(bpmfpijar.com/parama)
Gerakan perempuan dalam masyarakat kapitalis sering diidentikkan dengan gerakan feminisme liberal. Dalam kerangka feminisme liberal, solusi mengenai ide dasar gerakan perempuan yang menginginkan kesamaan aksesbilitas antara laki-laki dan perempuan tidak dapat menjadi solusi.
Sebaliknya, justru menjadikan isu-isu gerakan perempuan menjadi terfragmentasi. Kritik terhadap penyamarataan perempuan oleh feminis liberal disampaikan oleh Cinzia Arruza, Tithi Bhattacharya, dan Nancy Fraser dalam buku Feminisme untuk 99%: Sebuah Manifesto.
Untuk mengulas lebih dalam mengenai isi buku tersebut, MINDSET Institute menyelenggarakan diskusi yang berkolaborasi dengan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), Jumat (05/03).
Diskusi kali ini secara khusus menyoroti ketertindasan berlapis yang dialami perempuan, yang juga termasuk dalam kaum 99%. Diskusi daring ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Indri Suparno, Dewan Pembina SPEK-HAM; Wahyu Harjanto, peneliti MINDSET Institute; dan Linda Sudiono, penerjemah buku Feminisme untuk 99%: Sebuah Manifesto. Ketiga pembicara tersebut dimoderatori langsung oleh Winanti Praptiningsih.
Mengawali diskusi, Winanti mencoba mengulas buku yang diterbitkan pertama kali di Inggris pada tahun 2019 tersebut. Ia menjelaskan bagaimana logika kerja kapitalisme telah merenggut berbagai aspek keadilan, terutama pada mayoritas perempuan. Winanti memantik pembuka diskusi dengan tiga pertanyaan:
Pertama, bagaimana menjelaskan fakta penindasan perempuan dalam logika kerja kapitalisme? Kedua, apa tawaran-tawaran alternatif untuk melawan sistem kapitalisme? Ketiga, apa formula gerakan perempuan yang ideal yang dapat menjawab persoalan yang tidak dapat diatasi feminisme liberal?
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut, Linda menjelaskan bahwa penulis-penulis buku Feminisme untuk 99%: Sebuah Manifesto secara produktif melakukan analisis gerakan perempuan dalam perspektif marxisme. Dalam penyampaian Linda, buku tersebut memuat 11 tesis yang mencoba mengurai mengenai apa yang dihadapi perempuan dan menyampaikan tiga ide dasar buku tersebut.
Ide dasar pertama, kata Linda, feminisme liberal justru menjadi hambatan bagi keseluruhan gerakan perempuan. Dalam penjelasannya, feminisme liberal hanya menghasilkan elitisme, eksklusivitas, dan politik representatif yang hanya mendorong segelintir perempuan untuk mempunyai akses maju ke tampuk kepemimpinan.
“Perempuan-perempuan dari ras tertentu menjadi pekerja migran yang mengerjakan sosial reproduksi (rumah tangga) yang ditinggalkan oleh perempuan-perempuan kelas menengah ke atas yang mengejar karir dan dibayar dengan upah rendah,” jelas Linda.
Selanjutnya, ide dasar kedua, adalah kecenderungan dalam pemaknaan krisis sebatas ekonomi atau finansial. Padahal, menurut Linda, dalam pemaknaan yang lebih utuh, krisis juga termasuk krisis ekologi, krisis politik, dan krisis kerja-kerja perawatan. “Keseluruhan krisis-krisis ini bersumber utama dari kontradiksi kapitalisme sebagai sistem itu sendiri,” tegas Linda.
Selain itu, Linda juga mengungkapkan bahwa manifesto dalam buku tersebut mengajak pembaca untuk melihat konsep kerja yang lebih luas, di mana kerja sosial reproduksi harus menjadi perhatian. “Dalam kerja reproduksi, isu tenaga kerja tidak hanya sebatas hubungan industrial, upah, dan lain sebagainya. Namun, pekerjaan reproduksi yang tidak berupah juga merupakan bagian dari pekerjaan yang harus diperhatikan keberadaannya,” ujar Linda.
Lebih lanjut, Linda menjelaskan bahwa gerakan feminisme ini harus menjadi gerakan 99% dari perempuan miskin, migran, pekerja, dan kelompok-kelompok perempuan rentan lain. Untuk bisa disebut sebagai feminisme 99% yang memperjuangkan 99% sumber daya yang kemudian dihisap oleh 1% orang, Linda menandaskan, “99% ini terdiri dari perempuan dan juga laki-laki, jadi mengajak kita untuk memahami kontradiksi yang terjadi di dalam masyarakat ini, bukan kontradiksi seks, bukan kontradiksi antara laki-laki dan perempuan, yang dilihat adalah kontradiksi kelas”.
Melanjutkan diskusi, Indri membahas mengenai relevansi gagasan pemikir pada buku ini dengan gerakan perempuan Indonesia saat ini. Di mana kekuatan sosial politik yang masih didominasi pemilik modal mempengaruhi segenap perjuangan feminis yang dilakukan hampir selalu mengalami kegagalan.
“Relevansinya juga jelas, kritik terhadap gerakan perempuan yang sektoral itu juga mewujud pada advokasi di beberapa kebijakan yang di dalamnya memerjuangkan perlindungan terhadap hak-hak pekerja,” ujar Indri.
Harjanto kemudian menuturkan bahwa buku ini menyuguhkan pandangan tentang dunia saat ini yang dipenetrasi oleh kapitalisme neoliberal. Lalu dipostulatkan ke dua arah, yakni manifesto dalam subordinasi perempuan yang muncul sebagai akibat dari praktik ekonomi politik neoliberal dan dalam konteks purifikasi gerakan sosial pada umumnya dan feminisme liberal pada khususnya.
Dalam sesi tanya-jawab dengan peserta, Lisa, salah satu peserta diskusi memertanyakan mengenai ketiadaan interseksi isu dalam gerakan perempuan, khususnya di Indonesia. Menilik buku, Linda menjawab bahwasannya gelombang feminisme kedua yang didominasi feminis liberal cenderung memisahkan isu-isu perempuan.
“Hal tersebut menjadikan isu-isu perempuan terfragmentasi dan terfokus hanya pada kelas menengah ke atas. Selain itu, gerakan perempuan akhirnya menjadi dekaden, kehilangan roh progresif dan revolusionernya,” jelas Linda.
Di akhir diskusi, Winanti merangkum diskusi buku tersebut dengan menyampaikan bahwa buku Feminisme untuk 99%: Sebuah Manifesto mencoba meredefinisi gerakan perempuan, di mana dijelaskan akar subordinasi perempuan berasal dari adanya kontradiksi di dalam sistem kapitalisme itu sendiri.
Penulis: Chalfi Laroza
Penyunting: Ayom Mratita