Hari Perempuan Internasional, Bersama Perempuan Lawan Perampasan Tanah

0
600

(bpmfpijar.com/ Michelle Gabriela)

International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional kembali diperingati pada tanggal 8 Maret lalu. Momentum ini pertama kali dicetuskan oleh Clara Zetkin, pemimpin dari Perempuan untuk Partai Sosial Demokrat Jerman, yang kemudian pada tahun 1975 diakui secara resmi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disusul oleh keputusan Majelis Umum PBB untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret setiap tahunnya. Oleh karena itu, momentum ini secara luas diperingati oleh negara-negara di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

Pada tahun ini, tagar #Breakthebias mencuat di media massa untuk merayakan IWD. Tagar tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan dunia yang bebas dari bias dan stereotip gender, serta diskriminasi. Di Yogyakarta, Komite IWD Yogya, selaku penyelenggara, merayakan IWD dengan aksi turun ke jalan pada Selasa, (8/3). Aksi tersebut berlangsung di Tugu Yogyakarta dan dimulai pada pukul 14.00 WIB. Peserta aksi yang terdiri dari berbagai organisasi-organisasi perempuan, buruh, mahasiswa, dan masyarakat umum berkumpul mengitari Tugu Yogyakarta dengan mengangkat poster ataupun spanduk bertuliskan tuntutan. 

(bpmfpijar.com/ Michelle Gabriela)

Dilansir dari rilis pers Komite IWD Yogya, pada tahun ini tema yang diusung adalah “Bersama Perempuan Melawan Diskriminasi, Kapitalisme, dan Kekerasan Seksual”. Adapun tema tersebut dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi serta belum hadirnya payung hukum yang mampu mengakomodasi segala kebutuhan korban. Kondisi tersebut diperparah dengan regulasi seperti UU Cipta Kerja dan berbagai kebijakan lain yang mencekik perempuan dan kelompok rentan lainnya. 

Berangkat dari keresahan tersebut, Komite IWD Yogya melayangkan 42 tuntutan yang salah satunya menyatakan penghentian perampasan tanah di Desa Wadas. Laili, perwakilan Komite IWD Yogya, menjelaskan mengenai perampasan tanah dan ruang hidup yang terjadi di Desa Wadas berdampak kepada perempuan baik dari segi ekonomi, fisik, dan psikologi. “Perampasan tanah di Desa Wadas akan berdampak pada pergeseran posisi perempuan dari tempat produksi mereka,” jelas Laili. 

Bangun Solidaritas, Lawan Perampasan Tanah!

(bpmfpijar.com/ Michelle Gabriela)

Berdasarkan pemantauan BPMF Pijar, sekitar pukul 15.38 WIB Wadon Wadas (perempuan Wadas) bergabung bersama peserta aksi IWD di Tugu Yogyakarta. Sebelumnya, Wadon Wadas telah terlebih dahulu melakukan aksi bersama Aliansi Solidaritas Untuk Wadas di depan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Aksi tersebut dilaksanakan untuk menyuarakan satu bulan pendudukan dan tindakan represif aparat di Desa Wadas serta turut memperingati momentum IWD. Aksi ini juga merupakan resonansi atas penolakan terhadap  penambangan di Desa Wadas.

Kedatangan Wadon Wadas di Tugu Yogyakarta disambut hangat oleh peserta aksi lainnya. Pada pukul 15.45 WIB, salah seorang perwakilan dari Wadon Wadas mengambil toa dan menyampaikan orasi politiknya. Dalam orasi tersebut, ia menekankan bahwa Wadon Wadas akan terus menolak penambangan batuan andesit di desa mereka sampai kapanpun. Ia juga menuntut pemerintah untuk segera mencabut Izin Penambangan Lokasi di Desa Wadas. “Jika desa kami ditambang, kami mau tinggal di mana? Kami mau makan apa?” ujarnya. 

Dalam orasi tersebut, perwakilan Wadon Wadas juga menyampaikan keresahanya perihal abainya pemerintah terhadap kelompok kecil dan rentan. “Pemerintah hanya memikirkan mereka yang memiliki uang, siapa yang mau bertanggung jawab ketika rakyat kecil seperti kami sengsara?” lanjutnya. 

Terkait abainya pemerintah dan perampasan tanah juga disampaikan oleh Laili. Ia menyatakan bahwa perampasan tanah di Desa Wadas tidak terjadi hanya karena kerakusan pemerintah daerah. “Perampasan tanah merupakan kejahatan terstruktur dan sistemik yang dilakukan oleh negara,” terangnya. 

Lebih lanjut, Laili juga menegaskan bahwa seiring dengan tema yang diangkat oleh Komite IWD, menurutnya, perampasan tanah adalah buah dari sistem kapitalisme yang dianut sekarang. Oleh karena itu, momentum IWD menjadi penting bagi perempuan turut melawan sistem yang menyengsarakan tersebut. 

(bpmfpijar.com/ Michelle Gabriela)

Laili juga menegaskan pentingnya gerakan perempuan untuk bersolidaritas terhadap gerakan rakyat lainnya, seperti gerakan buruh dan lingkungan. Pasalnya, menurut Laili, masalah yang menimpa perempuan seperti diskriminasi dan kekerasan seksual juga menimpa kelompok gender rentan. “Sudah semestinya perempuan dan seluruh rakyat tertindas saling bersolidaritas dan bersatu melawan penindasan mereka,” tegas Laili. 

Hal serupa juga disampaikan oleh Arika Octavia, Sekretaris Jenderal Srikandi UGM. Menurutnya, penindasan yang terjadi di berbagai sektor akan selalu melibatkan perempuan sebagai kelompok yang terdampak, sebagaimana kasus yang terjadi di Desa Wadas. Oleh karena itu, penting untuk saling bersolidaritas. 

Aksi peringatan  IWD hari itu diakhiri dengan pembacaan sikap oleh perwakilan dari Komite IWD Yogya. Dalam pernyataan sikap tersebut, mereka menuntut pemenuhan atas 42 tuntutan dan pengesahan RUU P-KS segera tanpa dipreteli. 

Menurut Laili, penindasan yang dialami perempuan memiliki akar yang sama dengan penindasan-penindasan lain yang diaktori oleh negara, yaitu sistem kapitalisme. “Untuk melawannya, kita harus bersatu, terstruktur, dan terorganisir,” pungkas Laili. 

Reporter : Michelle Gabriela Momole, Gayuh Hana Waksito

Penulis : Michelle Gabriela Momole

Penyunting : Ayom Mratita Purbandani

LEAVE A REPLY