(bpmfpijar.com/Parama Bisatya) (magang)
Rabu (20/1), Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia mengadakan diskusi daring bertajuk “Diseminasi Hasil Penelitian tentang Kesehatan Mental Siswa Indonesia di Masa Pandemi” dan disiarkan langsung melalui platform Zoom. Diskusi ini dimoderatori oleh Amanda Margia Wiranata, selaku anggota dari IPK Indonesia, serta dihadiri oleh tujuh pembicara, yakni Dr. Indria Laksmi Gamayanti, Ketua Umum Pengurus Pusat IPK Indonesia; Dr. Siti Khalimah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Jiwa dan Napza; dan Annelia Sari Sani, Ghea Farassania, Fitri Fausiah, Dionisius Agnuza Jagadhita, dan Sherly Saragih Turnip; Tim Peneliti IPK Indonesia.
Pada pembukanya, Gamayanti menjelaskan, selama pandemi COVID-19 ini, IPK Indonesia telah melakukan penelitian yang bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam pelayanannya. Dari hasil yang didapat, tercatat terdapat lima masalah kesehatan mental dengan jumlah klien tertinggi. Lima masalah tersebut di antara lain: hambatan belajar, keluhan stres umum, keluhan cemas, mood swing, dan keluhan somatik. Gamayanti menyebutkan masalah hambatan belajar menduduki posisi nomor satu dengan total persentase 25,8% dari lima masalah tersebut. Di samping itu, tim Satgas IPK Indonesia juga melakukan penelitian secara lebih mendalam mengenai kasus-kasus yang timbul dari belajar dari rumah (school from home) yang menimpa para pelajar di Indonesia saat ini. “Banyak yang mengeluhkan permasalahan-permasalahan dari kemampuan belajar, sehingga ini mendorong tim Satgas IPK untuk melakukan penelitian selanjutnya, ada apa dengan permasalahan belajar yang kami temui ini,” tutur Gamayanti.
Menanggapi pernyataan Gamayanti, Siti Khalimah turut berpendapat bahwa sebelumnya telah ada beberapa penelitian mengenai kasus school from home dari berbagai lembaga. Fenomena school from home sendiri, menurutnya, juga telah memberikan berbagai masalah kesehatan mental terhadap siswa-siswi di Indonesia, seperti masalah kecemasan, kondisi kebosanan, adiksi internet, bahkan sampai ke titik kondisi ekstrem seperti kekerasan verbal atau fisik . Melalui penjelasan Siti Khalimah, masalah-masalah tersebut tersebut dapat terjadi akibat kondisi yang tidak biasa untuk dirasakan, baik dari pihak anak maupun pihak orang tua, secara terus menerus berada di satu ruangan selama 24 jam. Siti Khalimah menambahkan, mampunya kondisi-kondisi ekstrem seperti tindakan kekerasan terhadap anak untuk terjadi dikarenakan terdapat tekanan yang dihadapi oleh pihak orang tua (masalah pekerjaan dan ekonomi) sebagai pemicu.
Siti melanjutkan, jika dilihat dari sisi positifnya, masa pandemi mampu menjadi waktu yang berharga untuk menjalankan aktivitas dengan bimbingan langsung dari orang tua serta dapat menjadi waktu yang tepat untuk berkomunikasi antar satu sama lain (orang tua dan anak) seperti saling bercerita dan beribadah bersama-sama. “Nah, ini adalah dua sisi dan pilihan yang bisa kita sarankan kepada orang tua. Tentu bukan hanya sisi pesimistis saja yang bisa di dapat dari kondisi school from home atau work from home ini tetapi juga ada hal-hal optimis yang bisa kita dapatkan,” tambah Siti.
Sherly Saragih, selaku anggota dari Tim Peneliti IPK Indonesia, menekankan bahwa terdapat dua tujuan dari adanya penelitian ini, antara lain: meneliti iklim belajar-mengajar yang berubah akibat pandemi, serta memberikan gambaran dan mengungkap faktor resiko-protektif pada kondisi kesehatan mental siswa. “Pada kali ini, Tim Satgas IPK Indonesia melakukan penelitian yang titik fokusnya ada di aspek kesehatan mental dari siswa. Aspek kesehatan mental yang diteliti tersebut meliputi kesulitan emosional dan tingkah laku, gejala trauma, dan kesejahteraan psikologis terhadap siswa,” ujar Sherly.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan berupa kuesioner online yang diisi melalui platform Google Form pada bulan November 2020. Kuesioner ini diisi oleh 384 sekolah dari setiap 12 provinsi (berdasarkan data Puslitjak Kemendikbud) dan setiap sekolah mengajak 50 siswa untuk berpartisipasi sehingga total partisipan dalam survei ini berjumlah 15.304 siswa. “Bisa dilihat dan telah dijelaskan sebelumnya, jumlah partisipan yang mengisi kuesioner ini sebenarnya kurang lebih 20.000 partisipan. Namun, karena adanya berbagai kekurangan pada data yang kami dapatkan, jadi kami harus menghilangkan 5.000 data sehingga data yang hanya bisa diolah sekitar 15.000 data,” kata Ghea.
