongan anak skena. Mereka meminggirkan ego pribadi untuk kolektif dalam merumuskan tujuannya,” ujar Kelana.
Kelana mengatakan bahwa Lekra memperhatikan kesejahteraan seniman dan ekosistem seni. Lekra, semisalnya, menuntut pemerintah untuk menurunkan pajak seni dan memberikan subsidi penerjemahan. Selain itu, seniman Lekra, menurutnya, cukup rewel membahas hak cipta. “Apa-apa yang diolok Lekra terjadi sekarang,” ujarnya.
Sementara itu, Rima menitikberatkan pada peran perempuan seniman dalam produksi kebudayaan Lekra. Ia menyebutkan bahwa Harian Rakyat pernah menerbitkan artikel yang menyoal peran perempuan seniman. Ia pun mengatakan bahwa komposisi perempuan dan laki-laki cukup berimbang dalam Lekra, terutama di daerah.
“Hal itu saat ini malah mengalami dekadensi,” ujar Raisa.
Menurut Rima, Lekra berhasil melakukan kritik terhadap prakter kebudayaan dan lembaga itu sendiri. Kelana menambahkan dengan menyebut konsistensi Lekra dalam aturannya, misal, memecat anggota yang selingkuh ataupun poligami.
Selain itu, buku ini, menurut Kelana, tidak memposisikan Lekra secara antagonistik. Keith, menurutnya, tidak seperti Manikebu yang menilai Lekra sebagai preman kebudayaan dan tidak juga mengunggul-unggulkan Lekra sebagai revolusioner.
Kelana mengatakan bahwa Lekra merasa di atas angin selama tahun 60-an. Hal ini bisa terjadi karena memiliki basis massa yang besar serta dekat dengan Sukarno dan PKI. Saat itu, mereka, menurutnya, kritis terhadap kedatangan lukisan abstrak dan Manikebu, namun tidak menyangka akan betul-betul dihancurkan lima tahun dari masa itu.
Kelana mengatakan pula bahwa Lekra bukan merupakan organisasi bawahan Partai Komunis Indonesia. Njoto, sebagai pemimpin redaksi Harian Rakjat, pernah menolak dengan tegas ajakan Central Comite PKI yang menginginkan Lekra bergabung ke PKI.
Sementara itu, dalam visi estetik, meskipun Njoto pernah menerjemahkan dan memuat pidato kebudayaan Mao Tse Tung di Harian Rakjat dan Pramoedya Ananta Toer memberikan ceramah tentang realisme sosialisme Uni Soviet di Universitas Indonesia, Kelana mengatakan “Lekra tidak mengambil pengaruh dari kedua teori itu. Sangat memungkinkan bahwa seni sebagai propaganda justru datang dari kondisi kesejarahan Indonesia dari masa pendudukan Jepang. Di mana seni murah seperti wayang beber dan organisasi seni rakyat muncul dan berkembang di daerah”.
Zen Rs, salah satu peserta diskusi, menyatakan bahwa tidak ada perkembangan di studi tentang Lekra sejak buku ini terbit pertama kali. Studi mengenai Lekra, menurutnya, masih berkutat semata pada polemik sastra dengan Manikebu dan Lekra bukan hanya sastra. Kesusastraan Lekra pun, menurutnya, memiliki kualitas yang rendah.
Namun, menurut Kelana, keberhasilan Lekra belum bisa dinilai karena keburu ditumpas di tahun 1965. Lekra, menurutnya, saat itu masih mencari bentuk. Ia pun menilai Lekra juga memiliki visi estetik sendiri dan tidak melulu soal propaganda. Harian Rakjat, semisalnya, pernah menolak untuk memuat puisi karya D. N. Aidit karena kualitasnya rendah.
Karena itu, Rima mengatakan bahwa buku ini bisa menjadi pintu masuk menuju periode sastra Indonesia yang hilang. Di kurikulum pendidikan, periodesasi sastra Indonesia meloncati periode 1950-1965, dari angkatan 45 langsung menuju angkatan 66.
Di luar sastra, Kelana mengatakan bahwa orde baru merebut sanggar-sanggar ludruk Lekra di Jawa Timur pasca 65. Orba, melalui Kodam Brawijaya, menawarkan pembebasan tuduhan pidana pada orang-orang di sanggar yang mau berada di bawah binaan TNI AD. Mereka juga meminta sanggar-sanggar itu melakukan propaganda balik.
Sedangkan soal studi yang mandek, Kelana juga menyayangkan. Ia mengatakan bahwa studi yang ada hanya menarasikan Lekra di pusat. Belum ada pembahasan Lekra di luar pusat. Hal ini pun memancing pertanyaan dari peserta diskusi lain.
Ridwan, salah satu peserta diskusi, menanyakan soal posisi Lekra terhadap Papua Barat dan ormas islam. Kelana menjawabnya dengan mengatakan bahwa Lekra membicarakan keinginan Belanda untuk menjajah kembali melalui Papua Barat di Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent, Uni Soviet. Lekra teguh menolak kolonialisme itu.
Kelana pun menduga bahwa Lekra dengan semangat Bandung dari konferensi Asia-Afrika menyulut Lesbumi mengadakan Konferensi Pengarang Islam Asia Afrika. Lesbumi, menurutnya, tidak mau kalah dari Lekra dalam meromantisi revolusi negeri selatan. Di mana, setelah tahun 1955, Harian Rakjat banyak memuat puisi soal dunia internasional.
Namun, menurut Rima, studi tentang KAA belum membahas kondisi sebelumnya dan setelahnya. KAA, menurutnya, hanya dirayakan sebagai romantisme semu dan monumental sampai saat ini. Hal ini bisa terlihat dari pembangunan Freedom Walk di Bandung.
Di akhir diskusi, Rima mengatakan bahwa buku terjemahan ini layak dimiliki, selain karena isi dan konten yang adil dan kaya, juga karena kavernya bagus dan cantik. “Buku ini layak dipajang di rak kalian dan juga instagramable,” ujarnya.
(Pramodana/Fadil)