Ketika mendengar kata filsafat pasti terbenam bayangan yang abstrak, hal tidak jelas, hal tidak masuk akal, dan bayangan untuk menghapuskan pondasi kokoh yang telah dibuat oleh lingkungan kita selama ini, salah satunya dalam konteks Tuhan. Masyarakat mengilhami filsafat sebagai sesuatu mengerikan yang akan membuat dirinya melenceng dari norma yang berlaku saat ini. Seperti contoh yang sudah terpapar di bagian atas.
“Jangan masuk filsafat, nanti jadi ateis. Jangan masuk filsafat nanti jadi orang gila,” kiranya kalimat tersebut yang muncul dalam kalangan masyarakat sekarang ini.
Banyaknya pandangan menarik yang dilontarkan ke arah filsafat memberi dampak yang cukup baik. Orang mulai berpikiran secara riil dalam ruang lingkup yang nyata dan semua itu tidak akan didapatkan dari konteks filsafat. Filsafat bagaikan sumur yang dalam diantara ramainya shower untuk membersihkan badan. Semakin jauh dari peradaban dan semakin tergilas oleh zaman.
Berbicara persoalan filsafat, dalam garis besar kita sedang membicarakan tentang sebuah hakikat, seperti halnya kebenaran, nilai-nilai, dan pengetahuan. Persoalan filsafat lebih mengerucut kepada pertanyaan: Apakah suatu sistem keadaan sudah sesuai dengan hakikat yang-‘Ada’? Apakah nilai yang terkandung dalam masyarakat sudah berjalan sesuai dengan keharusannya?
Persoalan-persoalan ini mengalami pergolakan besar dan selalu dipatahkan oleh masyarakat dalam prosesnya mencapai hakikat yang sebenarnya. Ternyata persoalan tersebut telah dialami pada masa lampau. Arthur Schopenhauer mengatakan, “Sebuah kebenaran akan selalu mengalami tiga proses, pertama akan dicaci sebagai sebuah kebodohan yang tak ada artinya, kedua mulai dipertimbangkan kebenarannya, dan ketiga akan diterima sebagai sebuah kebenaran.”
Berbicara mengenai persoalan seperti ini, kita harus mengosongkan fondasi yang sudah kita bangun selama ini untuk membandingkan fondasi manakah yang berjalan dengan kuat. Sejenak datang dengan sebuah keterbukaan dan di akhir kita coba “hantamkan” pondasi yang baru dengan pondasi lama yang sudah tertanam di diri kita.
Permasalahan seperti ini memang wajar untuk dialami oleh makhluk yang disebut “manusia”. Semua manusia mengikuti norma yang berlaku dalam masyarakat dan melupakan hal yang sudah tidak lagi relevan untuk dibicarakan, seperti halnya sumur dalam tadi. Sama halnya Aristoteles, murid Plato yang menentang keras gurunya: “Realitas tertinggi adalah sesuatu yang kita lihat dengan indra kita.”
Masyarakat yang berlabel manusia, mengamini hal tersebut. Namun, kembali lagi pada persoalan yang dialami, “Apa kategori dari sesuatu, itu yang bisa disebut sebagai sebuah kebenaran?”
Beragam persoalan muncul dalam masyarakat yang meragukan banyak hal dari filsafat. Mereka takut akan menyelami hutan belantara alam sendiri yang membuat ketakutan itu semakin terang. Mereka takut membuat dirinya hilang dari kesadaran sebenarnya, membuat dirinya hilang dari norma yang berlaku, ataupun merasa otaknya akan dicuci dengan mantra-mantra bodoh filsafat. Masyarakat masih terlalu takut untuk memasuki hutan belantara pikirannya sendiri sehingga mereka hanya bisa melihat hutan belantara pikiran mereka dari luar dan mulai menilainya tanpa mengetahui hal apa yang ada di dalamnya..
Mengenai masalah stigma negatif yang terjadi di hutan belantara dan penilaian yang bersifat subjektif dari penonton yang berasal dari luar hutan-nya, mengartikan kita sedang berada dalam masalah keadilan yang tersedia di kalangan manusia. Sangat tidak adil kiranya jika sesuatu hanya ditonton dari luar tanpa merasakan hal yang tersedia di dalamnya.
Kembali mengutip pendapat dari murid Plato, Aristoteles, berpendapat tentang keadilan kodrat alam, “Letak keadilan di mana sesuatu yang telah memberikan kontribusi dalam suatu keadaan.” Hal ini sama seperti yang sudah dilakukan filsafat berabad-abad yang lalu.
Beberapa contoh yang sudah terpapar di atas membuat kalangan mahasiswa filsafat mengamininya. Beragam istilah aneh pun akhirnya bermunculan di kalangan mahasiswa filsafat, “Jangan belajar filsafat, nanti jadi gila! Kenapa ambil filsafat? Mau jadi atheis ya? Ngapain belajar ilmu yang gak pasti? Udah siap jadi pengangguran?”
Kata pengangguran menjadi sebuah kata yang fundamental di masa sekarang, di zaman di mana semua orang harus hidup dan bekerja dan uang. Semua butuh uang, hanya orang bodoh saja yang tidak membutuhkan uang. Makan bayar, buang air bayar, sampai di masa semua serba berbayar. Mahasiswa filsafat hanya bisa menggelengkan kepalanya di masa serba uang ini. Terbawa oleh arus yang menghancurkan arus tembok filsafat.
“Pengangguran bukan sebuah masalah, ilmu kita banyak kita yang akan dicari orang”
“Filsafat yang akan mengatur dan membodoh-bodohi kalian para pekerja pencari uang”
Pengangguran pun di akhir tulisan hanya bisa bergumam, apa sebenarnya yang sedang terjadi di masa ini? Apa masyarakat hanya akan tetap diam di satu sisi untuk meninggalkan jejaknya di antara reruntuhan? Di mana letak persoalan yang sedang kita alami saat ini dalam keramaian perebutan masalah jabatan, kekuasaan, ataupun kekayaan. Pertumpah darah terjadi dalam setiap waktu. Permusuhan terpampang jelas di depan mata, perang, perpecahan sudah bisa diperhatikan setiap hari. Seakan hal tersebut sudah menjadi hal yang wajar dalam keseharian. Jadi apa yang kalian cari? Yuk, jadi pengangguran. [Yolbi Djesvi]
Artikel ini sebelumnya sudah diterbitkan dalam “Surat Kabar Pijar”edisi ke-17 tahun 2016. Ditulis oleh Yolbi Djesvi, disunting ulang oleh Muhammad Huda Alim dan Mochamad Zidan Darmawan.