Berdasarkan dari hasil yang didapat, siswa-siswi yang berada di jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) memiliki persentase lebih besar sejumlah 26.7% dibandingkan dengan siswa-siswi di jenjang Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang masing-masing memiliki persentase 15.7% dan 25.8%. Artinya, siswa-siswi yang berada di jenjang SLTA cenderung lebih banyak yang mengalami permasalahan mental dibanding dengan siswa-siswi yang berada di jenjang SD ataupun SMP. “Semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin banyak siswa yang ditemukan mengalami dan memiliki masalah kesehatan mental. Hal ini tampaknya sejalan dengan teori tentang faktor usia dan kaitannya dengang jenjang pendidikan, dimana siswa yang memiliki usia lebih tinggi dan jenjang pendidikan lebih tinggi memang memiliki risiko masalah kesehatan mental yang lebih tinggi dan meningkat,” lanjut Ghea.
Senada dengan Ghea, Dion turut memaparkan bahwa terdapat beberapa faktor resiko, baik faktor sosial maupun faktor psikologis, dimana secara signifikan mampu untuk mempengaruhi munculnya masalah kesehatan mental. Dilihat dari segi faktor sosialnya, semakin sedikit jumlah hari belajar siswa dalam seminggu, semakin berisiko pula untuk siswa mengalami kemunculan masalah kesehatan mental.
“Siswa yang tidak didampingi belajar serta yang hanya didampingi oleh ayah lebih berisiko sebesar 1,5 kali lipat dibandingkan dengan siswa yang hanya didampingi oleh ibu dan berisiko sebesar 2,2 kali lipat dibandingkan dengan siswa yang didampingi oleh seluruh anggota keluarganya,” jelasnya. Di samping itu, tambah Dion, dari segi psikologis sendiri didapatkan hasil yang menyatakan semakin tinggi tingkat kegelisahan seorang siswa, semakin berisiko juga untuk mengalami kemunculan masalah kesehatan mental.
Sepakat dengan Dion, Siti juga turut memberikan pandangannya mengenai faktor yang dapat mempengaruhi munculnya kesehatan mental pada siswa. “Ini adalah kondisi-kondisi yang harus kita waspadai, serta memerlukan penanganan dari kita semua bagaimana hal tersebut dapat terjadi. Ini adalah sisi pesimistis yang bisa terjadi di tengah masa pandemi ini. Akan tetapi, kalau kita dapat mengubah cara pikir kita yang lebih positif, kebersamaan orang tua dan anak ini bisa menjadi kesempatan untuk quality time dalam keluarga,” tandas Siti.
Sebagai penutup, Fitri menjabarkan kesimpulan hasil penelitian serta rekomendasi dari pihak IPK Indonesia mengenai kasus ini. Dalam kesimpulannya, Fitri menjelaskan bahwa faktor sosial dengan pengaruh terbesar adalah pendampingan belajar. Orang tua (terutama yang WFH), menurutnya, perlu memiliki strategi untuk menyediakan waktu bagi pendampingan belajar anaknya. Di sisi lain, faktor lain yang merupakan bagian dari resiko adalah kondisi ekonomi yang rendah, digambarkan melalui akses internet yang tidak stabil dan kepemilikan Kartu Indonesia Pintar (KIP). “Proporsi ini relatif serupa pada siswa dengan berbagai cara belajar dari semua jenjang dan provinsi yang berpartisipasi,” tegasnya.
Tak hanya kesimpulan, Annelia, selaku ketua Tim Peneliti IPK Indonesia, turut memberikan pernyataan mengenai rekomendasi dari pihak IPK Indonesia akan kasus school from home ini. Rekomendasi yang diberikan yakni pemerintah harus memberikan perhatian dan melakukan upaya untuk meningkatkan kesehatan mental warga belajar, yaitu siswa, guru, dan pendamping belajar anak (orang tua atau wali) di masa pandemi COVID-19 ini melalui peningkatan kapasitas dan keterampilan guru, dukungan psikososial bagi guru dan siswa, serta bantuan bagi orangtua atau pendamping belajar dengan pemberian modul. Lanjutnya lagi, dengan adanya peningkatan kapasitas dan keterampilan serta dukungan psikososial yang diberikan akan guru akan berdampak positif bagi seluruh warga belajar.
“Guru merupakan fitur sentral dalam menjaga kondisi kegiatan belajar dan terdapat dinamika yang erat antara semua warga belajar (siswa, guru, orang tua) sehingga dapat saling mempengaruhi,” tutup Annelia.
(Gracia Christabella/Ayom Mratita) (magang)