Pergerakan Mahasiswa lahir dari adanya kesadaran akan kondisi dan realitas yang dihadapi. Tak jarang, pergerakan-pergerakan mahasiswa menjadi motor dari sebuah perubahaan. Bahkan, revolusi suatu negara dapat terjadi karena suatu gerakan mahasiswa. Sebut saja perjuangan mahasiswa Perancis yang memelopori pemogokan umum menyeluruh selama dua bulan pada Mei – Juli 1968. Atau, Gerakan Mahasiswa di Afrika yaitu Revolusi Aljazair meletus 1 November 1954 menuntut kemerdekaan dari penjajahan Perancis.
Begitu pula dengan kondisi mahasiswa di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM). Pergerakan mahasiswa sudah ada sejak lama, mulai dari diskusi, sampai mengadakan panggung kecil-kecilan yang berorientasi untuk penyalur nalar kritis. Dan puncaknya, saat mahasiswa merasa terjepit di bawah tekanan Pemerintah Orde Baru, timbullah api semangat aktivisme di Fakultas Filsafat.
Di tengah rezim Orde baru, api aktivisme Mahasiswa Filsafat UGM menyala dengan ditandai oleh sering diadakannya forum diskusi dan berdirinya Biro Pers Mahasiswa Filsafat (BPMF) Pijar. “Kalo zaman ’80-an, waktu itu ya ujung tombaknya kalau nggak pers mahasiswa, ya kelompok-kelompok diskusi. Pijar salah satunya,” jelas Hamzah, alumnus Fakultas Filsafat angkatan 1989.
Hamzah menambahkan jika mahasiswa filsafat pada tahun 1987-an sudah memulai advokasi persoalan rakyat dan agraria. “Waktu itu eranya John Tobing, terus ada Hegel Tarome, ada Hari Begy, ada Andi Munajat, angkatan ‘85-‘86 ini termasuk generasi awal penggerak di filsafat,” tambahnya. Selain itu, beberapa mahasiswa filsafat era tersebut juga menjadi pionir di Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY).
Hamzah menjelaskan, pada awal 1990-an kegiatan aktivisme berlanjut ke ranah yang lebih luas lagi. Dimulai dari didirikannya Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta, yang menjadi embrio dari Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) Yogyakarta. Selain itu juga muncul kelompok Komite Rakyat (KR), sebuah organisasi yang mempunyai ikatan dan pengaruh di gerakan mahasiswa untuk memberikan perspektif kerakyatan dan ideologis.
Dalam pembentukan dan perjalanannya, antara KR dan SMID mempunyai keterkaitan politik dalam upaya pembangunan gerakan-gerakan sektoral yang lebih luas. Hal ini berimbas pada pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).
Lalu pada pertengahan 1998, saat terjadi “pemukulan” (penculikan aktivis dan jurnalis) yang berimbas pada dilarangnya segala aktivitas demonstrasi, mahasiswa Filsafat UGM mengadakan aksi mogok makan dengan mendirikan tenda di halaman fakultas sebagai aksi menyatakan sikap. Pasca aksi mogok makan ini, berlangsunglah aksi besar di Jakarta yang berimbas pada runtuhnya Orde Baru.
“Sekitar tahun 97-an, di Jakarta ada ‘pemukulan’ dan orang mau ngumpul aja takut. Terus kita buat tuh aksi mogok makan sekalian menyikapi rapat umum MPR tahun ‘98. Aksi massa ngumpul-ngumpul di Komunitas Tiga Ruang (KTR) dan berkoordinasi. Semua komandonya berasal dari filsafat,” ujar Hamzah.
Selain mengawal isu nasional, saat itu isu internal kampus juga tak luput dari perhatian. Seperti aksi yang berimbas pada penurunan PD3 (Pembantu Dekan 3), lalu ada juga aksi penurunan dekan yang diduga melakukan plagiat, dan juga pendirian Biro Pembelaan Hak-hak Mahasiswa Fakultas Filsafat (BPHMFF).
Setelah runtuhnya Orde Baru, terjadi perubahaan orientasi pergerakan mahasiswa. Hal ini sesuai dengan apa yang diceritakan Reno Wikandaru saat ditemui di Ruang Dosen Fakultas Filsafat UGM, Selasa (18/10). “Waktu itu saya ikut demonstrasi satu kali, yaitu tahun 2003, demonstrasi soal biaya pendidikan,” ujar Reno.
