(bpmfpijar.com/Alfian Rudianto)
Selasa (20/10) massa aksi Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) menggelar simulasi Dewan Rakyat dalam aksi “Ruang Rakyat: Semua adalah Warga” di Bunderan Universitas Gadjah Mada (UGM). Simulasi tersebut merupakan cara ARB menyebarkan wacana dari sistem yang termuat dalam Mosi Tidak Percaya.
Lusi, Humas ARB, menyatakan bahwa keberadaan Dewan Rakyat tidak hanya lahir dari kontroversi UU Cipta Kerja tetapi lahir dari sistem kekuasaan yang menindas rakyat sepanjang sejarah. Menurutnya, konsep Dewan Rakyat mencakup: (1) Partisipasi langsung untuk mencapai konsensus; (2) Otonomi individu; (3) Horizontalisme; (4) Interelasi; dan (5) Inklusi.
Menurut Revo, Humas ARB, Rezim hari ini bukan lah rezim yang memihak sipil. Rezim hari ini justru melakukan tindakan yang paling buruk dari penyelenggaraan demokrasi karena tidak lagi mendengar suara rakyat. “Pembentukan Dewan Rakyat adalah bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan partisipasi politik langsung,” ujarnya.
Pada pukul 16.00 WIB, setelah orasi dan penampilan seniman, simulasi Dewan Rakyat dimulai di panggung rakyat. Dalam simulasi tersebut hadir Yance dari aliansi mahasiswa Papua, Kawit dari Parangkusumo, dan Aziz dari pemuda Wadas. Mereka menyampaikan permasalahan yang disebabkan oleh negara di tanah asalnya masing-masing.
Yance menyampaikan berbagai permasalahan pendidikan dan kesehatan yang terkonsentrasi di pusat kota. Ia menyebutkan anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk akses kesehatan di Papua hanya 94,4 triliun rupiah selama 20 tahun. Dampaknya, pada tahun 2000, anak-anak di Papua menderita gizi buruk dan 2300 jiwa di antaranya meninggal dunia.
“Timbulnya gizi buruk akibat perusahaan emas yang membuang limbahnya ke air, sementara air tersebut dikonsumsi oleh masyarakat. Belum lagi persoalan penggusuran masyarakat yang tinggal di sekitaran tambang emas tersebut oleh militer,” pungkasnya.
Yance menutup pembicaraan dengan menyuarakan pembungkaman suara mengenai HAM dan persoalan tambang Freeport.
Kawit lantas melanjutkan pembicaraan. Ia menyampaikan bahwa ia menyaksikan penggusuran paksa 97 rumah di daerah Karangbolong pada tahun 2007. Pemerintah, ujarnya, merobohkan rumah-rumah sebelum ada kejelasan mengenai ganti rugi. Kejadian tersebut, ujarnya, berulang di tahun-tahun selanjutnya.
“Selama enam tahun saya memperjuangkan kepemilikan tanah. Di tahun 2016 saya mendapat giliran digusur dengan alasan untuk tambang pasir,” ujarnya.
Setelah itu, Aziz menyampaikan bahwa Desa Wadas akan terkena dampak penggusuran untuk bahan material bendungan Bener. Penggusuran tersebut, ujarnya, menghilangkan lebih dari satu desa di kaki gunung. Penambangan bahan material menggali sedalam 75 meter dengan luas sekitar 200 hektar. “Penolakan terhadap penggusuran adalah pencegahan kerusakan alam yang semakin besar,” ujarnya.
“Kapolres Purworejo mengusahakan pertemuan dengan tokoh masyarakat yang dibatasi untuk 3-4 orang, tetapi opsi ini pun juga ditolak warga yang menginginkan semua yang terdampak bisa terlibat menentukan nasibnya. Ditakutkan pembatasan pertemuan justru menghasilkan kesepakatan yang justru menyeleweng,” ujarnya.
Aziz pun menyampaikan bahwa izin penetapan lokasi sudah habis di bulan Maret 2020 tetapi diperpanjang satu tahun. Perpanjangan izin tersebut, menurutnya, mengakibatkan terjadinya konflik tanah sebab warga menolak. “Desa Wadas bisa dikatakan aman jika bendungan Bener itu bener-bener gagal,” pungkasnya
Aziz menilai keberadaan Dewan Rakyat bisa menjadi wadah bagi rakyat menyampaikan suaranya langsung tanpa perwakilan. Ia mengharapkan penyelenggaraan Dewan Rakyat ke depan sama dengan simulasi hari itu.
Alfrida, salah satu massa aksi dari Universitas Negeri Yogyakarta, menyampaikan bahwa pembentukan Dewan Rakyat merupakan hal yang penting supaya masyarakat kecil bisa didengar, tidak hanya disampaikan perwakilan yang juga diisi oleh para elit politik.
(Ayom/Pramodana)