“Hari ini, kami menuntut supaya mereka (Jokowi dan kroni-kroninya) dituntut secara adil dan diakhiri segala macam bentuk keberlanjutan serta keberlangsungan kekuasaannya,” tegas Sana Ulaily, selaku Humas Jagad.
Pada Selasa (13/02), mahasiswa, akademisi, dan berbagai elemen masyarakat Yogyakarta yang tergabung dalam Jaringan Gugat Demokrasi (Jagad) menyelenggarakan aksi Gejayan Memanggil Lagi di pertigaan Colombo. Aksi ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan terhadap kemunduran demokrasi dan berbagai kelancungan yang terjadi dalam rezim Jokowi. “Kita tunjukkan hari ini aksi bersama sebagai simbol bagi kita sebagai warga yang merdeka terhadap situasi represi negara,” ujar Sana.
Aksi ini dimulai pada pukul 15:13 WIB dengan memecahkan tujuh gentong di lokasi titik kumpul, bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM). Gentong yang berjumlah tujuh tersebut bukanlah tanpa alasan. Sana menyampaikan bahwa angka tujuh, yang dalam bahasa Jawa disebut pitu, memiliki makna pitulungan (pertolongan). “Hari ini kita berkumpul untuk meminta pertolongan kepada semesta dan semua orang yang masih peduli dengan demokrasi hari ini,” ungkap Sana. Kata-kata terkait Jokowi, menyelimuti gentong-gentong tersebut dan oleh Sana, disebut sebagai tujuh dosa Jokowi. “Dengan memecahkan tujuh gentong itu, kami berharap bahwa tujuh ketamakan (dosa) Jokowi beserta rezim-rezimnya betul-betul dienyahkan dan dihancurkan dari muka bumi ini,” harap Sana.
Jagad menggaungkan aksi yang mewakili kegelisahan terhadap situasi demokrasi saat ini. Bagi mereka, demokrasi hari-hari ini merupakan demokrasi borjuis, yaitu demokrasi yang pemilunya dikuasai oleh partai politik milik kaum pemodal yang tidak mewakili kehendak rakyat. Maka mereka membawa narasi besar “Hancurkan dan Adili Rezim Jokowi, Selamatkan Demokrasi”. Situasi demokrasi terkini rusak dan rakyat menolak diam. “Ini menjadi penanda bahwa kita menolak tinggal diam atas situasi ketidakadilan, situasi rusaknya demokrasi substansial hari ini akibat ulah rezim Jokowi,” terang Sana. Lebih lanjut, Sana mengungkapkan bahwa aksi ini, selain menjadi simbol resistensi terhadap berbagai kebatilan negara, juga merupakan seruan lantang untuk turun dan berteriak. “Akhiri diskusi minggu ini. Kita semuanya turun ke jalan,” lanjutnya.
Selang beberapa menit dari pemecahan tujuh gentong, massa aksi mulai jalan beriringan menuju pertigaan Colombo. Orasi demi orasi serta lagu “Darah Juang” membersamai perjalanan ini. “Kami, Jaringan Gugat Demokrasi, kembali menyuarakan kepada masyarakat Indonesia bahwa demokrasi telah dihancurkan oleh pemerintahan Jokowi hari ini,” ucap salah satu orator, perwakilan mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII).
Demokrasi Darurat, Rakyat Menggugat!
Ketika sampai di pertigaan Colombo, massa berhenti. Pihak Jagad membacakan serangkaian tuntutan di depan massa. Tuntutan tersebut berisi kecaman terhadap berbagai penyelewengan dan kemerosotan demokrasi yang terjadi di rezim Jokowi:
- Revisi UU pemilu dan partai pemilu oleh badan independen
- Adili Jokowi dan kroni-kroninya
- Menuntut permintaan maaf intelektual dan budayawan yang mendukung politik dinasti
- Stop politisasi bansos
- Cabut UU Cipta Kerja dan Minerba
- Hentikan operasi militer, tuntaskan pelanggaran HAM, dan memberikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua.
- Hentikan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan demokrasi.
- Jalankan pengadilan HAM
- Pendidikan gratis bagi seluruh warga Indonesia.
- Sahkan UU PRT (Pekerja Rumah Tangga)
Berbagai elemen turut menyuarakan keresahan lewat orasinya, termasuk Masduki—akademisi sekaligus inisiator Forum Cik Di Tiro. Lewat orasinya, Masduki menyerukan agar dihentikannya politik dinasti dan ketamakan berkuasa yang terjadi dalam masa kepemimpinan Jokowi. “Salah satu ciri dari “musim gugur”, yaitu adanya ketamakan untuk berkuasa dan upaya untuk melanjutkan kekuasaan, melalui intervensi lembaga peradilan,” jelasnya. Perwakilan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga turut serta dalam aksi dengan menyampaikan pernyataan sikap AJI. “Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan sikap. Presiden Jokowi harus berhenti menyalahgunakan kekuasaan karena merusak demokrasi dan integritas pemilu,” ucap perwakilan dari AJI.
Nugroho Prasetyo Aditama selaku Humas Jagad juga mengamini bahwa terjadi kemunduran demokrasi akhir-akhir ini. Ia melihat bahwa penguasa telah menyeleweng sebab melakukan monopoli untuk mengawetkan kekuasaannya. “Demokrasi sekarang tidak diserahkan ke rakyat, tapi kemudian menjadi milik penguasa kembali,” ungkap Nugroho. Lebih lanjut, menurutnya, iklim demokrasi terkini memang sedang morat-marit. Sehingga aksi ini semestinya dibaca sebagai bentuk keprihatinan yang mencerminkan kecintaan pada negara. “Kekuasaan harus dikembalikan ke rakyat,” tambah Nugroho.
Kemudian, Muhammad Yasir, sebagai salah satu peserta aksi, mengungkapkan bahwa kurva demokrasi di Indonesia tengah menurun. Baginya, di tengah era genting—ketika marwah mahasiswa sebagai penggerak sudah pudar—aksi ini menjadi bukti bahwa ada segolongan orang yang masih bertahan mengawal demokrasi. “Massa yang berkumpul di sini, setidaknya bisa menjadi pemantik untuk aksi massa yang lebih besar lagi,” ujar Yasir. Ia berharap ke depannya setiap elemen masyarakat bisa mengawal para pemimpin dan mempertahankan semangat demokratisasi. “Kekuasaan itu rasanya bisa kita kritisi bersama,” tandasnya.
Selain itu, Jagad juga menegaskan perlunya semua pihak dituntut secara adil, untuk mengakhiri siklus kekuasaan yang didominasi oleh rezim patriarkis. “Tidak ada satu pun aspek dari nilai-nilai Pancasila yang sebenarnya tercermin dalam rezim saat ini, eksploitasi ini hanya memperkaya para kapitalis tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat,” tegasnya.
Pukul 18:00 WIB, aksi Gejayan Memanggil Lagi diakhiri dengan pertunjukan teatrikal pemancungan Jokowi. Terdapat algojo yang bersiap mengulur tali dan dengan kompak, massa aksi bersorak, “Adili! Adili! Adili!”. Sana mengungkapkan bahwa pemancungan tersebut mengisyaratkan tuntutan untuk mengakhiri drama politik selama dua periode kepemimpinan Jokowi.
Penulis: Giovanni Ramadhani & Satrio Yudhoyono (Magang)
Penyunting: Angelina Tiara Puspitalova
Fotografer: Raehan Mahardika, Angelina Tiara Puspitalova, Satrio Yudhoyono