Berbagai regulasi dan kebijakan dibuat demi melanggengkan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan memberi kelonggaran kepada investor. Akibatnya, hak asasi manusia dan lingkungan diabaikan. Menanggapi hal tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menggelar diskusi bertajuk “Proyek Strategis Nasional, Dari Food Estate Hingga Kereta Cepat : Sejauh Mana PSN Berdampak pada Pemenuhan Hak Rakyat?”. Diskusi ini dilaksanakan secara daring melalui kanal Youtube KontraS pada Jumat, (18/11).
Dalam diskusi tersebut, Dwi Sawung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mengungkapkan bahwa pemerintah minim kajian terkait dampak lingkungan dari kebijakan PSN. Ia menuturkan bahwa proses penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sangat cepat untuk proyek PSN. “PSN ini semacam diberi karpet merah sehingga segala prosesnya dipercepat,” tutur Sawung.
Kemudian, Sawung menjelaskan bahwa dalam penyusunan kebijakan PSN, pemerintah mengabaikan aspek partisipasi publik. Akibatnya, menurut Sawung, kebijakan ini berpotensi melahirkan konflik dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. “Sebagai contoh, PSN seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung justru tidak terlalu dibutuhkan oleh masyarakat setempat dan melanggar tata ruang daerah,” ucap Sawung.
Food Estate Untuk Siapa?
Merujuk pada Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, salah satu turunan dari kebijakan PSN adalah Program Peningkatan Pangan Nasional (Food Estate). Menurut Betty Tiominar, FIAN Indonesia, program Food Estate ini tidak efektif. Pasalnya, menurut Betty, kehadiran Food Estate justru berdampak buruk bagi rakyat setempat.
“Kehadiran Food Estate di Kalimantan Tengah justru berimplikasi pada pendangkalan sungai dan krisis air bersih masyarakat setempat,” ucap Betty.
Lebih lanjut, Betty menjelaskan bahwa dalam penerapan Food Estate di Kalimantan Tengah, pemerintah hanya berperan sebagai penyuluh tanpa mempertimbangkan keberlangsungan hidup para petani lokal. Ia juga menuturkan bahwa pemerintah tidak memberikan perlindungan bagi petani lokal. “Food Estate ini berpotensi menurunkan kesediaan pangan pokok di tingkat rumah tangga dan berpotensi menghilangkan tanaman lokal,” tutur Betty.
Melanjutkan pernyataan Betty, Syahrul Fitra juga memberi contoh dampak dari penerapan Food Estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Menurutnya, kehadiran proyek Food Estate di daerah tersebut berpotensi terjadi tanah longsor dan banjir. “Banjir di Desa Tanjung Karitak adalah bukti nyata dampak dari proyek ini,” jelas Syahrul.
Kemudian, Syahrul memaparkan bahwa narasi krisis pangan yang digaungkan oleh pemerintah semata-mata untuk membenarkan perampasan tanah guna memperluas kawasan Food Estate. Ia juga mengungkapkan bahwa kebijakan ini merupakan kerja sama militer dan oligarki agribisnis. “Justru kerawanan pangan masyarakat lokal diciptakan oleh pemerintah,” ungkap Syahrul.
Untuk melancarkan proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, Presiden Joko Widodo menggandeng Kementerian Pertahanan (Kemhan). Kemudian, Kemhan membentuk suatu badan bernama PT Agro Industri Nasional. Menurut data yang diperoleh dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pemegang saham mayoritas PT. Agro Industri Nasional adalah Yayasan Pengembangan Potensi Sumberdaya Pertahanan yang diketuai oleh Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.
“Proyek ini sarat akan konflik kepentingan,” pungkas Syahrul.
Penulis : Abraham Bagus Mahendra
Penyunting : Michelle Gabriela Momole
Illustrator : Anas Abrar