Jim Supangkat, kurator seni rupa senior di Indonesia, telah merilis bukunya yang berjudul Seni Rupa Dunia: Setelah Satu Abad Gagal Paham dalam sebuah seminar seni rupa pada Rabu (10/5). Berlangsung di auditorium lantai 5 Gedung Pascasarjana UGM, diskusi tersebut mengambil tajuk “Satu Abad Gagal Paham”. Dalam acara tersebut, Jim menguraikan isi dari bukunya yang merupakan keresahan dia atas hegemoni seni rupa barat dalam setiap jengkal perkembangan seni rupa yang ada di dunia.
Ketika sesi khotbah, Jim menyebut bahwa terdapat masalah pada konsep seni rupa dunia akibat kolonialisme yang merajalela sebelum kemerdekaan bangsa-bangsa yang terjadi di awal abad ke-20. Ia mengatakan jika dulu dunia hanya terdiri dari beberapa imperium besar eropa seperti Perancis, Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda. Negara-negara tersebut memiliki andil dalam menyebarkan berbagai pemikiran seperti demokrasi, kebebasan, hak, keadilan sosial, dan bahkan kesenian ke seluruh wilayah koloninya. Untuk itu, dengan adanya substansi perkembangan seni rupa dunia yang kita kenal sekarang, hanya akan terpaku pada perkembangan seni rupa Barat saja.
Jim tidak memisahkan seni rupa Barat dan non-Barat secara radikal. Ia hanya meragukan hegemoni seni rupa Barat terhadap perkembangan seni rupa dunia. Baginya, seni rupa dunia dalam bingkai Barat seolah tidak ada keragaman, sebab hegemoni seni rupa barat yang begitu besar. “Saya bukan orang yang anti-Barat, tetapi dalam hal ini kita perlu meilhat dengan kacamata pluralisme,” tutur Jim.
Jim menjelaskan bahwa pluralisme yang ia maksud adalah menghendaki adanya satu substansi yang di dalamnya terdapat lapisan yang menunjukkan keragaman. Jim juga menyebut bahwa keragaman itu tidak sama sekali mencetus pengotakan secara eksklusif atas semua perbedaan. Namun, lanjut Jim, keragaman ini melebur dalam sebuah substansi besar. “Jadi, ilmu yang berasal dari Barat adalah substansinya dan di dalamnya terdapat lapisan-lapisan perbedaan,” jelas Jim.
Dalam khotbahnya ini juga, Jim membeberkan respons kritis atas posisi terdominasinya seni rupa dunia. Salah satunya adalah World Art Studies yang merupakan diskursus kritis atas hegemoni seni rupa barat, khususnya seni rupa di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pada pernyataannya, Jim menilai kelompok pemikir World Art Studies dengan ekstrim mendorong penghapusan istilah Western art dan non-Western art. “Saat itu sudah berhasil dihapus maka kita bisa lihat apa yang sebenarnya dimaksud dengan seni rupa dunia,” ungkap Jim.
Selain itu, pada diskursus World Art Studies juga menyatakan dengan tegas bahwa apa yang ada dalam sejarah seni rupa itu hanyalah sebuah sejarah perkembangan seni rupa Barat saja. “Mereka (World Art Studies) menegaskan kalau sejarah ilmu itu bisa diubah untuk tidak terfokus kepada perkembangan ilmu di Barat saja,” tutur Jim.
Poin terakhir yang disampaikan oleh Jim ialah seni rupa kontemporer. Menurut Jim, seni rupa kontemporer memiliki tanda untuk membela perkembangan seni rupa di luar dunia Barat. Seni kontemporer yang seringkali dianggap terlalu anarkis ini muncul di sekitar tahun 1970-an bersama dengan gelombang pemberontakan di berbagai lini kehidupan sosial masyarakat Barat. Unjuk rasa mahasiswa di Jerman dan Perancis, munculnya kelompok Hippies, dan anak-anak muda yang mulai meninggalkan institusi keluarga menjadi contohnya. Jim mengungkapkan, “Dalam melakukan pemberontakan mereka mengadopsi pemikiran filsuf aliran Marxisme, yaitu Gramsci dengan teori kontra-hegemoni.”
Jim menyampaikan bahwa seni rupa kontemporer adalah bagian dari gelombang pemberontakan masyarakat barat atas berbagai hegemoni dan bentuk kuasa. Pada masa awal munculnya seni kontemporer, para seniman mencoba keluar dari pakem yang sudah ditetapkan institusi seni rupa barat. Jim juga menyebut pada awal tahun 70-an, mulailah muncul seni konseptual dan isme-isme baru dalam seni rupa. “Seni rupa kontemporer adalah pemberontakan masyarakat Barat atas semua kekuasaan,” pungkas Jim.
Penulis: Gayuh Hana Waskito dan Haycal Rantelino
Penyunting: Cahya Saputra
Fotografer: Wahyu Atika