“Layaknya ular liar dalam kumpulan domba jinak giringan sang pengembala, ular harus terus diwaspadainya karena jika ular luput dari pengawasan si pengembala, niscaya ia akan menyergap domba sekaligus si pengembala.”
Demikian, ular tersebut layaknya rakyat Komunitas Tiga Ruang (KTR). Mereka berjiwa liar dalam pemikiran dan berbisa dalam tindakan. Dalam tulisan ini, saya tak akan berbicara sejarah maupun peranan KTR dalam membangun citra kampus filsafat tercinta. Mengapa? Karena jiwa-jiwa KTR sebagian besarnya adalah antiakademik.
Namun, saya juga tak berhak menilai ataupun menggeneralisasi sedemikian rupa. Hal ini karena pada hakikatnya, tiap-tiap individu KTR itu ‘unik’. Untuk itu, sudut pandang tulisan ini menggunakan sudut pandang jiwa-jiwa non-KTR terhadap jiwa-jiwa KTR, kemudian saya analisis secara lebih dalam dan saya cari hikmah di balik fenomena ini.
Seperti judul di atas, kurang lebih judul tersebut adalah citra yang ditujukan kepada jiwa-jiwa KTR. Namun, saya yakin bahwa mereka yang menempelkan atau menyebarkan citra demikian adalah jiwa-jiwa yang belum sepenuhnya menghayati KTR. Maksudnya, mereka hanya menangkap lapisannya saja. Lapisan yang saya maksud di sini adalah hal yang dapat dilihat secara langsung. Sementara, isi di dalamnya yang tidak dapat dilihat secara langsung belum sepenuhnya mereka pertimbangkan, apalagi dihayati.
Seperti halnya label “kemalasan” yang telah melekat untuk membayangkan jiwa-jiwa KTR. Label kemalasan yang dimaksud adalah rasa malas untuk masuk ruang kuliah. Alhasil, label tersebut membuat jiwa-jiwa KTR seakan-akan memiliki citra yang buruk di mata mereka, jiwa-jiwa non-KTR. Tentu pertanyaan kita sekarang adalah, “Mengapa jiwa-jiwa KTR malas masuk ruang kuliah?”
Pertama, pengetahuan di ruang kelas tidak merangsang mereka untuk berpikir dan bertindak. Jadi, sebenarnya hal yang mereka kritik adalah metode pengajaran dosen yang cenderung deskriptif, sedikit analisis, dan secuil argumentatif. Toh, apa bedanya dengan usaha ‘baca buku saja’ yang berhubungan dengan perkuliahan tersebut?
Kedua, pengetahuan di ruang kelas hanya menimbulkan ingatan, bukan keadaan. Maksudnya, materi-materi yang disampaikan dosen maupun teman-teman saat presentasi sesungguhnya hanya mengutip pemikiran dan quotes dari filsuf yang bersangkutan. Terlebih lagi, pemikiran-pemikiran filsuf yang dijelaskan berasal dari luar negeri yang pada dasarnya berbahasa asing. Jadi, ketika dialihbahasakan atau sekadar dibacakan dalam bahasa Indonesia, makna dan emosi pemikiran sang filsuf sulit sampai kepada pendengar. Oleh karena itu, sebagaimana telah saya sampaikan, bahwa hanya ingatan mengenai kumpulan kata-kata filsuf yang sampai di otak pendengar, bukan keadaan. Keadaan yang saya maksud adalah serapan emosi serta makna yang ada di dalam pemikiran filsuf tersebut.
Ketiga, sesi curhat yang berlebihan dan berkepanjangan. Jadi, jangan kaget kalau setengah waktu perkuliahan hanya diisi oleh pengalaman-pengalaman pribadi bapak dan ibu dosen pecinta kebijaksanaan ini.
Terlepas dari ironi dinamika di dalam kelas, fenomena ‘males-malesan‘ jiwa-jiwa KTR ini mirip dengan fenomena ‘counter culture’ yang terjadi di Amerika Serikat sekitar 40 tahun yang lalu. Saat itu, kaum muda berusaha membentuk kebudayaan tandingan yang menjunjung tinggi kebebasan individu dengan menjadi hippies.
Omong-omong tentang budaya, jiwa-jiwa KTR memiliki kerohanian yang tinggi, dalam arti kerohaniannya lebih mendominasi dibanding kejasmaniahannya. Jakob Sumarno dalam buku Filsafat Seni-nya menjelaskan, “Jika masyarakat di suatu daerah lebih mengurus kejasmaniahannya, lahirlah peradaban. Sebaliknya, jika kerohaniannya yang lebih menonjol, terciptalah kebudayaan.” Itulah sebabnya mereka, jiwa-jiwa KTR, mampu untuk membentuk budaya-budaya tandingan.
