Jakarta, 21 Maret 2016, sekelompok massa yang mengatas namakan dirinya FORBALI melakukan demonstrasi yang bertujuan untuk menolak proyek reklamasi di Tanjung Benoa, Bali. Aksi itu muncul karena proyek reklamasi di Teluk Benoa dirasa akan mengganggu pendapatan warga sekitar dan merusak ekosistem yang ada, mengingat Teluk Benoa merupakan daerah konservasi tanaman mangrove di Bali.
Aksi semacam itu juga terjadi di kota-kota besar lain seperti Yogyakarta. Para aktivis lingkungan menolak maraknya pembangunan hotel, mal dan apartemen yang menyebabkan kondisi air tanah menjadi rusak dan dan kotor. Hal itu dapat menyebabkan penyakit bagi mahluk hidup yang mengonsumsinya.
Alam sekarang hanya dianggap oleh sebagian orang hanya merupakan sebatas objek untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa mempedulikan apa yang akan terjadi setelahnya. Hal itulah yang menjadi dasar untuk mengeksploitasi alam seperti sekarang.
Pada zaman Yunani Kuno, Aristoteles berpendandangan bahwa alam, manusia dan Tuhan merupakan kesatuan yang organis (alami). Pada tahap ini belum ada pemisahan yang tegas antara berbagai kemampuan dalam diri manusia seperti kemampuan rasio, spiritual, moral dan perasaan. Pada tahap ini akal budi dan iman berperan secara simultan dan saling menunjang untuk sampai pada pemahaman manusia terhadap alam dan kehidupan di dalamnya. Manusia di sini dipahami dalam keseluruhannya yang utuh dan hadir berhadapan dengan alam semesta yang mempesona dan menakutkan, sehingga menimbulkan rasa hormat terhadap alam dan isinya.
Pada abad ke 18, ada sebuah adagium yang terkenal yang diucapkan oleh Bapak Modernisme, Descartes, yaitu “Cogito Ergo Sum”. Hal itu membuat manusia merayakan kemampuan rasionya dengan cara melepaskan diri dari kungkungan mitos dan otoritas yang dibuat oleh penguasa dan agama. Manusia sadar bahwa dirinya bebas. Bersamaan dengan semangat pembebasan tersebut, profiliasi pun terjadi. Ideologi, struktur sosial dan ilmu pengetauan berkembang dengan sangat pesat. Manusia modern seakan-akan beranggapan bahwa mereka berhak berkuasa terhadap alam.
Atas dasar tersebut manusia modern seakan-akan menganggap diri mereka adalah spesies tertinggi di alam. Hal itu terbukti pada Abad Pertengahan, manusia merasa berhak menguasai alam atas validasi yang diberikan oleh kitab suci. Pada Abad Pencerahan, rasiolah yang menjadikan dasar mereka untuk berkuasa terhadap alam.
Revolusi industri dengan eksporasi terhadap teknologi yang sangat pesat, seperti mesin uap ciptaan James Watt dan perkembangan industri besi dan alat tekstil, memberikan implikasi secara tidak langsung terhadap pola hidup manusia. Produksi pun sekarang berganti secara massal. Teknologi sekarang diinterpretasikan oleh manusia sebagai wujud keunggulannya terhadap alam. Hal itu menyebabkan sumber daya alam diambil seenaknya tanpa mempertimbangkan aspek apapun termasuk keseimbangan alam.
Bertolak dari paradigma harmoni Aldo Leopold, berkembang berbagai gerakan untuk mengedepankan alam. Melalui teori etika tanah, Leopold berkontribusi mengkritisi pola hidup masyarakat modern yang cenderung tidak memperdulikan aspek alam.
Leopold mengkritik pandangan awam tentang pengertian konservasi. Konservasi menurutnya selama ini diperuntukkan bagi kebaikan manusia dan dipandang hanya relevan jika melibatkan kepentingan manusia. Menurunya, konservasi hanya dilandasi oleh pertimbangan ekonomi. Lalu apakah perlindungan terhadap alam hanya diukur dari apa yang didapat oleh manusia? Jika alasannya seperti itu, perusakan terhadap alam akan tetap terjadi. Lalu bagaimana dengan tumbuhan dan hewan yang tidak memiliki nilai jual?
Dengan ilustrasi piramida tanah, Leopold menjawab pertanyaan itu dengan menjelaskan bagaimana lapisan dari komunitas biotik dapat saling mempegaruhi satu sama lain.
“Tumbuhan menyerap energi dari matahari. Daya itu mengalir lewat seperangkat sirkuit, yakni biota. Perantara itu digambarkan dengan piramida yang terdiri atas sejumlah lapisan. Bagian terbawah ditempati tanah. Lapisan selanjutnya, sebut saja serangga bersandar pada kehadiran tanaman. Selanjutnya, burung dan hewan pengerat lapisan di atasnya bergantung pada serangga. Ditambah, hewan tingkat tinggi hingga mencapai lapisan puncak didominasi karnnivora berukuran besar.”
Di sini Leopold nenekankan adanya relasi antara hewan dan tumbuhan dalam satu komunitas biotik. Perubahan yang dilakukan manusia berdampak terhadap kelangsungan komunitas tersebut. Jika konservasi masih diartikan sebagai sebuah sistem yang diperuntukkan bagi kebaikan manusia dan dipandang hanya relevan jika melibatkan kepentingan manusia, maka akan berdampak langsung terhadap kelangsungan komunitas yang sudah ada.
Sama seperti Leopold, Arne Ness seorang filsuf lingkungan yang mengangkat Gunung Hallingskarvet sebagai ayahnya, menganggap bahwa jika bersama dengan alam seseorang dapat merasakan relasi yang dalam. Ia dapat menemukan siapa dirinya jika berinteraksi dengan alam.
Dikenal sebagai bapak ekologi, Arne Ness memberikan pemahaman baru mengenai relasi manusia dengan alam. Ness kurang setuju dengan pandangan ekologi dangkal mengeai konservasi. Ekologi dangkal membatasi pengertian konservasi sejauh hanya dalam kepentingan antroposentrik. Dia menekankan kurang cukupnya pendekatan yang dilakukan ekologi dangkal terhadap alam. Bagi Ness, alam adalah kesatuan cybermatic, yakini memiliki sistem keseimbangan yang swa-kembali. Bumi tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mati atau hanya tempat menuai sumber-sumber daya bagi manusia, tetapi bumi memiliki memiliki keseimbangan yang teramat penting bagi kelangsungan setiap spesies yang bergantung dengannya.
Ness merasa pemikiran modern terjebak pada dikotomi yang kaku antara manusia dan alam. Dikotomi yang kaku ini menyebabkan pikiran manusia diskriminatif terhadap alam sebagai sesuatu yang lain, bukan sebagai suatu komunitas biotik yang saling membutuhkan, sehingga tercipta jarak antara manusia dan alam yang berakibat fatal bagi pola hidup manusia modern saat ini. Relasi antara manusia dan alam sekarang mengalami ketimpangan karena pandangan manusia menganggap bahwa alam hanya sebatas objek untuk memenuhi kebutuhan mereka, bukan lagi seperti yang diucapkan oleh Aldo Leopold, yaitu antara mahluk hidup dan alam memiliki sebuah relasi yang saling menguntungkan satu sama lain. (Bian/Jofie)