Apa yang terjadi ketika budaya, anak muda, dan aksi massa disatukan? Peristiwa Bali Tolak Reklamasi bisa jadi sebuah jawaban. Bali Tolak Reklamasi memang sudah melaksanakan berbagai aksi di daerah Bali. Saya akan mengambil satu contoh aksi yang dilakukan pada tanggal 22 Desember 2016. Aksi ini mempunyai banyak hal yang bisa kita refleksikan bersama-sama. Dilansir dari tribun-bali.com, ribuan massa ForBali dan Pasubayan Desa Adat/Desa Pakraman Tolak Reklamasi Teluk Benoa mengepung kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali dan Kantor Gubernur Bali. Massa ForBali yang berasal dari seluruh pelosok Bali ini menyuarakan terkait dengan penolakan reklamasi Teluk Benoa Bali.
Mereka berorasi dan menyuarakan terkait dengan empat tahun perjuangan mereka dan menuntut agar sesegera mungkin Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 dicabut dan reklamasi Teluk Benoa dibatalkan. Berbeda dengan aksi bela Islam atau demonstrasi biasa yang pernah kita jumpai sebelumnya, Bali Tolak Reklamasi mempunyai sisi unik yang memadukan anak muda, budaya, dan kegeraman atas rusaknya alam di kampung halaman mereka.
Bagi saya aksi massa adalah sebuah seni dalam manajemen demonstrasi. Salah sedikit saja mengelolanya, maka estetikanya akan menjadi hambar. Hal itu diketahui betul oleh para pelaksana massa aksi. Seluruh massa aksi diwajibkan untuk memakai pakaian adat Bali, dan membawa Kulkul (sejenis pentungan) yang dibunyikan bersama-sama guna mengusir aura negatif di gedung DPRD Bali dan Kantor Gubernur Bali. Banyak seniman yang turut hadir dalam memeriahkan aksi massa. Para seniman itu ialah Superman is Dead, Joni Agung & Double T, Nosstress, The Dissland, The Hydrant, The Bullhead, The Djihard, Inguh dkk (Bondres), Barong Sanur Go Green, dan Rarekualikers (Baleganjur). Bisa ditebak massa yang mengikuti aksi Bali Tolak Reklamasi ini adalah para kawula muda dari seluruh Bali. Mereka berkumpul dan turut serta menyuarakan kegelisahan dengan idola mereka masing-masing mengenai rusaknya kampung halaman mereka.
***
Apa yang menjadi keresahan para kawula muda Bali ini berdasarkan latar historis yang panjang dan pelik. Latar belakang eksploitasi sudah tercium sejak zaman Kolonial dan berlangsung sampai sekarang. Apa yang membuat Bali begitu seksi? Sejak era kolonial, Bali merupakan arena pertarungan kekuatan internal dan eksternal dengan segala kepentingannya. Setelah peristiwa Puputan Badung yang merusak citra pemerintah kolonial, penjajahan atas Bali dilakukan dengan pendekatan yang berbeda. Salah satunya melalui proyek ‘Balinisasi’ untuk membuat orang Bali mencintai dirinya sendiri, sehingga diharapkan bisa mengadang ide-ide asing seperti nasionalisme, kristenisasi, dan islamisasi.
Bali juga dilabeli sebagai ‘pulau surga’ untuk mengundang para peneliti dan pelancong dalam mengapresiasi budaya lokal. Pemasaran yang masif ini telah sampai pada titik saat budaya lokal tersebut sulit dipisahkan dari budaya pariwisata. Tampaknya, pemerintah pasca-kolonial di Indonesia juga melanjutkan politik yang dikembangkan Kolonial Belanda. Misalnya, posisi Bali sebagai pemberi citra budaya nusantara juga digunakan oleh Soekarno dalam membangun soft power dalam hubungan internasional. Kita juga bisa melihat bagaimana para turis luar negeri lebih tahu tentang Bali ketimbang Indonesia, hal itu bisa jadi bukti bahwa promosi segala sesuatu tentang Bali merupakan hal pokok dari Dinas Pariwisata negeri ini.
Di awal Indonesia modern, modal simbolik Bali memainkan perannya secara politis, tetapi sejak Orde Baru modal simbolik ini berangsur-angsur dikemas pula sebagai modal ekonomi secara dominan. Bali menjadi pusat sirkulasi modal ekonomi melalui pembangunan industri pariwisata. Mengikuti struktur pemerintahan yang sentralistik, sirkulasi modal ini pun berpusat dalam lingkaran Soeharto dan kroninya (penguasa Jakarta) sehingga di era ini, Bali disebut sebagai ‘Koloni Jakarta.’
