Everyday’s Resistance: Perlawanan Perempuan Sehari-hari.

0
1144
Membaca Tank Merah Muda di Kafe. bpmfpijar.com/Pramodana



Kamis (6/2) Everyday’s Resistance: Pengalaman Perempuan dalam Menghadapi Perubahan diselenggarakan di IFI-LIP Yogyakarta. Perkawanan Perempuan Menulis dan Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM bekerja sama dalam penyelenggaraannya.

Sore itu, acara terdiri dari dua agenda. Bedah buku Tank Merah Muda karya Perkawanan Perempuan Menulis dan pemutaran film Inong Bale karya Yosef Anggi Noen.

Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Arifah Rahmawati, menyampaikan bahwa Everyday’s Resistancemenampilkan kisah-kisah perlawanan perempuan dalam laku keseharian. Pada acara sore ini gambaran itu didapat lewat dua bentuk berbeda.

Bedah buku Tank Merah Muda mengawali acara. Dekan FIB UGM, Wening Udasmoro, hadir sebagai pembedah. Perempuan pengarang kumpulan cerpen tersebut adalah Margareth Ratih, Ruhaeni Intan, Amanatia Junda, Armadhany, Raisa Kamila, dan Astuti N. Namun, hanya empat nama yang ditulis terlebih dahulu yang hadir di diskusi kali ini.

Wening Udasmoro menyampaikan bahwa narasi reformasi selama ini hanya bersumber dari laki-laki. Reformasi, meski sudah lampau, tidak menjadi cerita yang ketinggalan zaman, menurutnya, sebab masih banyak cerita yang belum disampaikan oleh perempuan.

“Tank Merah Muda adalah simbol dari kekerasan lain,” ujar Wening Udasmoro, “dalam cerita-cerita yang tercecer dari reformasi”.

Ia memuji cerpen secara umum karena detail dan sederhana. Kesederhanaan itu tampak dari tokoh dengan identitas yang tersubordinasi dapat diceritakan dengan jujur. Detail cerita terasa dari penyantuman idola remajanya yakni Roberto Bagio serta penggunaan istilah yang trendi di awal 2000-an seperti krismon. Buku itu, menurutnya, dapat jadi memorabilia bagi generasinya atau sumber pengetahuan alternatif bagi generasi setelahnya.

Latar belakang para perempuan pengarang turut menjadi sorotan Wening. Mereka masih belia saat reformasi terjadi. Selain itu, masing-masing pengarang berasal dari daerah yang berbeda juga, ia melanjutkan. Keanekaragaman ini terefleksi dalam cerita yang menonjolkan cinta, toleransi, dan perdamaian.

Setelah pembedah menawarkan pandangannya, sesi tanya jawab dimulai. Markus Geovani, salah satu peserta, menuturkan bahwa alih-alih menaruh fokus pada narasi kelam dari masa reformasi lebih baik bicara soal rekonsiliasi. Ia lantas menanyakan soal solusi yang diberikan fiksi tersebut atas konflik yang diangkat.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Amanatia Junda menyampaikan bahwa ia menulis tokoh dengan semangat persatuan. Tokoh itu ada dalam cerita soal pembantaian dukun santet di Banyuwangi. Namun, ia mengatakan pula bahwa ada cerita-cerita yang hanya mengisahkan ulang kejadian lama yang belum diketahui secara luas.

Sementara itu, Ruhaeni Intan mengingatkan bahwa kebanyakan cerita tentang reformasi hanya berkitar pada aktivisme mahasiswa dan kerusuhan di kota-kota besar. Benang merah antara setiap cerita dalam kumpulan cerpen tersebut adalah narasi-narasi kecil perempuan reformasi yang tidak berada di pusat episentrum.

Seirama dengan itu, Margareth Ratih menjelaskan bahwa riset cerita dilakukan dengan balik kampung. Ia sendiri menggali cerita dari kerabat-kerabatnya. Hanya saja, kesadaran bahwa mereka berasal dari daerah yang berbeda justru datang belakangan.

Setelah sesi pertama tanya jawab usai, acara diselingi pemutaran film Inong Bale. Dokumenter ini besutan sutradara Yosef Anggi Noen. Proyek riset Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM ini diambil tahun 2017.

Inong Bale sendiri adalah kesatuan perempuan dalam kombatan GAM. Film ini menaruh fokus pada individual life history para subjek sejarah.

Protagonis film adalah tiga mantan prajurit, dua di antaranya merupakan komandan, Inong Bale. Keikutsertaan mereka pada GAM didasari pada kejahatan yang terjadi pada sesamanya. Pemerkosaan, perampasan, penculikan yang dilakukan oleh tentara atau kacang hijau dalam sandi mereka. Saat itu, mereka rela mempertaruhkan segalanya bagi Aceh.

Meskipun segala pertaruhan berakhir sejak perdamaian, tikas kesedihan terus belanjut. Indra, salah satu komandan Inong Bale, mengalami krisis identitas akibat nama samaran yang berganti-ganti di kombatan. Sementara itu komandan lain, Mak Tim menjadi caleg partai Aceh hanya untuk memenuhi persentase caleg perempuan di pemilihan umum.

“Mereka terus katakan jangan pilih perempuan yang tidak bisa memimpin,” ujar Mak Tim, “padahal dewan ini bukan pemimpin melainkan wadah aspirasi rakyat saja.#”.

Perempuan lain kehilangan harta akibat tuduhan tak berdasar, ia mengakuinya dengan dahi bersentuhan laras panjang AK-47.

Setelah 28 menit, durasi film tersebut, sesi diskusi kembali dilanjutkan. Para peserta memiliki pertanyaan yang lebih beragam. Beberapa membahas buku sementara beberapa lainnya membahas film. Aris, salah satu peserta, menanyakan mengenai pendekatan seperti apa yang digunakan oleh tim riset sehingga mendapat dialog-dialog yang nyata.

Kesan apa adanya tersebut akibat dari penggunaan kamera yang tidak membebani tokoh-tokoh dalam film, hanya pakai kamera untuk foto, menurut penjelasan Arifah yang tergabung dalam tim riset film Inong Bale.

Rangkaian acara ini diakhiri dengan pembagian buku fisik Tank Merah Muda kepada delapan penanya pertama. Buku Tank Merah Muda juga dapat dibaca dengan mengunduhnya di internet secara gratis. (Pramodana/Ayom)



LEAVE A REPLY