Presentasi Karlina Supeli, Jum’at (29/8) (bpmfpijar.com/Pramodana)
Sabtu (29/8) Lingkar Studi Filsafat Cogito menyelenggarakan diskusi secara daring berjudul Filsafat di Antara Sains, Agama, dan Pandemi. Diskusi diselenggarakan dalam rangkaian acara perayaan Dies Natalis Fakultas Filsafat oleh Forum Komunikasi (FORKOM) Filsafat.
Diskusi ini menghadirkan Karlina Supeli M. Sc sebagai pemantik dan Dr. Sindung Tjahyadi sebagai moderator. Diskusi ini mempertanyakan posisi filsafat di tengah kondisi pandemi.
Karlina, mula-mula, menjabarkan tanggapan yang simpang siur terhadap pandemi. Ia membagi tanggapan-tanggapan itu ke dalam beberapa pertentangan seperti panik dengan empati dan klaim sains dengan klaim agama. Dalam pertentangan antara panik dan empati, Ia memaparkan permenungan Adam Smith dalam Moral Sentiment. Empati, dalam refleksi itu, senantiasa berkaitan dengan kepentingan diri.
“Kita dalam waktu singkat menyadari situasi darurat yang berlapis” ujar Karlina. Keadaan di mana setiap tindakan baik agama, budaya, sosial, dan politik perlu tunduk pada pertimbangan medis. Ia menambahkan pula bahwa kehidupan sosial mengalami perubahan besar, terutama di Indonesia yang hidup gotong royong.
Selain itu, Karlina juga menyatakan bahwa saat ini terjadi krisis epistemik. Keadaan ini disebabkan keterbatasan pengetahuan terhadap evolusi alam. Jarak antara dua hal tersebut niscaya terisi oleh ketidakpastian.
Dalam kondisi ini, umat beragama kerap kali memunculkan tanggapan primordial, yang bisa diartikan sebagai kembali ke hal purba. Hal ini menjelaskan kemunculan dakwaan terhadap tuhan, di mana umat beragama mengartikan kondisi ini sebagai siksaan Tuhan atau dalam sisi konstruktif ada juga yang mengatakan pandemi datang sebagai serdadu Tuhan untuk memusnakan musuh-musuhnya. Serta pengkambing-hitaman terhadap minoritas. Karlina menjelaskan pola ini juga terjadi dalam Black Death seabad lalu di Eropa.
Kemudian, Karlina membahas teologi sebagai cara lain dari umat beragama untuk membela Tuhan. Karena kejahatan pasti terjadi, umat beragama memberi argumen untuk memertahankan sifat maha baik dari Tuhan mereka.
Antropodisei, ujar Karlina, lantas muncul untuk mengkritik teologi. Argumen mereka berdasar pada subjek sejarah itu manusia, bukan Tuhan, sehingga hanya manusia yang bisa berusaha untuk menghilangkan kesengsaraan. Odo Marquad bahkan menyatakan bahwa Tuhan sebaiknya tidak ada demi keagungan Tuhan.
Namun, Karlina pun menegaskan bahwa agama tidak melulu irasional. Praktik observasi dan isolasi, sebagai contoh, pertama kali muncul dalam kitab suci. Dalam kitab Imamat 13, kewajiban Imamat apabila mengidap penyakit menular adalah diperiksa, diamati, dan diasingkan selama tujuh hari. Setelah itu, jika masih mengidap penyakit menular, maka benda-benda milik Imamat itu mesti dibakar namun jika telah sembuh maka ia dan baju yang ia kenakan saat di pengasingan mesti dicuci bersih.
Karlina lantas menjelaskan persinggungan antara sains, agama, dan filsafat. Objek bahasan tiga disiplin tersebut beririsan tetapi dengan metode penelaahan yang berbeda. Dunia, sebagai contoh, bagi sains merupakan realitas fisik, bagi filsafat merupakan realitas fisik dan metafisik, namun bagi agama merupakan ciptaan.
Sains, tutur Karlina, berpangkal pada penelitian untuk mengetahui suatu gejala. Teori yang lahir setelahnya dapat difalsifikasi sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Filsafat dan agama lantas bisa berperan memberi tanggapan etis. Ia mencontohkan dalam menentukan pasien yang pengobatannya layak didahulukan.
“Filsafat mengayuh di kedalaman makna,” ujar Karlina.
Karlina mengatakan bahwa sains hanya membawa manusia sampai ke tepi samudera makna, tetapi tidak bisa menyelaminya. Filsafat dan agama menyediakan cara untuk menafsirkan. Pertemuan tiga itu akan melahirkan transdisiplin, yang tidak terbatas pada akademisi dan tidak hanya dibingkai perkara ilmiah.
Kemudian, Karlina menambahkan bahwa filsafat perlu meneliti setiap klaim kebenaran. Ia pun meragukan kemungkinan adanya relativisme epistemik. Pembedaan tingkatan kebenaran bisa dan penting dikerjakan filsafat
Pada akhirnya, Karlina menyarankan filsafat ketuhanan tidak lagi sibuk membela Tuhan tapi benar-benar merefleksikan penderitaan, duka, dan kecemasan. Sementara, filsafat manusia, menurutnya, perlu mendiskusikan kerentanan dan ketergantungan. Pada ranah politik, filsafat memikirkan martabat dan keselamatan manusia.
(Pramodana/Ayom)