(bpmfpijar.com/ ilustrasi: parama)
Terang bahwa semakin masifnya kerusakan lingkungan, timbul dari berbagai pembangunan industri yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan serta pemerintah sebagai pemberi izin. Kerusakan lingkungan tentu tidak menjadi satu-satunya harga besar yang dibayar atas nama pembangunan.
Kerentanan perempuan ketika terjadi kerusakan lingkungan adalah harga besar lainnya. Kesamaan kekerasan yang dialami perempuan dan lingkungan ini lah yang membentuk ikatan kuat keduanya. Perempuan sebagai lapis terakhir pelindung alam melakukan protes melalui cara-cara nirkekerasan yang diorganisir langsung oleh para perempuan.
Untuk lebih dalam membahas mengenai cara-cara perlawanan nirkekerasan yang dilakukan perempuan, Damai Pangkal Damai (DPD) bersama dengan Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) menyelenggarakan temu dengan kartini-kartini pejuang lingkungan dengan tajuk “Barang Siapa Meninggalkan Kekerasan” pada Kamis (29/04).
Dalam temu tersebut dihadirkanlah para pejuang kartini yang melakukan perlawanan terhadap berbagai pelanggaran lingkungan yang dilakukan perusahaan. Adalah Aleta Baun, pemimpin Pokja Oat; Sukinah, perwakilan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK); dan Arie Rostika Utami, perwakilan Jeda untuk Iklim yang datang dan berbagi kisah perlawanannya.
Yu’ Nah, panggilan akrab Sukinah, berkisah mengenai aksi yang dilakukannya bersama perempuan-perempuan Kendeng didasarkan pada kekhawatiran kekeringan akan terjadi apabila pabrik semen sungguh dibangun di wilayah pegunungan Kendeng. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa wilayah tersebut merupakan daerah karst yang apabila dikeruk habis oleh pabrik semen akan berdampak kepada ketidakadaan ketersediaan air bersih.
“Hasil dari studi banding yang kami lakukan ke Tuban, yang merupakan wilayah pabrik semen juga, menunjukkan bahwa pabrik semen berdampak buruk terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar,” ucap Yu’ Nah.
Yu’ Nah menjelaskan bahwa stuasi tersebut yang memicu masyarakat di sana untuk melayangkan protes terhadap pemerintahan Jawa Tengah yang mengeluarkan izin penambangan. Menurut Yu’ Nah, kasus tersebut sempat beberapa kali diajukan banding ke pengadilan dan sempat memenangkan perkara pada tahun 2016 di Mahkamah Agung.
“Kami sempat melakukan longmars selama lima hari-lima malam dari Rembang menuju Semarang untuk mendatangi Pak Gubernur, Ganjar Pranowo, karena saking senangnya telah memenangkan perkara. Lalu, Pak gubernur mencabut izin penambangan, tetapi seminggu setelahnya ia mengeluarkan izin baru yang memperbolehkan pabrik semen beroperasi di pegunungan Kendeng,” terang Yu’ Nah.
Yu’ Nah menyampaikan bahwa ia dan para petani Kendeng lainnya memilih jalan damai untuk melakukan aksi protes lanjutan, yaitu dengan menyemen kaki di depan Istana Negara. Yu’ Nah menekankan bahwa aksi tersebut dilakukan untuk menuntut Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut izin lingkungan yang telah dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Kemudian, Yu’ Nah lebih lanjut menjelaskan, bahwa aksi-aksi yang dilakukannya bersama para petani Kendeng lainnya kerap mendapat ancaman dan hadangan dari para preman yang dibayar oleh perusahaan maupun pemerintah untuk menggagalkan aksi mereka. Bahkan, mereka pernah mendapatkan ancaman pembunuhan dari ratusan preman yang menghadang mereka.
Kekerasan tak hanya dialami oleh Yu’ Nah dan para kartini Kendeng, tetapi juga Aleta Baun. Ia menerangkan bahwa selama 13 tahun, ia mengorganisir masyarakat Molo untuk melakukan perlawanan secara nirkekerasan terhadap penambangan marmer di wilayahnya.
“Bagi kami, bumi dilambangkan sebagai tubuh manusia ‘tanah adalah daging, air adalah darah, batu adalah tulang, rambut adalah hutan’. Sehingga, kami berkewajiban untuk menjaganya,” terang Aleta.
Aleta mengisahkan bahwa dirinya menjadi “musuh” perusahaan maupun pemerintah daerah. Aleta menyampaikan syukurnya bahwa ia masih hidup, sebab perusahaan memburu dan menyayembarakan nyawanya.
“Walaupun saya hampir dibunuh, saya tetap mengorganisir warga dengan cara damai. Kami menduduki tempat-tempat penambangan sambil menenun sebagai bentuk aksi protes. Dan akhirnya berkat kegigihan perjuangan kami, kami berhasil menghentikan perusakan tanah hutan sakral di Gunung Mutis, Molo. Perusahaan-perusahaan tambang itupun hengkang”, terang Aleta.
Kartini pejuang lingkungan lainnya adalah Arie, ia menjelaskan bahwa Jeda untuk Iklim mengorganisir massa dan melakukan aksi turun ke jalan pada setiap Jumat. Dalam aksi tersebut, disuarakanlah mengenai krisis iklim yang dampaknya sudah terasa secara nyata.
“Kami mengajak setiap orang untuk peka terhadap perubahan iklim. Kawan-kawan Jeda untuk Iklim pun berasal dari berbagai macam latar belakang, ada ibu-ibu yang peduli terhadap masa depan bumi, anak-anak sekolah yang peka terhadap perubahan iklim, sampai mahasiswa yang tertarik dengan isu-isu iklim,” ujar Arie.
Arie menjelaskan bahwa kerusakan iklim menjadi tanggungjawab bersama karena semuanya akan ikut merasakan dampaknya. Ia berharap agar setiap orang yang ikut melawan dengan jalur damai dalam Jeda untuk Iklim dapat menginspirasi orang-orang di sekitarnya untuk lebih peduli dengan bumi kita.
Para pembicara menyampaikan pernyataan senada dalam melakukan aksi yang mereka lancarkan, yaitu dengan menggunakan cara-cara nirkekerasan untuk melawan kekerasan dilakukan pemerintah dan perusahaan. Ketiganya menganggap lawan mereka bukanlah untuk dikalahkan, melainkan diberi pemahaman yang lebih tepat mengenai persoalan lingkungan.
“Perlawanan itu bukan membuktikan siapa yang paling kuat, tetapi soal memberi pemahaman kepada setiap orang tentang pentingnya menjaga lingkungan kita,” pungkas Aleta.
(Roni/Ayom)