Kerohanian yang kuat akan menghasilkan kebudayaan. Namun, jangan diartikan kerohanian jiwa-jiwa KTR itu condong ke arah religiusitas, sebab hal ini tidak mungkin terjadi atau ditemukan, bahkan dengan menggunakan kajian ontologi sekalipun. Ontologi hanya membahas sesuatu ‘yang ada’ dan ‘yang mungkin ada’, sedangkan religiusitas jiwa-jiwa KTR bersifat ‘tiada’. Oleh karena itu, kerohanian jiwa-jiwa KTR lebih mengarah kepada spiritualitas.
Spiritualitas jiwa-jiwa KTR terlihat pada malam hari di depan ‘gerbang pengetahuan’ Perpustakaan Fakultas Filsafat (sekarang bertempat di Selasar Fakultas Filsafat). Dalam ritual ini, mereka tidak membutuhkan dedaunan atau wejangan-wejangan sebab, mereka hanya membutuhkan cairan-cairan bening yang memabukkan. Saat itulah, mereka merasa bebas dengan disaksikan Dionysius yang melegenda dan mantranya yang berbunyi, “Mabuk adalah sarana penyatuan terhadap dewa, Dewa Dionysius.” Itulah realitanya, hampir semua jiwa-jiwa KTR adalah peminum dan sebagiannya adalah apresiator jiwa-jiwa yang mabuk.
Namun, jangan sekali-sekali memandang mereka sebagai jiwa-jiwa yang ‘nggak bener’. Mabuk hanyalah alat bagi mereka untuk berdiskusi atau biasa mereka sebut ‘mabuk intelektual’. Jadi, dengan mabuk, mereka dapat lebih plong berbicara dan seolah-olah tak pernah kehabisan bahan diskusi, serta–yang terpenting–hasrat bawah sadar mereka dapat tercurahkan dengan total.
Selain itu, mabuk juga berguna untuk sekadar melupakan kesibukan-kesibukan duniawi. Layaknya perkataan Clive Bell tentang ‘significant form’-nya, “Tujuan karya seni adalah memberikan emosi estetik terhadap penikmatnya yang berakibatkan pengenalan pengalaman yang belum pernah ia rasakan pada kehidupan duniawi.” Jadi, mabuk itu mirip dengan seni karena keduanya sama-sama menimbulkan emosi estetis bagi penikmatnya. Mabuk juga mirip dengan ibadah karena keduanya sama-sama memberikan penghayatan terhadap pengalaman transenden.
Dari fenomena kemalasan dan mabuk-mabukan jiwa-jiwa KTR tersebut, dapat kita lihat bahwa jiwa-jiwa KTR lebih mengarah pada Dionysius dengan chaos-nya ketimbang keteraturan khas Apollonian. Sebab, jiwa-jiwa KTR pada hakikatnya adalah manusia-manusia ‘pemberontak’. Contoh yang paling dekat adalah fenomena penolakan jiwa-jiwa KTR terhadap Badan Eksekutif Mahasiswa-Keluarga Mahasiswa (BEM-KM). Penolakan mereka didasari oleh pemikiran bahwa adanya suatu organisasi eksekutif akan menciptakan satu kelas yang lebih tinggi dah hal tersebut menyebabkan terjadinya sistem penindasan.
Terlepas dari segala chaos-nya, sesungguhnya mereka mendambakan keteraturan khas Apollonian. Namun, yang perlu digaris bawahi adalah keteraturan bukan sebagaimana adanya sebab, keteraturan saat ini adalah keteraturan semu (dalam arti hanya penampakannya saja yang teratur sedangkan di dalamnya chaos). Inilah yang membuat jiwa-jiwa KTR ingin memberontak ke dalam inti chaos yang dilindungi topeng keteraturan. Seperti kata Bang Albert Camus, “Pemberontakan itu memberi nilai pada kehidupan dan mengembalikan kebesaran pada eksistensi manusia.”
Sebelum mengakhiri tulisan ini, mungkin masih banyak pembaca yang berpikir bahwa tulisan ini hanya ‘suatu pembelaan’. Toh, saya sendiri adalah waga KTR. Untuk itu, saya kembalikan lagi kepada pembaca sekalian. Semoga dengan membaca dan menghayati tulisan ini, pembaca dapat lebih bersikap toleran terhadap jiwa-jiwa KTR dan kepada manusia-manusia pemalas, pemabuk, sekaliber pemberontak di seluruh jagad raya. Sebab, pada hakikatnya, kita tak tahu apa yang ada di balik manusia-manusia macam itu.
Satu pesan saya: Jika tulisan ini hanya menimbulkan dan menambah pengetahuan pembaca tentang jiwa-jiwa KTR, maka dapat dibenarkan bahwa saya sekadar melakukan pembelaan. Namun, jika tulisan ini menumbuhkan sikap toleransi pembaca dan berujung pada empati yang tinggi terhadap manusia-manusia sedemikian rupa, maka di situ pembelaan telah lebur bersama kebenaran. [Moksha Imanahatu]
Artikel ini sebelumnya sudah diterbitkan dalam “Surat Kabar Pijar”edisi ke-16 tahun 2015. Ditulis oleh Moksha Imanahatu, disunting ulang oleh Melvinda Eliana dan Sukma Kanthi.