Ilustrasi: Shilfina

Sebelum saya memaparkan kekecewaan D.N. Aidit kepada Universitas Gadjah Mada, ada baiknya saya paparkan terlebih dahulu alasan mengapa saya menulis artikel singkat ini. Pertama, saya menulis ini atas kesadaran pribadi tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada almamater saya sendiri Universitas Gadjah Mada, Mohammad Hatta, dan D.N. Aidit. Tentu saja terlepas dari pro-kontra yang hadir saat ini bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah “musuh Pancasila” dan segala sifat negatifnya. Kedua, saya menuliskan artikel ini bukan untuk menjelekkan nama institusi UGM ataupun Moh. Hatta. Saya menuliskan ini hanya sebagai kenyataan sejarah bahwa D.N. Aidit pernah menuliskan kekecewaannya terhadap UGM dan Hatta. Ketiga, artikel sederhana ini juga bukanlah pembelaan terhadap Aidit selaku ketua PKI, melainkan hanya sebagai bahan wacana keilmuan yang selama ini memandang Moh. Hatta sebagai sosok sempurna. Padahal Moh. Hatta juga bukan dewa atau nabi yang tindak-tanduknya tidak menuai kesalahan, ia juga seorang politisi yang bisa salah.

Ada hal menarik tentang Hatta dalam pidato D.N. Aidit pada tanggal 11 Februari 1957. Aidit yang kala itu menjabat sebagai Ketua PKI memberikan pidato di Gedung DPR guna menjawab keterangan Udin Samsudin dari Fraksi Masjumi terkait Peristiwa Madiun. Dalam pidato Aidit yang berkobar itu, ia menerangkan bahwa Peristiwa Madiun erat kaitannya dengan Hatta yang melancarkan gerakan kontra-revolusioner melalui gerombolan Simbolon dan Ahmad Husein. Puncak gerakan kontra-revolusioner tersebut dicapai lewat diproklamasikannya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” di Padang oleh gembong-gembong Masjumi-Partai Sosialis Indonesia (PSI) seperti Syafruddin Prawiranegara dan Sumitro Djojohadikusumo. Dengan demikian, Hatta sebagai politisi ternyata memiliki sisi kelam sebab ia diduga sebagai “dalang” dari peristiwa berdarah di Madiun (Peristiwa Madiun).

D.N. Aidit juga menyesali sikap Universitas Gadjah Mada yang memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada Hatta. Sikap Aidit yang menyesali pihak UGM dipantik oleh pidato Hatta saat menerima gelar Doctor Honoris Causa yang ternyata mengkhianati Revolusi Agustus. Sikap Aidit tertuang dalam pidatonya yang berjudul “Konfrontasi Peristiwa Madiun (1948)-Peristiwa Sumatra (1956)” yang di dalamnya menyebut Hatta sebagai gembong dari Peristiwa Madiun. Aidit mengatakan bahwa “Saja merasa lebih2 ikut berdosa lagi ketika membatja pidato Hatta waktu menerima gelar Dr. HC (baca: Doctor Honoris Causa) dari Universitas ‘Gadjah Mada’ dimana dengan tegas dikatakanja bahwa revolusi harus dibendung” (D.N. Aidit, 1960: 141). Kemudian Aidit memberikan pandangan subjektifnya terkait pemberian gelar tersebut,

“… Universitas ‘Gadjah Mada’ sudah tiga kali memberikan gelar kehormatan, pertama kepada Presiden Soekarno, kedua kepada Hatta dan ketiga kepada Ki Hadjar Dewantara. Pemberian jang pertama dan ketiga, menurut pendapat saja, adalah tepat, karena Universitas ‘Gadjah Mada’ jang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada orang2  revolusioner, pengabdi2 revolusi. Tetapi pemberian jang kedua, jaitu kepada Hatta, maaf, adalah sutu kekeliruan jang mungkin tidak disengadja. Betapa tidak keliru, sebuah universitas jang dilahirkan oleh revolusi memberikan gelar kehormatan kepada seorang jang ingin membendung revolusi, kepada kontra-revolusioner.” (D.N. Aidit, 1960: 141).

Begitulah kenyataan sejarah yang benar-benar terjadi sampai saat itu. Pandangan perihal kekecewaan Aidit adalah buntut dari dugaan bahwa Hatta lah gembong dari Peristiwa Madiun. Konteks kejadian Peristiwa Madiun menurut Aidit diawali oleh kejadian-kejadian di Solo dengan terbunuhnya Kolonel Sutarto, Komandan TNI Divisi IV, dan pada awal September 1948 dengan penculikan serta pembunuhan terhadap lima perwira TNI (Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Supardi, Kapten Surandi dan Letnan Muljono). Tak berhenti pada pembunuhan para perwira TNI, diculiknya dua anggota PKI yang bernama Slamet Widjaja dan Pardijo ikut memperkeruh suasana saat itu. Keduanya diculik pada tanggal 24 September 1948 dan dimasukkan ke kamp resmi Danuredjan, Yogyakarta.

Dalam pidato Soekarno tanggal 19 September 1948, Peristiwa Solo dan Peristiwa Madiun tidak berdiri dengan sendirinya, melainkan ada campur tangan orang lain. Setelah peristiwa di Solo, keadaan di Madiun saat itu menjadi sangat tegang. Ketegangan itu kemudian berubah menjadi pertempuran antara pasukan dalam Angkatan Darat yang pro-penculikan melawan pihak Angkatan Darat yang anti penculikan serta pembunuhan di Solo.

