Senin, 2 Mei 2016 civitas UGM baik itu mahasiswa, karyawan, maupun pedagang melakukan aksi massa. Memperingati Hari Pendidikan Nasional kiranya tepat civitas UGM memberikan nama aksi tersebut sebagai “Pesta Rakyat UGM”. Selayaknya aksi massa, tuntutan-tuntutan dikeluarkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap penguasa (Rektorat). Namun, ada hal yang berbeda saat Pesta Rakyat UGM pada malam hari.
Iring-iringan musik dan nyayian mulai membahana di Balairung. Mahasiswa hanyut dalam gelak tawa dan bergoyang mengikuti syahdunya irama. Semua beban seolah hilang dan berganti dengan senyum hangat penuh rasa kekeluargaan. Keistimewaan masih berlanjut, saat hari semakin malam dua orang “pembesar” UGM, Pak Senawi dan Pak Iwan datang menyapa rekan-rekan mahasiswa. Mendengar musik dangdut yang mengalun dan godaan kecil dari mahasiswa agar keduanya ikut bergoyang akhirnya membuat tubuh kedua “pembesar” ikut berdendang. Luar biasa pikir saya kala itu.
Dangdut ibarat sebuah gravitasi yang selalu berhasil membumikan gengsi seseorang. Siapapun yang mendengarkannya seolah tak mampu menahan hasrat ingin bergoyang. Saya berani bertaruh, bahwa dangdut sebenarnya hadiah dari Tuhan bagi bangsa ini. Sebab, dangdut acapkali dapat mempersatukan masyarakat di negeri ini. Sebagaimana lazimnya musik, dangdut acapkali berhasil mempunyai pengikut yang fanatik. Walaupun terkadang banyak juga yang bertengkar gara-gara dangdut. Peranan dangdut bagi bangsa ini saya ras cukup besar. Anggota DPR kita tentu pernah menyanyi dangdut dengan rekan-rekan politiknya ketika berkaraoke sembari melakukan lobi-lobi penting untuk negeri ini.
Lagu dangdut memang dianggap paling ampuh untuk membuat suasana meriah. Selain itu lirik lagu dangdut juga gampang diingat, sehingga banyak orang yang menghapalnya dan otomatis bernyanyi jika mendengar lagu tersebut. Sebagai contoh lirik-lirik yang terkandung dalam dangdut penuh muatan yang manusiawi, seperti “begadang jangan begadang, kalau tiada artinya” karya Bang Haji Rhoma Irama, atau lagu Bang Toyib yang jarang pulang selama tiga kali lebaran.
Musik dangdut yang menghentak memang hal yang paling bisa mencairkan suasana. Contohnya, jika sedang berada di acara gathering atau kumpul dengan keluarga, musik dangdut selalu menjadi andalan untuk berkaraoke bersama. Meeting non-formal di kantorpun akan menjadi lebih relaks jika musik dangdut diputar sebagai selingan.
Dangdut juga terbukti dapat menghadirkan massa yang masif. Sebab, dangdut selalu berhasil menjadi musik yang merakyat. Tipikal masyarakat Indonesia yang senang dengan keramaian dan perayaan menjadi celah bagi dangdut untuk mengambil peranan. Mulai dari perayaan yang berhubungan dengan budaya, hingga terkait dengan agama seperti perayaan Hari Lebaran. Belum lagi hal-hal seremonial seperti pernikahan, sunatan atau hajatan politik. Semuanya perlu dirayakan dengan sorak-sorai yang meriah. Tentu tidak seru jika hajatan atau perayaan yang kita buat sepi-sepi saja. Nah, di sinilah dangdut mengambil peran.
Dangdut punya daya pikat yang sangat magis, sehingga hajatan hajatan yang kita buat tidak mungkin sepi jika panggung dangdutan disediakan. Terlebih untuk kampanye politik. Sudah menjadi pemandangan wajar di Indonesia, ketika goyang dangdut lebih dinikmati penonton daripada politisi yang sedang menyampaikan visi misinya.
Dangdut juga bisa menjadi bentuk pembelajaran bagi para petinggi UGM. Para petinggi UGM juga mestinya belajar dari Bang Haji Rhoma Irama Si Raja Dangdut yang kesohor seantero negeri ini.