Lalu Reno menambahkan bahwa saat itu adalah tahun pertama UGM berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN). “Dan UGM waktu itu ada Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) plus Biaya Operasional Pendidikan (BOP) plus Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP),” sambungnya.
Aksi ini dilakukan atas inisiasi mahasiswa filsafat yang mengagendakan demonstrasi saat Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek). Namun, demonstrasi ini bisa dibilang tidak berhasil karena imbasnya hanya bagi angkatan sebelum 2003 yang tidak dikenakan SPMA.
Arah pergerakan mahasiswa saat itu, menurut Reno, terlalu terkonsentrasi pada perihal pendidikan, dan ia menyayangkan hal ini. “Sekarang mahasiswa banyak tereduksi, melulu soal pendidikan. Padahal ada banyak yang juga sama pentingnya, persoalan lingkungan misalnya,” jelas Reno. Isu-isu lingkungan seperti pembangunan PLTN dan pabrik semen selalu kalah oleh isu pendidikan. Hal ini, bagi Reno, mengesankan mahasiswa hanya memikirkan dirinya sendiri.
Reno juga beranggapan jika pergerakan mahasiswa selalu berbentuk klasik. Misalnya, demo turun ke jalan, panas-panasan, dan mengganggu ketertiban umum. Padahal banyak hal yang lebih efektif dibandingkan demo, semisal lewat opini. “Demo bikin macet dan selalu jadi cercaan banyak orang. Media (informasi) juga bisa menjadi kekuatan. Sekarang zaman sudah berbeda, demo lebih elegan lah. Di depan komputer pun bisa jadi aktivis,” tutur Reno.
Sampai saat ini pergerakan mahasiswa filsafat tidak berhenti. Ini nampak pada eksistensi BPMF Pijar yang senantiasa menaikkan isu ke permukaan untuk dikritisi bersama. Forum Komunikasi Mahasiswa Filsafat sebagai wadah bertukar informasi terkait isu-isu di lingkungan kampus atau fakultas juga sudah menjadi sesuatu yang membudaya.
Lalu belakangan ada pula Filsafat Bergerak yang berusaha menjadi wadah dari berbagai keresahan mahasiswa, seperti yang dikatakan Fajar Cahyono sebagai inisiator tentang motif berdirinya Filsafat Bergerak.
“Di balik ke-adem ayeman fakultas filsafat, pasti ada masalah besar, dan itu belum terakomodir oleh suatu lembaga entah itu formal maupun non formal. Dan di obrolan pertama itu terbukti, bahwa banyak banget masalah mulai dari pelayanan, sarana prasarana, komunikasi dan lain sebagainya,” tutur Fajar.
Fajar juga berpendapat jika suatu institusi harus ada komunikasi di dalamnya. Dalam kasus ini, antara mahasiswa sebagai subjek yang merasakan dan paling memahami kondisi lingkungan internal kampus, dengan pengurus fakultas.
Dasar tujuan Filsafat Bergerak adalah untuk menempatkan diri sebagai penekan atau penyambung lidah atas keresahan Mahasiswa Filsafat. “Kita akan menyerang langsung pihak dekanat sebagai pihak langsung yang berpengaruh di Fakultas Filsafat,” jelas Fajar ketika ditanyai tentang pihak mana yang akan diserang dalam pergerakan ini.
Dalam Filsafat Bergerak itu sendiri terjadi penurunan dalam pergerakannya, dalam artian, Fajar sendiri masih bingung arah dari Filsafat Bergerak ke depannya. “Waktu itu ada kesalahan dalam menjalin komunikasi, dalam artian kita ini belum satu kata dan tujuan. Dan kalau ada kata representatif, harus ada kesamaan yang disepakati dalam satu kumpulan tersebut. Sedangkan kita belum melakukan komunikasi yang intensif, dan mungkin kesalahannya ada di situ,” ucap Fajar.
Fajar sendiri yakin jika Fakultas Filsafat punya goresan tinta emas dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. “Mahasiswa filsafat punya tinta emas yang harus diulang, karena ternyata kita nggak buruk-buruk amat dalam pergerakan mahasiswa. Kita punya warisan tinta emas, dan itu yang harus diperhatikan,” tutupnya.
Artikel ini sebelumnya sudah diterbitkan dalam “Surat Kabar Pijar” edisi ke-20 tahun 2016.
Penulis: Fauzi
Penyunting ulang: Haris