Pada hari Jumat (13/10), Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga berkolaborasi dengan Social Movement Institute mengadakan diseminasi riset bertajuk “Terperangkap Jaring Laba-laba: Tantangan Gerakan Mahasiswa Pasca Orde Baru”. Diskusi ini berangkat dari hasil riset Naysilla Rose bersama keempat koleganya dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada dengan tajuk yang sama. Membahas hasil riset tersebut, diskusi ini menghadirkan Eko Prasetyo dan Asfinawati selaku pemantik diskusi.
Naysilla membuka diskusi dengan menjelaskan berbagai riset mengenai gerakan mahasiswa yang telah dilakukan oleh sejumlah akademisi seperti Aspinall, Husin, Sastramidja, Amin dan Ritonga. Namun, riset-riset tersebut dinilainya kurang mampu menggambarkan tantangan yang dihadapi gerakan mahasiswa saat ini, seperti gempuran negara, pasar, dan kampus. Riset ini mengambil data di lima kampus besar di Yogyakarta, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan Universitas Islam Indonesia (UII).
Dalam risetnya, Naysila memetakan tantangan gerakan mahasiswa pasca orde baru yang berasal dari stimulus eksternal dan internal. Salah satu tantangan eksternal yang disorot adalah kebijakan kampus yang dianggap tidak mendukung gerakan mahasiswa. Naysilla juga menyoroti ketidakseimbangan gerakan mahasiswa saat ini. “Yang belum tercover gerakan mahasiswa di tengah gempuran saat ini adalah program mbkm maka dalam riset ini mencari jawabannya,” ucap Naysilla di awal diskusi.
Lebih lanjut, temuan riset Naysilla juga menunjukkan adanya tantangan internal dalam gerakan mahasiswa yang meliputi fragmentasi isu, ego sektoral dan pecah kongsi, regenerasi, serta minimnya partisipasi perempuan. Tentang fragmentasi isu, Naysilla mengucapkan, “Sebenarnya bagus karena kita bisa menghimpun banyak isu tapi justru akhirnya bingung saat sudah diangkat tidak ada follow up lagi jadi hanya sebatas ditulis dalam rilis aksinya aja.”
Naysilla dalam diskusi ini juga memaparkan hasil dari risetnya tentang peran penting konstruksi identitas moral dalam gerakan mahasiswa. Riset ini menghasilkan tiga kategori besar dalam pemahaman identitas moral gerakan mahasiswa. “Pertama, ada mereka yang menerima sepenuhnya bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral. Kedua, menolak label gerakan moral tetapi pada substansinya masih menerima konsep tersebut. Ketiga, ada yang menolak sepenuhnya identitas moral gerakan mahasiswa,” ujar Naysilla menjelaskan.
Asfinawati, mantan ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, merespons hasil riset yang dilakukan Naysilla khususnya mengenai gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral. Asfinawati memberikan opsi pendekatan keempat dalam diskusi ini, yaitu mengusulkan bahwa identitas moral gerakan mahasiswa dapat berbeda-beda sesuai dengan konteksnya, menekankan pada konstruktivisme.
Asfinawati juga membahas pentingnya menggantikan identitas sementara sebagai mahasiswa dengan identitas yang lebih berkelanjutan. “Pengalaman sebagai mahasiswa seharusnya menjadi bagian dari perjalanan yang lebih luas, yang dapat membentuk identitas yang berkelanjutan sebagai aktivis, pemimpin, dan kontributor masyarakat,” tambahnya.
Eko Prasetyo sebagai narasumber terakhir, mengkritik hasil riset yang telah dipaparkan oleh Naysilla. Menurut Eko, responden dari riset tersebut kurang mewakili kaum proletar, karena respondennya berasal dari kampus-kampus besar yang berisi mayoritas kaum menengah ke atas. “Kritik terhadap riset ini adalah responden dari kampus UGM, UIN, UNY, UII, UMY, yang merupakan kampus yang mayoritas orang kaya, respondennya tidak ada kaum pinggiran seperti kampus dekat ringroad dan kampus-kampus kecil lainnya,” ujar Eko.
Lebih lanjut, Eko memandang riset ini kembali pada dilema yang sudah lama muncul yakni pada pemilihan mengenai pengertian gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral atau gerakan politik. “Kritik yang kedua, yaitu apa yang diselakan sebauai gerakan mahasiswa sehingga kembali pada pilihan, gerakan mahasiswa itu moral atau politik itu adalah dilema yang sudah lama,” sambung Eko.
Eko juga menambahkan, bahwa gerakan mahasiswa adalah upaya untuk melarang proyek status quo yang memiliki berbagai motif dan prioritas. “Pada dasarnya gerakan mahasiswa adalah suatu upaya untuk melarang proyek status quo yang bisa mencakup negara, kampus, dan organisasi,” tambah Eko.
Acara diakhiri dengan closing statement dari para narasumber. Eko Prasetyo memberikan kalimat penutup bahwa gerakan itu dibangun ketika sekumpulan anak muda mendiskusikan masa depannya dan mulai resah dengan kondisi sosialnya.
“Ketika anak muda berkumpul untuk mendiskusikan masa depannya dan mulai resah dengan kondisi sosialnya itulah waktunya pergerakan itu dibangun. Gerakan tidak muncul dari kesaksian, kemarahan, kekesalan, gerakan selalu muncul dari suasana politik yang terus menyala” tutup Eko.
Penulis: Lu’lu’ il Maknun (Magang), Adyba Qotrun Nada Puspaningrum
Editor: Aghli Maula
Ilustrator: Anas Abrar