Hormati hak asasi manusia …
… Karena itu fitrah manusia …
Wejangan ini, berasal dari salah satu lagu Bang Haji berjudul Hak Asasi Manusia. Bukan berarti Bang Rhoma pernah gabung di lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ya. Bukan, sekali lagi bukan! Dengan dua bait lagu itu, Bang Haji seolah berpesan kepada para petinggi UGM bahwa hak asasi pedagang Bonbin mestinya dihormati, sehormat-hormatnya manusia. Sebab, itu adalah fitrah mereka sebagai manusia terhormat.
… Kita semua bebas memilih … Jalan hidup yang disukai …, kata Bang Haji dalam bait selanjutnya.
Artinya, para petinggi UGM harus legawa atas tuntutan mahasiswa untuk bebas memilih mengkritik setiap kebijakan kampus, asalkan rasional disertai data-data yang konkret. Atau setidaknya, memilih untuk menuntut transparansi atas keuangan yang digunakan dari UKT para mahasiswa.
Pada akhirnya, warga UGM sendiri yang berhak menentukan pilihannya masing-masing dengan segala konsekuensinya di kemudian hari. Bukan ditentukan secara sepihak tanpa melibatkan mahasiswa, ataupun civitas di dalamnya.
Lagu seri dari sekuel lagu Ngamen, yang dipopulerkan oleh Eny Sagita, lagu Ngamen II ini saya pilih karena mempunyai daya magis yang kuat terhadap kepedulian dunia dan akherat. Mudah-mudahan bisa menjadi nasihat bagi para petinggi UGM.
W-eling manungso bakale mati
Yen wes mati dikubur sanak famili
Dipendem jero diapit bumi
(Ingat-ingat manusia bakal mati
Jika sudah mati dikubur sanak famili
Dikubur dalam diapit bumi)
Lirik di baris awal lagu Ngamen II ini mengingatkan kepada kita bahwa manusia pastilah akan mati. Sungguh sebuah dakwah yang halus dan elegan, karena mengajak menusia untuk mengingat maut serta senantiasa berbuat baik sebagai bekal amal. Lirik ini juga menjadi penanda, para petinggi UGM dan kita selaku civitas UGM haruslah sebanyak mungkin berbuat hal yang bijaksana di dunia ini.
Mangkane golek bojo ojo mandang rupo
Rupo elek kuwi yo ora dadi ngopo
Mangkane golek bojo ojo mandang bondo
Seng penting ora ngentekno warisan morotuwo
(Makanya cari suami jangan memandang muka
Muka jelek tidak jadi apa
Makanya cari suami jangan memandang harta
Yang penting tidak menghabiskan warisan mertua)
Jika baris awal lebih fokus pada perkara akhirat, di bagian akhir lagu ini justu membahas tentang dunia. Tak tanggung-tanggung, yang dibahas adalah persoalan dalam mencari suami. Bahwa mencari suami tidaklah harus yang tampan atau yang kaya, yang penting bisa bertanggung jawab terhadap keluarga. Saya pribadi sangat suka pada bagian lirik lagu ini, terutama pada bagian “Mangkane golek bojo ojo mandang rupo.”
Lalu apa yang bisa direfleksikan bagi petinggi UGM adalah penarikan UKT janganlah mempertimbangkan orang-orang yang kaya saja tetapi masyarakat kecil juga diperhatikan. Sehingga UKT menjadi hal yang benar-benar berkeadilan. Jangan sampai yang kaya mendapat UKT rendah sedangkan yang miskin mendapat golongan UKT tinggi.
Terlepas dari suka atau tidak suka kita terhadap musik dangdut, kewajiban kita untuk merefleksikan permasalahan yang ada menjadi tujuan yang ingin dicapai. Dangdut bagi saya merupakan salah satu yang dekat dengan keseharian. Dangdut mampu mencairkan suasana yang tegang menjadi riang gembira. Dangdut mampu menjadi gaya gravitasi agar orang yang “sudah terbang tinggi” kembali merakyat. Syahdan, marilah bersama-sama mewujudkan “Pesta Rakyat” lainnya. Terakhir, jangan lupa, mari kita bergoyang kawan-kawan! (Tejo/Ohang)