Kekhawatiran luar biasa akan dirasakan kebanyakan perempuan yang sudah menikah namun belum juga memiliki anak. Tidak hanya rasa khawatir, beberapa perempuan bahkan merasa malu karena belum memiliki anak dan merasa itu merupakan suatu aib. Ternyata, kekhawatiran itu tidak hanya dirasakan oleh si perempuan namun juga dikhawatirkan oleh kedua keluarga mempelai pasangan. Contohnya, ketika dalam jangka waktu lebih dari dua tahun si perempuan belum juga hamil biasanya ibu ataupun ibu mertuanya akan sibuk untuk memberikan obat-obatan, jamu, dan membawa ke tukang pijat tradisional hingga dukun.
Kekhawatiran tersebut dikarenakan mitos masyarakat patriarkal, yakni perempuan—karena memiliki ovarium dan rahim—seharusnya melahirkan dan menjadi seorang ibu. Seolah-olah seorang perempuan yang lahir dengan kondisi fisik tidak utuh (misalnya, disfungsi rahim atau ovarium/tidak bisa memiliki anak) belum bisa dianggap perempuan seutuhnya. Hal ini diperindah dengan janji-janji manis yang ditawarkan, seperti halnya anggapan masyarakat yang menggambarkan seorang ibu adalah sosok yang sangat mulia sampai surga pun diletakkan di telapak kakinya. Doktrin ini juga yang membuat perempuan ingin menjadi ibu dan membuat meraka merasa berharga dan dihormati setelah menjadi seorang ibu.
Dewasa ini beberapa kaum perempuan mulai sadar akan otoritas terhadap tubuh mereka sendiri. Kaum perempuan seperti tercerahkan pemikirannya sehingga tidak lagi dikelabui dan terjebak oleh mitos-mitos patriarkal. Namun, menjadi perempuan seperti itu bukanlah hal yang mudah sehingga masih banyak perempuan juga yang enggan lepas dari penindasan tidak langsung dilakukan masyarakat patriarkal. Sifat pesimis perempuan yang enggan menggugat dan cendrung nrimo ini menjadikannya keadaan perempuan makin terpuruk dan justru tertekan. Sehingga mitos-mitos tentang kewajiban perempuan untuk menjadi ibu pun di-iya-kan dan penyempitan ruang gerak perempuan pun diterima begitu saja.
Namun, apakah sebenarnya menjadi seorang perempuan sepaket dengan menjadi seorang ibu? Atau ini hanyalah mitos hasil konstruksi budaya? Ann Oakley, seorang pemikir feminisme radikal, berpendapat bahwa seorang perempuan tidak diharuskan untuk menjadi seorang ibu untuk mendapatkan kredibilitasnya. Mitos tentang itu hanyalah sebuah hasil dari proses sosialisasi awal yang salah. Ketika orang tua, masyarakat dan instansi-instansi terkait tidak berusaha mengubah seorang anak perempuan yang abnormal atau cendrung maskulin menjadi anak perempuan yang normal atau feminin, maka perempuan nantinya tidak merasa perlu melahirkan hanya untuk mendapat rasa penghargaan terhadap dirinya sendiri. Maka hanya karena perempuan memiliki ovarium dan rahim ia tidak seharusnya dipaksa untuk melahirkan atau menjadi ibu biologis. Seharusnya untuk menjadi ibu atau tidak menjadi ibu adalah keputusan individual tanpa perlu pertimbangan dari luar. Dengan kata lain, hamil bukan lah kewajiban melainkan hak, sehingga perempuan secara merdeka bisa memilih.
Ann Oakley, lebih jauh lagi berpendapat bahwa perempuan sebenarnya tidak memiliki insting keibuan seperti yang selama ini banyak dikemukakan. Insting keibuan yang dimiliki perempuan ada karena dipelajari. Hal ini terbukti dari penelitian yang ia lakukan pada 150 perempuan yang baru saja menjadi ibu. Hanya sedikit perempuan yang mengetahui bagaimana menyusui, biasanya kemampuan menyusui yang beberapa sudah dapatkan berasal dari melihat anggota keluarga yang lain yang menyusui. Sebagian perempuan pun lalai dalam mengasuh anak, beberapa diantaranya malah menelantarkan anak mereka. Kemampuan yang tidak memadai dalam mengasuh anak biasanya dikarenakan ia belum pernah melihat ibu yang menjalankan perannya sebagai ibu dengan baik. Sehingga bisa disimpulkan bahwa insting keibuan bukan didapat melainkan berasal dari proses pengamatan dan pembelajaran.
Sejalan dengan insting keibuan, mengasuh anak juga dianggap oleh masyarakat patriarkal sebagai salah satu pekerjaan yang menjadikan perempuan menjadi perempuan seutuhnya. Sehingga perempuan pun merasa tertekan dengan beban moral untuk selalu merawat anaknya. Hal ini bisa dilihat dari, misalnya, seorang ibu yang lebih mementingkan karirnya dibanding mengasuh anaknya akan dianggap menjadi seorang ibu yang tidak bertanggung jawab dan mendapat cercaan di masyarakat.
Oleh karena itu, Ann Oakley juga menolak keras gagasan bahwa seorang anak membutuhkan ibunya. Oleh karena itu maka adalah salah apabila ada yang beranggapan bahwa anak-anak apalagi anak yang masih kecil butuh perawatan dari orangtuanya, orangtua yang dimaksud d isini pastilah ibu biologis karena dianggap paling dekat dan efektif. Menurutnya, peran ibu sosial (bukan ibu kandung) sama efektifnya dengan ibu biologis. Yang dibutuhkan seorang anak hanyalah orang dewasa yang dekat, dapat dipercaya dan bisa menjadi tempat bersandar bagi mereka. Sehingga tidak hanya peran ibu biologis yang dibutuhkan seorang anak. Peran ibu sosial maupun ayah biologis juga dianggap bisa menggantikannya. Semuanya dianggap memiliki peran utama dalam pendidikan anak.
Bukankah dengan dihilangkannya anggapan mengenai insting keibuan, perempuan bisa menemukan hasrat sesungguhnya? Baik ia ingin memiliki anak kemudian mengasuhnya ataupun tidak sama sekali. Sehingga segala sesuatunya dijalankan secara sukarela dan tanpa beban. Dengan cara ini pula kesetaraan bisa dicapai, para perempuan tidak lagi diwajibkan hanya mengurus masalah rumah tangga namun ia bisa memperoleh kehidupan di luar rumah, seperti bekerja. Sehingga stereotip laki-laki sebagai orang yang berkewajiban memberi nafkah dalam rumah tangga bisa dipatahkan.
Seharusnya makin banyak perempuan yang sadar akan kebebasannya dalam memilih untuk menjadi ibu atau tidak menjadi ibu. Lagi pula tujuan membangun rumah tangga sebenarnya bukan hanya untuk memiliki keturunan, namun untuk saling mengerti satu sama lain, hidup berdampingan bersama atau pun tanpa anak. Jika laki-laki menikah dengan perempuan hanya karena untuk mempunyai anak sebagai salah satu cara untuk mengabadikan namanya maka tidak ada bedanya seorang perempuan dengan mesin cetak. Dengan kata lain sumber kebahagiaan sebuah pernikahan tidak hanya berpusat pada anak. Untuk itu seorang perempuan tidaklah sepaket dengan seorang ibu, karena menjadi seorang ibu itu pilihan bukan merupakan suatu kewajiban. Jadi, perempuan, apakah kamu perempuan yang ingin menjadi ibu atau tidak? (Fala/Bian)