Coreng Hitam Pendidikan Indonesia, Abdil Mughis: Dibajak Elit Kuasa

0
1128

(bpmfpijar.com/Farid)

Dunia pendidikan yang seyogiayanya menjadi pilar untuk mencerdaskan, kini diterpa berbagai polemik dalam tubuh pendidikan itu sendiri. Dari persoalan plagiasi, jeratan akreditasi, hingga kapitalisasi ilmu pengetahuan menjadi daftar coreng hitam dunia pendidikan Indonesia saat ini. Menanggapi hal tersebut, Social Movement Institute yang bekerja sama dengan MAP Corner-Klub MKP UGM, Lingkar Diskusi Publik UNY, dan BPPM Balairung UGM menyelenggarakan diskusi kolektif bertajuk “Plagiasi, Jeratan Akreditasi, dan Kapitalisasi Ilmu Pengetahuan”, pada Senin (24/02). 

Diskusi yang disiarkan secara langsung melalui platform Zoom itu menghadirkan dua pembicara, yaitu Abdil Mughis, dosen Universitas Negeri Jakarta dan Dhia Al Uyun, koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Kedua pembicara tersebut dimoderatori langsung oleh Amirudin Al Hidi, perwakilan dari Lingkar Diskusi Publik UNY. Topik yang disorot dalam diskusi kali ini menyoal keterlibatan elit kuasa dalam melahirkan kekeliruan mendasar dalam sistem pendidikan di Indonesia. 

Mengawali diskusi, Mughis mengungkapkan bahwa intervensi elit kuasa menjadi faktor kuat munculnya berbagai masalah di dunia pendidikan Indonesia. Menurutnya, hal itu tidak lepas dari warisan kekuasaan masa orde baru yang menempatkan posisi perguruan tinggi sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Akibatnya, perguruan tinggi tidak lebih dari sekedar institusi birokrasi yang hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang sifatnya teknokratis.  

“Warisan orde baru itu nyatanya berlanjut hingga saat ini, dimana perguruan tinggi tidak lagi menghasilkan pengetahuan yang kritis dan transformatif, sebab para akademisi dijadikan sebagai staf ahli, penasehat, hingga menteri negara oleh pemangku kuasa guna melanggengkan kepentingan,” ungkap Mughis. Dalam hal ini, Mughis mengamati jika perguruan tinggi yang semestinya menjadi corong refleksi kritis pengetahuan telah dibajak oleh kepentingan elit kuasa. 

Mughis mencontohkan, manakala status dosen diangkat sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Alih-alih menjadi pegawai kampus yang memiliki kewenangan otonom untuk mengelola institusi pendidikan, ujar Mughis, dengan statusnya sebagai ASN maka kewajiban utamanya beralih menjadi pengabdian kepada negara. Bukan sebagai individu yang dituntut bertanggung jawab memproduksi pengetahuan dan mencari kebenaran. 

Pengorganisasian institusi perguruan tinggi dalam struktur kekuasaan, imbuh Mughis, membuat institusi pendidikan tidak lagi otonom dari tanggung jawabnya mengelola perguruan tinggi. “Tanggung jawab mulia dari seorang akademisi untuk mencari kebenaran di perguruan tinggi dilupakan, sebab sulit baginya untuk mewujudkan karena posisinya sebagai pegawai negara yang secara tidak langsung dituntut untuk mengayomi kepentingan kuasa,” ujar Mughis melanjutkan. 

Di sisi lain, Mughis juga menyoroti kasus plagiarisme yang dilakukan oleh Rektor Universitas Negeri Semarang (UNNES), Fathur Rokhman. Dewan Kehormatan UGM menyatakan bahwa disertasi Fathur Rokhman terbukti menjiplak dua skripsi mahasiswanya. Akan tetapi, Rektor UGM, Panut Mulyono menyatakan tidak terjadi plagiasi. “Kasus ini tidak jelas, surat dari Rektor UGM berbeda dengan putusan Dewan Kehormatan UGM dan kita bisa lihat ada kejanggalan di situ,” terang Mughis. 

Mengutip hasil investigasi yang dilakukan oleh Tempo, disebutkan bahwa memang ada intervensi yang dilakukan oleh oknum pejabat istana untuk melanggengkan beberapa kasus plagiasi. Misalnya, yang menjerat Fathur Rokhman dan Muryanto Amin, Rektor Universitas Sumatera Utara. “Berkaca dari realita itu, sudah bukan rahasia umum bahwa kasus plagiasi telah bertransformasi menjadi bagian dari transaksi politik. Hal yang sama mungkin juga terjadi dalam praktik obral gelar doktor kehormatan,” tutur Mughis. 

Menurut Dhia, fenomena itu didukung dengan adanya tuntutan 35 persen hak suara menteri dalam pemilihan rektor perguruan tinggi. Akibatnya, akademisi yang sedang bertarung untuk menduduki kursi strategis sebagai rektor, berusaha mendekati pejabat kementerian untuk diminta memberikan suara melalui lobi-lobi politik. “Tindakan yang memanfaatkan lobi-lobi politik itu sangat riskan untuk dilakukan dalam dunia pendidikan, sebab proses-proses politik syarat akan conflict of interest,” ujar Dhia. 

Oleh karena itu, Mughis menuntut untuk mencabut peraturan yang mewajibkan adanya 35 persen hak suara menteri dalam proses pemilihan rektor. Selain itu, ia juga menuntut agar dosen tidak lagi menjadi ASN, tetapi menjadikannya sebagai pegawai kampus yang memiliki kewenangan otonom dalam mengelola kehidupan kampus. “Dengan begitu, akademisi akan lebih leluasa mengelola kampus, termasuk usaha-usaha menegakan integritas akademik dan menentukan tindakan yang tepat jika civitas academica melakukan pelanggaran,” pungkas Mughis.

(Roni/Haris)

LEAVE A REPLY