“… pertempuran pada tanggal 18 September 1948 malam. Dalam keadaan katjaubalau demikian ini Residen Kepala Daerah tidak ada di Madiun, Wakil Residen tidak mengambil tindakan apa2 sedangkan Walikota sedang sakit. Untuk mengatasi keadaan ini maka Front Demokrasi Rakjat, di mana PKI termasuk didalamja, mendesak supaja Kawan Supardi, Wakil Walikota Madiun bertindak untuk sementara sebagai pejabat Residen selama Residen Madiun belum kembali. Wakil Walikota Supardi berani mengambil tanggungdjawab ini. Pengangkatan Kawan Supardi sebagai Residen sementara ternjata djuga disetudjui oleh pembesar2 militer dan pembesar2 lainnja.” (D.N. Aidit, 1960: 128).

Selanjutnya kejadian itulah yang dinamakan oleh Hatta sebagai tindakan “merobohkan pemerintah Republik Indonesia”, tindakan “mengadakan kudeta”, dan tindakan “mendirikan pemerintah Sovjet”.

Aidit kemudian membandingkan tindakan komplotan Simbolon dan “Dewan Banteng” di Sumatra yang jelas-jelas telah berusaha menentang pemerintahan Republik Indonesia tidak dikenakan tindakan yang tegas. Jika dengan hanya mengangkat wakil walikota menjadi residen sementara sudah dianggap mendirikan pemerintah Soviet, maka betapa mudahnya menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia? Tentu hal tersebut keliru melihat bukti bahwa kegagalan kudeta gerombolan Simbolon dan merosotnya pamor “Dewan Banteng”, sementara Republik Indonesia masih tegak berdiri sampai sekarang.

Hatta yang kala itu menjabat sebagai perdana menteri menginstruksikan Presiden Soekarno untuk bersama-sama membasmi “kaum pengatjau”. Menurut Aidit yang dimaksud membasmi “kaum pengatjau” ialah “… membasmi kaum Komunis dan kaum progresif lainnja setjara djasmaniah” (D.N. Aidit, 1960: 129). Aidit juga menduga bahwa Hatta tidaklah memiliki pengaruh yang besar di Angkatan Perang dan alat-alat negara lainnya, apalagi di kalangan masyarakat luas kala itu. Oleh karena itulah, Hatta meminjam mulut dan kewibawaan Soekarno untuk membasmi Amir Sjarifuddin dan beribu-ribu putera Indonesia asal suku Jawa.

Sikap inilah yang mendorong kekecewaan Aidit terhadap UGM karena memberikan gelar kehormatan kepada Hatta. Demikianlah “kebijaksanaan” Hatta sebagai perdana menteri saat itu.

“Karena keptjikkannja dan kesombongannja sebagai burdjuis Minang ingin melondajk tjepat sampai keangkasa, karena kehausannja akan kekuasaan, karena kepalabatunja, karena ketakutannja jang keterlaluan kepada Komunisme, maka Hatta sebagai Perdana Menteri dengan setjara gegabah mengerahkan alat2 kekuasaan negara untuk mentjulik, membunuh dan mengorbarkan perang saudara.” (D.N. Aidit, 1960:130).

Sikap gegabah Hatta ternyata tidak sampai di situ saja. Sikap gegabahnya nampak lagi ketika Hatta meminta kekuasaan penuh dari BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat). Saat itu Hatta dalam pidatonya mengatakan, “Tersiar pula berita—entah benar entah tidak—bahwa Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir Sjarifuddin (akan menjadi) Perdana Menteri” (D.N. Aidit, 1960: 130). Pidato inilah yang membuat berang Aidit. Bagaimana tidak, pidato tersebut menjadi dasar bagi Hatta bertindak atas dasar berita yang kebenarannya “entah benar entah tidak”.

Saya tidak mau berasumsi lebih jauh, sebab belum lengkapnya data penyelidikan yang komprehensif terhadap Peristiwa Madiun. Walaupun begitu, tulisan ini dapat menjadi renungan ke depannya. Tentu disertai dengan harapan bahwasanya ada pihak yang berminat melakukan penelitian secara mendalam keterlibatan Moh. Hatta yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Peristiwa Madiun. Perdebatan merupakan autokritik kepada Universitas Gadjah Mada supaya dapat lebih teliti dalam memberikan gelar kehormatan Doctor Honoris Causa ke depannya. Sebagai institusi yang lahir dari rahim revolusi seharusnya dapat memberikan penghargaan pada insan yang setia pada perjuangan Revolusi Agustus 1945 yang senantiasa memerangi imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme di negeri ini, bukan sebaliknya.

Polemik antara D. N. Aidit dengan Moh. Hatta juga bisa menjadi pembelajaran bagi para mahasiswa saat ini. Aidit memberikan contoh untuk mahasiswa agar tetap menjaga nalar kritis dalam berpolemik. Walaupun secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap sikap politik Hatta, Aidit tetap menghormati Hatta selaku manusia, begitu pula sebaliknya. Perilaku mahasiswa yang anti kritik adalah sikap yang harus dienyahkan, sebab perilaku demikian menumpulkan nalar kritis. Dengan sikap seperti itulah kelihaian berpolemik dan kesantunan bersikap menjadi sebuah teladan yang baik bagi mahasiswa dalam menciptakan diskursus yang konstruktif.

LEAVE A REPLY