Pada jaman Soeharto, hampir semua pemilik hotel atau penguasa tanah di kawasan wisata strategis adalah para kroninya. Perlawanan terhadap para kroni tersebut tidak pernah bisa dimenangkan oleh masyarakat. Pada tahun 1993, terjadi perlawanan terhadap pendirian Bali Nirwana Resort milik kelompok usaha Bakrie. Ini adalah perlawanan terbesar sebelum masa reformasi. Namun, toh akhirnya Bakrie berhasil membikin lapangan golf dan hotel hanya beberapa ratus meter dari Pura Luhur Tanah Lot yang disucikan itu. Terakhir, kebangkrutan kelompok usaha Bakrie membuat hotel dan padang golf ini jatuh ke tangan MNC Group, kelompok usaha yang dimiliki oleh Harry Tanoesoedibjo, konglomerat pasca-reformasi yang adalah juga ketua partai Perindo. MNC Group pun akhirnya menggandeng Trump Collection milik jutawan Donald J. Trump yang sekarang menjadi kandidat presiden Amerika Serikat itu. Tempat itu sekarang diubah menjadi hotel super mewah berbintang enam.
Penolakan yang sama juga dilakukan terhadap proyek-proyek lain, seperti Bali Pecatu Graha, Garuda Wisnu Kencana, Bali International Park, dan proyek reklamasi Pulau Serangan. Proyek yang terakhir membawa bencana ekologis yang akibatnya masih terus berlangsung hingga saat ini. Pantai-pantai selatan Bali ke arah Timur (Sanur, Gianyar, Klungkung) semuanya mengalami abrasi akibat proyek ini. Ekosistem laut pun menjadi rusak. Belum terhitung biaya sosial ekonomi dari proyek ini.
Setelah kejatuhan Soeharto—yang menandai era reformasi—peta perputaran modal di Bali menjadi jauh lebih kompleks akibat kembalinya model pemerintahan ‘raja-raja kecil’ dan para pengejar rente. Mereka sangat antusias dalam mendorong dan meluaskan investasi pariwisata melampaui rencana yang ditetapkan Sceto di awal 1970-an.
Bali kini sudah menjadi surga bagi para pelancong berkantung tebal. Pemandangan alam yang eksotis dengan perpaduan budaya kerakyatannya kini berubah jadi komoditas. Lihat saja daerah Legian, Kuta, Ubud, Nusa Dua, yang kini disulap jadi parade komoditas brand-brand terkenal. Di sepanjang jalan kita bisa melihat
deretan restoran, resort dan hotel mewah. Tak ketinggalan ada mall megah dan butik yang hanya bisa dijangkau oleh kelas menengah atas.
Atas dasar historis tadi bisa kita lihat banyak sekali keresahan yang dirasakan kawula Bali atas nama pembangunan. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yang bisa dilakukan kawula Bali dalam mengatasi pembangunan di Bali? Jawabannya adalah dengan membentuk kebudayaan yang melawan dengan medium kesenian.
***
Serangkaian kekalahan masyarakat Bali atas nama pembangunan oleh para investor membuat mereka lebih militan dan kreatif dalam melakukan aksi massa. Dalam hal ini kesenian musik dapat membangun kesadaran dengan cara yang elegan. Dengan melancarkan lirik-lirik yang tajam dan menyentil maka kesadaran atas penindasan akan mulai tumbuh bak cendawan di musim hujan. Kesadaran ini penting ditumbuhkan mengingat term ‘pembangunan’ sering kali salah arah, karena pada hakikatnya pembangunan memang sering kali menghendaki sebuah dilema. Alih-alih menyejahterakan rakyat sekitar, nyatanya ia malah merusak lingkungan yang dampaknya tentu buruk bagi generasi di masa mendatang.
Pemuda dan budaya jadi taktik jitu bagi suksesnya gerakkan sosial Bali Tolak Reklamasi. Para seniman Bali menggunakan medium musik untuk menggalang kesadaran, karena mereka paham betul bahwa musik adalah salah satu cara medium perlawanan yang paling elegan. Dengan adanya para seniman dan pemusik budaya perlawanan di kalangan pemuda itu muncul dengan cara yang menyenangkan.
Musik yang lekat dengan muatan ideologi dan kritik sosial seringkali kurang populer dibandingkan karya-karya musik yang memfasilitasi imajinasi kesenangan (pleasure), ekstasi masokisme dan romantika hubungan personal. Namun, para seniman Bali toh mampu mengolah hal tersebut jadi populer di kalangan muda-mudi masyarakat Bali. Coba saja search di Youtube dengan kata kunci “mars Bali Tolak Reklamasi”, sampai sekarang mars tersebut masih terngiang di kepala saya.
