(bpmfpijar.com/Pramodana)
Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Sigit Riyanto, menyampaikan bahwa terdapat beberapa masalah baik dalam aspek material maupun tahap penyusunan di dalam UU Cipta Kerja. Permasalahan tersebut ia sampaikan pada konferensi pers FH UGM merespons UU Cipta Kerja, Selasa (6/10).
Paradigma hukum dalam UU Ciptaker mengarahkan negara, menurut Sigit, pada pengelolaan sumber daya yang ekstraktif. Pendekatan itu tentu saja berbahaya dan bertentangan dengan arus global yang mengutamakan proses inovatif dan peduli lingkungan.
Menurut Sigit, UU Ciptaker menggunakan pendekatan liberal-kapitalistik sebagai praktek perekonomian negara. “Ini tentu tidak sesuai ruh konstitusi dan spirit dari para pendiri bangsa,” kata Sigit.
Dengan dua pendekatan tersebut, menurut Sigit, UU Ciptaker mengesampingkan perlindungan terhadap warga negara dan justru semakin memarginalisasi warga negara.
Di luar permasalahan substansi tersebut, UU Ciptaker tidak mengacu pada proses penyusunan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan dan visioner. Suara publik, baik dari masyarakat sipil dan akademisi tidak dipertimbangkan bahkan dikesampingkan oleh DPR.
Cacat penyusunan tersebut juga disesalkan oleh ketua Dema Justicia, Aisha Jasmine. Ia menyampaikan bahwa kajian-kajian Dema Justicia sama sekali tidak dipertimbangkan DPR meski telah diberikan kepada para pemangku kebijakan.
Karena itu, mewakili mahasiswa FH UGM, Aisha menyerukan mosi tidak percaya, sebagai bentuk kecaman terhadap pemerintah yang akan mereka gelorakan sampai UU Ciptaker dicabut.
Sebagai respons terhadap cacat penyusunan tersebut, dosen hukum tata negara UGM, Zainal Arifin, mengatakan, “Kita semua harus teriakkan bersama UU ini. Pembangkangan sipil atau apa pun pilihannya, silahkan dipikirkan”. Tekanan publik, menurutnya, merupakan bentuk partisipasi. Dengan begitu, presiden bisa membuat semacam pernyataan politik.
Lantas, Zainal mengatakan bahwa judicial review diperlukan karena UU ini secara nyata membelakangi partisipasi publik. “Saya membahasakannya sebagai legislasi yang menyebalkan setelah revisi UU KPK, revisi UU MK, dan UU Minerba kemarin,” ujarnya.
UU Cipta Kerja disahkan pada Senin, 5 Oktober 2020. DPR mengesahkan UU problematis ini di tengah gelombang unjuk rasa di berbagai daerah dan kritik dari berbagai kalangan. UU Ciptaker ini juga, menurut Zainal, lebih mementingkan investasi dibanding hak asasi, lingkungan, dan izin administrasi sehingga dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan.
(Pramodana/Isabella)