Di satu sisi, musik menjadi arena penting sebagai arena kontestasi kesadaran publik. Meski berbeda arah, baik negara maupun kekuatan industri kapitalisme sama-sama berkepentingan memanfaatkan hal ini. Sisi lain, musik juga dapat menjadi medium penting dalam mengembangkan kritik sosial dan kebudayaan.
Mengingat pentingnya musik dalam kehidupan publik, Theodor Adorno dan Max Horkheimer (1993:12), dalam Dialectic of Enlightenment, cukup lama melacak kecenderungan metamorfosis budaya dan dunia hiburan seiring dengan perkembangan kapitalisme dan budaya massa. Keduanya sempat menghawatirkan konsekuensi dari hanyutnya musik dalam industri budaya massa yang berbasis hiburan. Mereka menengarai bahwa arus fusi budaya dan hiburan yang berlangsung tidak hanya berdampak pada arus pencerabutan akar nilai-nilai budaya, tetapi berdampak pada menurunnya aspek intelektualisasi ketika masuk dalam dunia hiburan (Adorno dan Horkheimer, 1993: 18).
Berbeda dengan keduanya, John Fiske (1989) justru mengidentifikasi adanya dua mainstream budaya baru yang diciptakan oleh budaya populer itu sendiri, yaitu budaya perlawanan di mana di dalamnya menekankan makna alternatif membebaskan dari konstruksi ideologi tertentu dan budaya penghindaran (evasion) yaitu kemampuan untuk menghindar dari kungkungan nilai-nilai dominan yang dikendalikan oleh elit, rezim penguasa ataupun rezim kapitalisme industri itu sendiri.
Di tengah kenyataan masyarakat kapitalisme modern, industri budaya telah mengambil alih warisan peradaban. Dampaknya mayoritas kalangan muda kian terpisahkan dari diskursus kesadaran ideologis mereka dalam struktur sosial karena hanyut dalam hedonisme yang diciptakan oleh kapitalisme konsumsi, termasuk melalui industri musik. Karena itu, melalui budaya perlawanan maupun pengindaran (evasion), industri musik kian strategis digunakan menggugah kesadaran baru bagi anak muda.
Revolusi melalui jalan apapun, termasuk kebudayaan cenderung menakutkan bagi rezim penguasa. Di Indonesia, sejumlah nama seperti Koes Plus dan juga penyanyi Iwan Fals identik dengan agenda kritik politik dan kebudayaan. Berbeda dengan mereka, Iwan Fals yang tumbuh dan berkembang di tengah kungkungan rezim Orde Baru. Mereka telah menjadi momok bagi Orde Baru.
Di berbagai belahan dunia, sejarah musik juga menunjukkan bagaimana musik tumbuh dan berkembang dalam arena kontestasi politik dan propaganda ideologi. Adakalanya tangan-tangan kuasa negara bahkan ikut bergerilya mempengaruhi kesadaran ideologi para kreatornya, atau bahkan mengintervensi langsung kepada para pelaku budaya. Sebaliknya, cukup banyak juga kalangan musisi yang berusaha menghindari tema-tema kritik politik, sosial dan budaya dan semata-mata masuk dalam mainstream dunia hiburan. Di sini para musisi cenderung menjauhi titik-titik api revolusi karena tidak mau mengambil risiko terhadap kritik dan benturan dengan kekuasaan.
Paling tidak, di negeri ini masih ada musisi-musisi yang punya kepedulian atas kesadaran politiknya sendiri tanpa harus berpikir bahwa musiknya akan laku dan diterima pasar. Mungkin para musisi itu telah berteriak keras untuk merenda sisa-sisa suara yang tak tersalurkan lewat institusi demokrasi yang ada. Mungkin suara itu tak terdengar. Karena mereka hanya sebagai penanda saja, bahwa setelah gegap gempita acara, orang sudah mulai lupa akan perkara politik yang sayup-sayup mengendap di balik tumpukan abu sejarah.
Benar bahwa gairah perlawanan memang tidak secara eksplisit meledak ke permukaan struktur sosial. Akan tetapi, nilai-nilai perubahan dan kritik sosial sesungguhnya telah mampu tersampaikan secara tajam dalam kesadaran penontonnya. Di tengah kritik atas rendahnya daya perubahan sosial masyarakat di Indonesia, model perlawanan yang dilakukan oleh para seniman Bali ini saya yakin secara pelan-pelan mampu mendorong kesadaran kolektif baru atas posisi dan peran masyarakat dalam sistem demokrasi di Indonesia di masa mendatang.